Selasa, 16 November 2010

Ayolah Para Mahasiswa, Menjadi Ariflah

Idul Adha beda, tidak ada hal aneh kiranya. Kita orang Islam Indonesia, sudah imun dengan perbedaan yang kerap menimpa perayaan tahunan ini. Biasa saja, itulah sikap yang tampak menyinari wajah umat Islam yang ada di negeri tercinta ini.

Menurut saya, sikap ini sudah tepat, dan perlu dibudayakan. Tidak membesar-besarkan hal-hal yang memang pada porsinya kerdil adalah kearifan yang tidak lagi bernilai lokal, tapi nasional. Kita orang Timur yang berbudaya mental spiritual besar. Memalukan untuk membandulkan yang kecil menjadi besar, atau sebaliknya, yang besar jadi kecil.

Saya, Anda, dia, atau mereka, semuanya Arif. Itu hendaknya. Di mana secara bahasa, arif sebagai isim fa'il dari kata arafa-ya'rifu, yang artinya mengerti, memahami, mengetahui. Sehingga orang arif adalah orang yang mengerti, atau mengetahui. Namun istilah ini tidak hanya bersifat kognitif, tapi juga bersifat aplikatif. Maksudnya, perbuatan orang arif itu juga adalah implikasi dari pengetahuannya.

Dan lagi-lagi menurut saya, orang arif itu semestinya memposisikan mental dan kesadarannya DI ATAS bukan DI BAWAH. Ini tidak berarti angkuh atau sombong, tapi sebagai langkah netral untuk menghindari selisih kepentingan, dan untuk bijak menilai dalam kadar objektif yang tinggi.

DI ATAS, artinya seorang arif tidak memihak siapapun atau kelompok manapun. Dia mengatasi itu semua. Apa yang dituntutnya adalah KEBENARAN. Dengan posisinya yang tinggi itu, dia bisa melihat di mana kebenaran itu berada. Dalam contoh rijid, orang arif itu bukan pendukung mati, atau sekedar simpatisan dari kelompok-kelompok organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, al-Irsyad, Persis, atau juga seperti Jama'ah Tablig, Partai Internasional Hizbut Tahrir, Partai Politik, maupun pendukung Camat, Lurah, atau Kepala Desa ini dan itu.

Orang arif mengatasi itu semua. Mata dan telinganya ada di semua kelompok, tapi pilihan hatinya hanya pada KEBENARAN saja. Pandangannya, semua muslim itu saudara. Bahkan lebih luas, lagi, semua manusia itu bersaudara, terlebas dari baju kelompok atau partai politik yang disandangnya, atau baju kemuliaan serta kebejatan yang menyertai lakunya.Secara psikologis, sikap ini memudahkan dia untuk berkomunikasi dengan siapapun jua.

Jelas berbeda dengan orang yang mengambil posisi mental kesadaran DI BAWAH. Baik hanya sekedar simpatisan, maupun yang lebih keras lagi seperti pendukung mati habis-habisan. Kesadaran globalnya tipis, atau bahkan hilan. Yang disadarinya dan yang dipahaminya bahwa KEBENARAN itu hanya milik kelompoknya. Inilah yang menjadi faktor pendukung sikap dan perilakunya dalam memahami perbedaan nantinya.

Saya berharap, di antara manusia muslim, banyak yang mengambil posisi sebagai orang arif. Terutama kalangan mahasiswa. Badan segar, Otak segar, dan semangat yang segar jangan sampai mati, mendekam dalam bilik-bilik sempit kekelompokan.

Berkelompok itu wajar, dan sangat dianjurkan, tapi bukan sebagai tujuan akhir. Karena tujuan akhirnya adalah pencapaian kebenaran. Dan ini memerlukan kekuatan PILIHAN. Sebagaimana tersebut dalam surah al-Kahfi/18:29: "dan katakanlah, KEBENARAN itu dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang menghendaki, silahkan dia memilih untuk mempercayainya, dan barangsiapa yang menghendaki juga, silahkan dia memilih untuk menginkarinya..."

Jadi, carilah kebenaran itu di manapun saja. Teruslah mendaki. Pijaklah bahu-bahu kelompok itu. Ketika kamu sampai di puncak, matamu akan jelas melihat di mana kebenaran itu berada.

Ayolah para mahasiswa, menjadi ariflah......!

1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum, apa kabar pak? Semoga senantiasa dalam keadaan sehat wal 'afiyat. Amin
    hmm... tulisan yang menarik!
    sepakat bahwa kita haruslah arif dalam bersikap. ana hanya ingin sedikit berkomentar, bahwa kebenaran tidak bisa diserahkan kepada orang-orang yang membawanya, akan tetapi kepada sumber yang menjadi pegangannya. sebagai muslim, sumber kebenaran itu adalah Al-Qur'an dan Hadist. seperti ayat yang bapak kutip, "dan katakanlah, KEBENARAN itu dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang menghendaki, silahkan dia memilih untuk mempercayainya, dan barangsiapa yang menghendaki juga, silahkan dia memilih untuk menginkarinya...".
    frase "dari Tuhanmu" adalah kata kuncinya. Keyakinan terhadap satu pendapat haruslah ada tanpa harus menyalahkan pendapat yang berbeda. selama memang berstandartkan "dari Tuhanmu" tadi. Pendapat seperti ini (sekali lagi, meskipun berbeda dengan pendapat sendiri), kami menyebutnya "Pendapat yang Islami". Tinggal kuat-kuatan dalil saja.
    tapi kalau menyalahi nash, sudah menjadi kewajiban kita menasihati dan meluruskannya. Wallahu a'lam

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.