Kita
mungkin tidak dilahirkan sebagai pahlawan. Bukan juga orang yang selalu
baik. Tapi setidaknya kita punya pilihan. Tidak menambah jumlah orang
sakit di negeri ini adalah pilihan yang sangat memungkinkan. Sudah
banyak orang sakit. Hidup dipenuhi oleh kebencian. Ke mana-mana membawa
kayu bakar. Siap untuk berperang.
Seorang pembenci tidak akan pernah tenang.
Walau punya tenaga lebih, ia tidak ada bedanya dengan hewan. Pilihannya
hanya satu, bereaksi terhadap lawan. Cintanya komunalistik. Tidak ada
celah untuk saling menyapa. Hidup baginya adalah permusuhan. Perang.
Mengisi amunisi, siap untuk menembak lawan.
Orang sakit ada di
mana-mana. Di setiap nomenklatur sosial. Polusinya merata. Jika tidak
punya imun kesadaran, serta-merta kita akan menjadi bagian. Kalau sudah
teracuni, rasionalisasi akan bermunculan. Memaki, melecehkan, menyerang,
menganiaya, dan sejumlah nilai-nilai serupa, semua punya alasan
pembenaran. Rasionalisasi ada pada diri setiap orang. Bahkan bagi
pelacur.
Andai demokrasi adalah orang, betapa tololnya kita.
Mana kritik, mana penghinaan, kita tidak mampu membedakan. Orang mengira
apa yang dia katakan adalah kebenaran. Padahal itu adalah gambaran
mental dirinya. Kata-kata tidak merujuk pada kenyataan. Ungkapan
kebencian, penghinaan, dan lain-lain yang senada, adalah gambar mental
orang sakit. Wajah tolol demokrasi adalah kesatuan orang-orang seperti
kita.
Bagaimana bisa; orang yang dulunya santun, sopan,
terlihat baik, kini berubah menyeramkan. Kata-katanya tajam. Bukan hanya
menembus kulit, bahkan mampu merobek tulang. Integritas tidak
diacuhkan. Semua penilaian orang dinihilkan. Apalagi itu datangnya dari
lawan. Ternyata anak negeri ini haus perang. Apakah karena tidak punya
apa-apa sehingga tidak takut kehilangan?
Ah, entahlah. Kita memang tidak ditakdirkan jadi pahlawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.