Senin, 28 Juli 2008

Kepribadian Nabi Ditilik dari Berbagai Disiplin Keilmuan

Jika kita, umat Islam, mencoba mengkaji secara mendetail kepribadian junjungan besar kita, nabi Muhammad saw., maka akan kita dapati bahwa kita ternyata perlu meminjam beberapa disiplin keilmuan untuk memotret anatomi kepribadian beliau tersebut.Ini karena beberapa aspek yang muncul dari perilaku nabi sulit untuk dicakup oleh satu disiplin keilmuan saja. Maka dari itu, interkoneksitas antar keilmuan sungguh akan sangat membantu dalam mengkaji sosok nabi secara keseluruhan.

Kita tentu butuh ilmu sejarah untuk menilik secara komplet perjalanan hidup beliau sehingga terangkai dengan jelas bagian-bagian yang sulit dipahami. Seperti mengapa beliau merompak kafilah Mekkah sehabis pulang berniaga dari wilayah Utara, atau mengapa beliau menyepakati keputusan Sa’ad bin Muadz untuk membunuh habis seluruh petarung bani Quraizhah yang mencoba mengkhianati beliau kala terjadi perang Ahzab. Juga kita ternyata perlu menggunakan ilmu psikologi untuk mengenal laku beliau yang begitu kuat dalam mengendalikan emosi. Seperti tatkala beliau sedang berbincang-bincang dengan para sahabat di rumah Aisyah, kemudian datang seorang utusan yang memberikan hadiah makanan dari istri beliau yang lain. Mendengar hal itu, Aisyah istri kesayangan beliau keluar, lalu menumpahkan pemberian tersebut sehingga pecah. Dengan tersenyum nabi berkata kepada para sahabat yang terheran-heran menyaksikan perilaku ganjil Aisyah itu, kata beliau, “ummul mu’minin tengah cemburu.”

Sekiranya peristiwa tersebut terjadi pada kita, di saat kita menghadapi teman-teman kita, lalu tanpa diduga istri kita membanting gelas dihadapan kita, apa yang akan kita katakan kepada teman-teman kita itu, dan apa yang akan kita perbuat terhadap istri kita tersebut? Kebanyakan kita mungkin akan berkata, “dasar istri kurang ajar.” Bahkan tidak berhenti sampai di situ, kita mungkin akan masuk ke kamar, lantas memaki-maki istri kita tersebut, atau malah dengan kasar kita memukulnya. Ini mungkin respons yang akan kita berikan.

Seterusnya kita juga ternyata harus meminjam ilmu bahasa untuk memahami secara baik apa-apa yang beliau ucapkan. Nabi, seperti yang disebutkan oleh para ulama sering menggunakan jawami’ alkalim, atau kata-kata yang singkat serta padat makna, juga kata-kata yang bersifat metaforik atau kiasan. Misal, ada seorang sahabat bertanya kepada nabi tentang berkataan yang baik di dalam agama Islam. Kata beliau, “qul, amantu bi Allahi tsumma istaqim,” artinya, “katakanlah, aku beriman kepada Allah, seterusnya konsistenlah kamu dengan perkataanmu itu.” Atau seperti perkataan beliau yang sering kita dengar, “al-jannatu tahta aqdami al-ummahati,” artinya, surga ada ditelapak kaki ibu. Untuk contoh terakhir, tentu kita tidak bisa memahaminya secara letterlik, atau sesuai dengan bunyi kata, tetapi kita harus menafsirkannya sehingga tergambar dengan jelas bagaimana sebenarnya maksud dari tuturan nabi tersebut. Dan kiranya dari sisi metaforik inilah kita umat Islam sering berselisih paham, atau bahkan bertengkar dalam memahami pesan-pesan agama, baik itu yang terdapat di dalam al-Qur’an ataupun juga al-hadis, meski kita tahu secara pasti bahwa bertengkar itu adalah jelek.

Tidak sampai di sini, pun kita juga mestinya meminjam ilmu social intelligence atau kecerdasan sosial. Mungkin keilmuan ini bisa saja dimasukkan dalam kategori ilmu psikologi sosial, namun bagi penulis kecerdasan sosial ini terkhusus untuk mengukur kadar kecerdasan seseorang dalam merespons gejala yang terjadi di masyarakat. Contoh, pada suatu hari nabi ditanya oleh salah seorang sahabat mengenai amalan yang baik dalam Islam. Nabi kemudian menjawabnya, “al-sholatu ala waqtiha,” artinya sholatlah kamu pada waktunya. Kemudian pada waktu lain beliau ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Nabi lantas menjawab, “birru al-walidaini, ” artinya berbuat baiklah kepada kedua orang tua. Pada kesempatan lain beliau juga ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Jawab beliau, “tuth’imu al-tho’am wa taqra’u al-salam ’ala man ’arafta wa man lam ta’rif, ” artinya berilah makanan (kepada orang yang tidak mampu) dan ucapkanlah salam kepada orang yang kamu kenal dan juga kepada yang tidak kamu kenal.

Pertanyaan yang serupa dan jawaban yang berbeda, model demikian masih banyak lagi kita dapati di dalam hadis-hadis nabi. Namun tandasnya, untuk menjelaskan kasus-kasus hadis seperti ini, tidak berarti kita memvonis bahwa nabi adalah seorang yang plin-plan atau tidak konsisten, karena ketika ditanya dengan pertanyaan yang sama tapi beliau malah menjawab dengan jawaban yang berbeda. Sebaliknya di sinilah sebenarnya sisi kecerdasan sosial beliau. Beliau tahu betul kepribadian orang-orang yang mengajukan pertanyaan kepadanya. Seandainya kita adalah orang yang suka marah, maka jawaban yang paling sederhana untuk pertanyaan kita tentang amalan yang baik di dalam Islam adalah, “laa taqdhab,” artinya tahanlah amarahmu. Atau sekiranya kita adalah orang yang sholatnya belang-belang, maka anjuran yang paling logis adalah sholatlah pada waktunya. Begitu juga jika kita orang yang degil dan tidak taat pada orang tua, maka menghormati kedua orang tua adalah jawaban yang paling mantap. Artinya seorang nabi seperti nabi Muhammad bukan hanya bertugas untuk menyampaikan risalah yang diterimanya dari Tuhan, tetapi juga harus mengerti betul psikologi masyarakatnya, dan juga psikologi person-person yang membentuk masyarakat tersebut. Hal ini menurut penulis selayaknya diteladani oleh mereka yang berhasrat menjadi orang besar baik dalam skala lokal maupun nasional.

Berikutnya, kita juga memang harus meminjam ilmu tentang kecerdasan spiritual untuk betul-betul memahami kepribadian nabi. Ini terlihat jelas dari ritual-ritual yang beliau lakukan dan implikasi dari ritual tersebut bagi masyarakat luas. Salah satu contohnya adalah seperti yang tersebut di dalam surat al-Ma’un/107:4-5, yang artinya “kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat, yaitu orang-orang yang lalai dari sholatnya.” Kita tahu, nabi adalah seorang petutur, penafsir dan pengamal al-Qur’an sejati. Jadi tidak salah kalau Aisyah mengatakan kalau akhlak nabi itu sama dengan yang termaktub di dalam al-Qur’an. Artinya, secara spiritual nabi adalah orang yang dalam sholatnya selalu khusyu’ dan tidak pernah lalai akan pesan-pesan yang terkadung di dalamnya. Sehingga implikasi dari sholat beliau sungguh sangat luar biasa bagi perubahan masyarakat. Jadi, jika kita ingin melihat sisi praktis dari kecerdasan spiritual, maka pelajarilah dengan baik sejarah hidup sang nabi.

Mungkin, jika kita gali lebih lanjut, betapa banyak semestinya kita meminjam disiplin keilmuan untuk memahami dengan benar laku jenius dan bijak junjungan besar kita ini. Terakhir, mengutip kata-kata Stephen R.Covey di dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People, katanya, “remember, to learn and not to do is really not to learn. To know and not to do is really not to know.” Artinya ingatlah, berusaha belajar dengan giat, tapi tidak mengamalkannya, sama saja dengan tidak belajar. Begitu juga tahu dengan pasti (akan sesuatu) tapi tidak mengamalkannya, sama saja dengan tidak tahu. Wallau a’lam.

1 komentar:

  1. Sepakat, Mi.. Kata Covey itu, kira-kira segaris dengan hafalan Mahfuzhat di Pondok dulu: "al-'ilmu bilaa 'amalin, kasy syajarin bilaa biahin:-D

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.