Senin, 14 Juli 2008

Kita Hanya Berbeda Pemahaman Saja

Tidak ada yang baru di dalam agama, yang baru hanyalah pemikiran tentang agama. Statemen ini bisa saja salah, karena itu masih terbuka untuk diperdebatkan. Namun bagi yang memegangi postulasi semacam ini, akan terbuka suatu pemahaman; pertama: bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad terhenti semenjak wafatnya beliau; kedua, munculnya pemikiran lebih lanjut tentang agama Islam merupakan produk dari rumusan olah pikir generasi berikutnya.
Ini adalah gagasan sederhana tentang asal usul munculnya ajaran dan pemikiran keagamaan. Jadi di dalam beragama, orang mesti memiliki kesadaran yang peka tentang bagaimana sebenarnya pemikiran-pemikiran keagamaan itu muncul. Memang, salah satu masalah terbesar yang dihadapi umat Islam adalah memilah antara ajaran yang bersumber dari nabi dan mana yang bukan. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana gigihnya para ahli-ahli hadis menyaring hadis-hadis yang berasal dari nabi, sahabat, dan tabi’in, serta tidak terkecuali hadis-hadis yang sama sekali bukan berasal dari nabi akan tetapi diklaim berasal dari beliau. Begitu juga generasi-generasi sesudah pengkodifikasian hadis hingga saat ini, tak jarang mereka menemukan kesulitan dalam memilah mana ajaran yang berasal dari nabi dan mana yang berasal dari rumusan dan olah pikir manusia muslim.

Di dunia muslim kita mengenal sumber-sumber pengetahuan agama. Pertama adalah wahyu yang termaktub di dalam al-Qur’an; kedua adalah hadis; dan yang ketiga adalah ijtihad manusia. Mengenai yang pertama telah diatasi dengan pembukuan al-Qur’an, dan begitu juga yang kedua. Adapun yang ketiga, yaitu ijtihad, meskipun kadang produknya berasal dari ekstraksi al-Qur’an dan hadis, namun tetap saja tidak lepas dari olah pikir perumusnya. Apatah lagi kalau produk pemikiran itu tidak memiliki landasan wahyu, maka sangat terbuka untuk diperdebatkan.

Memang ada pemikir muslim yang maju lebih berani lagi dengan membongkar tradisi mapan di mana seorang muslim tidak perlu mempertanyakan kembali apa-apa yang telah dibukukan di dalam al-Qur’an dan sunnah. Mereka secara lantang menyuarakan bahwa di dalam kedua sumber pokok ajaran agama itu perlu diurai kembali hingga ditemukan mana sisi normatif keagamaan dan mana sisi historisnya. Artinya ajaran-ajaran agama yang bersifat normatif itu mutlak untuk diikuti, sedang ajaran-ajaran agama yang bersifat historis, perlu ditela’ah ulang dan jika tidak serasi dengan perkembangan jaman, maka perlu ditafsirkan kembali. Pemikiran semacam ini memang rawan dan cepat memicu terjadinya polemik. Karena bagi sebagian kelompok, apa-apa yang termaktub di dalam al-Qur’an dan hadis al-shahih adalah bersifat sakral, dan tidak boleh mengalami perubahan.

Namun dalam hal ini perlu dicermati. Meski setajam dan sekencang apapun pemikiran keagamaan, tetap tidak akan ada orang yang berani merubah redaksi al-Qur’an dan hadis yang sahih. Artinya sehebat apapun perdebatan seputar sumber pokok agama, tetap saja akan berputar-putar melingkar di wilayah pemahaman. Jadi sebenarnya apa-apa yang sudah disampaikan oleh nabi (baik al-Qur’an dan hadis) akan tetap sebagaimana adanya. Hanya saja yang berkembang adalah pemikiran keagamaan, baik yang didasari oleh kedua sumber pokok itu atau tidak.

Dengan pemahaman semacam ini maka akan terlihat dengan jelas bahwa polemik seputar agama adalah polemik yang didasari oleh kapasitas intelektual penafsirnya. Adapun faktor-faktor yang menjadi struktur munculnya bangunan pemikiran seorang ulama atau mufassir adalah sangat komplek dan beragam. Persis ketika kita menjejerkan beberapa varian orang dalam kapasitas pendidikannnya. Pemahaman tentang sesuatu, atau katakanlah agama oleh anak TK akan berbeda dengan anak SD. Begitu juga ketika kedua tingkat itu dihadapkan dengan tingkatan selanjutnya, yaitu anak SMP dan anak SMA, atau kalau kita ingin melihat perbedaan yang lebih mencolok lagi, yaitu dengan mahasiswa S1 dan mahasiswa S2. artinya, rentang pengalaman yang panjang dan bagaimana seseorang itu dididik sangat mempengaruhi pemikirannya dalam memahami sumber pokok agama.

Penulis cenderung menyepakati adanya sikap kritis terhadap produk-produk pemikiran yang baik didasari oleh al-Qur’an dan hadis maupun yang tidak. Karena bagi penulis, bersikap kritis terhadap hasil pemahaman orang ini bukanlah wilayah yang ditabukan oleh agama. Dan penulis akan sangat tidak sepakat terhadap upaya orang yang mencoba merubah redaksi kedua sumber pokok ajaran tersebut. Karena dengan merubah keduanya sama saja dengan merubah agama itu sendiri.

Oleh karenanya, selama perdebatan masih tidak beranjak dari wilayah pemahaman, maka tidak ada yang perlu ditakutkan. Namun perlu diwaspadai, jangan sampai hasil dari pemahaman itu terus-terusan dipropagandakan dan dengan sikap ekstrim membabat secara radikal seluruh pemikiran yang berbeda, baik dengan vonis yang tidak layak disematkan bagi sesama umat muslim seperti istilah kafir, fasik, munafik dan lain sebagainya.

Sebagaimana yang penulis sebutkan, kita terlahir dari proses pengalaman dan pendidikan yang panjang. Sehingga dari proses ini akan melahirkan person-person yang memiliki kapasitas pengetahuan yang beragam. Karena itu, upaya menyeragamkan pemahaman orang terhadap agama sama mustahilnya dengan merubah hasil kali dari 3 X 3 menjadi 10. Tidak kita pungkiri, bahwa di dalam beberapa hal kita memang harus sepakat. Bahwa kita harus menyembah Allah yang Maha Esa adalah benar. Bahwa kita beriman kepada para Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul Allah dan kepada hari akhir adalah benar. Bahwa kita harus sembahyang, puasa, bayar zakat dan lain sebagainya seperti yang sudah dibakukan adalah benar. Tetapi untuk menyeragamkan wilayah-wilayah lain dalam hal agama adalah sangat mustahil untuk dilakukan.

Kadang penulis perhatikan bahwa sikap kita yang cenderung untuk tidak menerima pemahaman orang lain dalam perihal agama adalah dikarenakan ego kita yang tidak terbiasa menerima perbedaan. Kita selalu mencurigai dan memandang salah warna-warni pemikiran orang. Karena bagi kita Islam itu hanya memiliki satu warna, yaitu apa yang kita pahami. Sikap semacam ini akan menjadi masalah besar ketika bertemu dengan individu-individu atau kelompok yang bersikap sama, yaitu Islam yang benar adalah Islam yang mereka pahami. Jika model karakter umat Islam seperti ini semua, maka tidak akan pernah ada roti untuk semua, akan tetapi yang ada adalah bahwa roti itu hanya punya kami saja. Karenanya Islam yang kita tampilkan adalah Islam yang berwajah garang, meski itu terhadap umat yang sama.

1 komentar:

  1. Halo mi...
    Kunjungi www.mnurahsan.blogspot.com
    Oke?
    sementara, komentarku itu dulu...
    Bye:-)
    Sukses selalu...

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.