Selasa, 27 Januari 2009

We Will Not Go Down

Nyaris sebulan saya tidak menulis, beku rasanya otak ini. Tak bisa dihindar. Kesibukan mengekang dan sayapun akhirnya terbelenggu aktivitas yang menjemukan. Itu saja tidak cukup untuk dijadikan alasan, karena disamping terpenjara kesibukan, monitor butut saya turut memberi andil beban atas sikap rewelnya. Dan buntutnya, kotak rombeng itu saya bengkelkan juga.


Belakangan ini banyak peristiwa yang menggegerkan. Yang paling mengerikan adalah agresi Israel atas penduduk Palestina di Gaza. Ini sungguh sangat keterlaluan. Tidak bisa ditolerir. Meski hanya dengan kemampuan menyumpah serapah. Memaki. Meneriaki anjing. Saya kira itu sudah merupakan doa. Dan Allah sangat tahu akan hamba-hambaNya yang teraniaya. Kabulkanlah segera.

Dan nyatanya bukan hanya saya, kemanusiaan Michael Heart pun rupanya terusik. Lewat musik dia meneriakkan lagu ’We Will Not Go Down.’ Katanya, (Hey, tentara Israel), you can burn up our mosques and our homes and our schools, but our spirit will never die. We will not go down. Kalian dapat saja membakar masjid-masjid kami, rumah-rumah kami, dan sekolah-sekolah kami, tapi ketahuilah, semangat kami tidak akan pernah pudar. Kami tidak akan pernah menyerah.

Dan yang lebih menyakitkan menurutnya adalah, sementara pembantaian besar-besaran berlangsung, para pemimpin bangsa malah sibuk berdebat mengenai siapa yang salah dan siapa yang benar. “Women and children alike murdered and massacred night after night, while the so-called leaders of countries afar debated on who’s wrong or right.”

Dalam masalah ini palang pintu kesabaran saya jebol. Sekiranya di tangan ini hanya ada sebilah ranting, sebisa mungkin dengan ranting itu akan saya bunuh babi Israel sial plus keparat itu. Selama ini, atas sekian banyak masalah, nalar pengimbang saya senantiasa bermain. Tapi entah, terkait dengan kebiadaban ini nalar itu menguap hilang. Makian yang tidak pernah saya ucapkan pun mengalir dengan enteng. Hati saya sungguh sangat merestui tingkah bejat ini.

Secara emotif tindakan agresi Israel atas tentara Hamas yang turut berbaur dengan penduduk sipil cukup bisa dibenarkan. Hujan roket yang disulut tentara perlawanan Palestina itu memang semestinya di-shock therapy agar tidak berulang dan berulang. Tapi memborbardir suatu perkampungan dengan membabi buta bukan hanya keterlaluan, tapi sudah tindakan syetan. Ilustrasinya, jika Anda terus-terusan dihina orang, pada saat tertentu untuk menjerai, sepatu tampaknya layak disarangkan ke muka orang itu. Tapi jika sepatu itu bukan hanya menghantam orang yang menghina Anda, tapi juga mengenai orang lain yang tidak bersalah, ini namanya bukan collateral damage, tapi gila.

Mengapa Anda dihina, semestinya introspeksi dulu. Tapi itulah manusia, demi kepentingan diri dan kelompok, tidak akan ada kata menyerah kalah, apalagi dengan pengakuan bersalah. Sebisa mungkin, meski diri salah, asal tuntutan tercapai, orang lain mesti dikalahkan dan kalau perlu dibuat citra agar dia bersalah. Inilah yang menyialkan. Meski anak-anak dan kaum wanita yang identik dengan mustadh’afin setiap saat mati menggelepar dihujam rudal, perdebatan masalah siapa yang benar dan siapa yang salah tak juga kunjung benah. Nyawa tidak berbanding dengan nilai kebenaran relatif yang dipanggul manusia.

Akar masalah penyebab perang yang tak berkesudahan antara Israel dan Paletina memang sudah terlalu kusut untuk diurai. Kekusutan itu sudah menghujam, menyatu dengan darah ribuan generasi yang silih berganti. Pangkal dan juga ujungnya sudah tidak jelas lagi. Keduanya menyatu. Solusinya ada di tangan keadilan pihak ketiga. Tegas dan keras begitu hendaknya.

Jika dalam suatu pertempuran terbuka ada sepasukan tentara yang hanya bermodalkan otot dan sebilah bayonet melawan sepasukan tentara yang bersenjata mesin lengkap dengan granat, maka hasil akhirnya akan terlihat jelas. Akan sangat lucu kalau ada seorang hakim yang dalam timbangan keadilannya menaruh posisi awal kedua pasukan itu dalam takaran yang sama. Letakkanlah seperti dalam sepak bola kedua-duanya dimulai dengan skor 0 - 0. Semestinya agar imbang, di sana ada penambahan skor sejak awal, misalkan 9 – 0, yang walau dengan pemberian seperti itu tetap saja kemungkinan menangnya masih tipis.

Maksud saya, dalam menilai pertempuran yang dimulai dengan kekusutan pangkal masalah tidak mesti dilihat dari sudut pandang siapa yang memulai, tapi dilihat dari sudut pandang seberapa besar perimbangan kekuatan kedua petarung dan seberapa besar kerugian yang dihasilkan. Ini lebih adil, karena ia dimulai dari posisi yang tidak berimbang. Dan karena itu pula akan mudah untuk diputuskan mana yang harus dibela dan mana yang harus diredam kekuatannya atau jika bisa segera dimusnahkan. Orang gila yang mengamuk di pasar dengan tangan kosong perkiraan mudharatnya lebih ringan tinimbang orang gila yang mengamuk dengan sebilah parang di tangan.

Itu yang kita maui. Namun sebaliknya fakta mengungkapkan berita yang tidak sejajar dan berimbang. Kepentingan-kepentingan yang berkelindan dan angguk persobatan yang tidak kentara di mata kebanyakan orang adalah juga fakta yang turut memperkeruh akan sulitnya menghadirkan keadilan. Saya kira, pola pikir objektif Michael Heart terasa begitu adil. Membelalakkan mata dengan fakta yang ada di lapangan lebih baik daripada berdebat atas masalah yang sudah amat rumit untuk diuraikan. Ini terutama dalam kondisi perang.

Kasus Israel dan Palestina setidaknya memberi pelajaran pada kita bangsa Indonesia agar korektif dan antisipatif atas pertahanan dan keamanan yang berlangsung. Hendaknya kita menjadi bangsa yang kuat dalam persenjataan. Bukan untuk ancang-ancang agresi, akan tetapi hanya agar lebih mudah untuk bersikap adil dan tidak gampang untuk ditindas.

1 komentar:

  1. cobalah untuk keluar dari penjara ke'indonesia'an.cobalah untuk memposisikan diri sebagai saudara seperjuangan mereka, tidak hanya sebatas prihatin,tetapi memberi sumbangsih bersama orang-orang yang memperjuangkan ikatan aqidah tanpa sekat2 nasionalisme n geografis..

    jika Islam adalah pedang2 yang dihunuskan, jadilah DALANG2 yang akan memainkannya di medan laga membela kebenaran

    jika Islam adalah bunga, maka serbukkanlah rekahnya agar ia terus menebarkan wangi ke seluruh penjuru dunia

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.