Betapa
jantannya Real Madrid. Meski sempat kalah 1-0 dari Atletico Madrid,
mereka tidak patah arang. Injury time adalah waktu yang sangat
mendebarkan. Namun saat itulah ternyata titik balik keberuntungan.
Menyambut sepak pojok Modric, Ramos menyundul bola, menyarangkannya ke
gawang yang dijaga Thibaut Courtois. Hasil imbang memaksa waktu ditambahkan.
Dari pojok kiri, Angel di Maria dengan indah menggocek bola hingga
menghampiri gawang. Ketika bola ditendang; bolanya berhasil dihalau
penjaga gawang. Beruntung, bola melambung, dan dikejar Bale. Dengan
sedikit sundulan, bola melesak ke gawang. Pada menit berikutnya, Marcelo
Vieira, melalui umpan Ronaldo, dia menggiring bola di ruang kosong.
Dari jarak jauh, bola ditendang. Meski kiper Courtois berhasil menepis,
sayang bola tendangan Marcelo masih berputar di gawang.
Terakhir, waktunya untuk Ronaldo. Ketika menggiring bola di kotak
penalti, dia dijatuhkan. Wasit menunjuk titik putih sebagai ganjaran.
Dengan tendangan keras ke arah kanan, Courtois salah sasaran. Goal
Ronaldo menyudahi pertandingan. 4-1 untuk Real Madrid. Real Madrid
hebat, begitu juga dengan Atletico Madrid. Hanya saja, di antara
keduanya; primus inter pares-nya adalah Real Madrid. Buah manis dari
suatu kejantanan. Pantang menyerah mesti di detik-detik kematian. Haram
manyarah waja sampai ka puting; demikian kata orang Kalimantan-Selatan.
Indah sekali drama liga Champions semalam. Sayang, tidak berbanding
lurus dengan kondisi perpolitikan Nasional. Partai-partai yang dapat
kesempatan berkoalisi untuk mengajukan pasangan, kalah sebelum ikut
pertandingan. Tidak punya kejantanan. Dengan mengalihkan dukungan,
mereka menipu diri mengagungkan calon dari mereka yang dulunya dianggap
sebagai lawan. Dalam sistem dua pasangan, mereka akhirnya terjebak main
timpuk-timpukkan. Demikianlah politik, antara dusta dan kejujuran saling
beralih muka sesuai kebutuhan.
Di luar partai, masyarakat
pecah menjadi dua bagian. Yang netral tidak begitu kelihatan. Agama
masih menjadi alasan kuat untuk memberikan dukungan. Banyak yang
mengharapkan Jokowi kalah agar Jakarta tidak dipimpin oleh Ahok yang
notabene non-Islam. Begitu simpel dan beragamnya alasan. Padahal
menurutku (jika Jokowi menang dan Ahok jadi orang nomor satu di
Jakarta); di situlah sikap dewasa umat Islam diuji dan ditantang. Apakah
mementingkan substansi atau sekedar mengakidahi kulit luaran. Oposisi
besar umat Islam atas pemimpin non-Muslim segera dipergelarkan.
Memberi perhatian, pengawasan, dan terlibat mengawal Jakarta sampai
Ahok non-Muslim meletakkan jabatan adalah cara bijak daripada menghasut,
memfitnah, atau berbuat kekejaman. Proaktif dengan kenyataan adalah
lebih baik daripada merubah kenyataan dengan cara-cara yang tidak
dibenarkan. Umat Islam perlu diberi kejutan-kejutan untuk belajar
dewasa. Selama ini kita hanya diberi contoh-contoh menjijikkan; seperti
kasus korupsi haji oleh Menteri Agama (masih tersangka), impor daging
sapi (sudah dibui), Ust Hariri dan Guntur Bumi; dan lain-lain. Kita
(seakan-akan) belum mengambil pelajaran. Tapi bagaimana dengan Ahok yang
akan jadi Gubernurnya umat Islam?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.