Minggu, 15 Maret 2009

Iklan Politik Pedagang

Kata iklan sebenarnya berasal dari bahasa Arab, i'lan, yang artinya pengumuman atau pemberitahuan. Dalam praktik keindonesiaan kata ini mengandung arti da'wah atau seruan. Iklan tidak hanya digunakan untuk memberitahu, tapi juga menyeru. Karena itu wajar kalau George Gerbner, seorang pakar komunikasi dan peneliti telivisi di Amerika Serikat mengatakan bahwa iklan adalah khotbahnya televisi yang mengagama. Iklan bukan hanya memasarkan produk. Iklan juga memasarkan nilai, sikap, perasaan, dan gaya hidup.


Seperti dakwah dalam agama, iklan juga mengajarkan bagaimana mengatasi permasalahan hidup secara mudah. Kegagalan Anda dalam pergaulan karena bau badan bisa diatasi dengan membeli Rexona. Jika Anda tidak ingin kekurangan nutrisi dan hidrasi, konsumsi Frestea Green My Body. Atau jika Anda ingin merebut hati lelaki idaman Anda, pakai Sunsilk penawan hati. Dan bagi Anda yang tubuhnya kerempeng tidak berbentuk, L-Men siap memunculkan otot-otot Anda yang hilang.

Bagi televisi, iklan adalah jantung. Tanpa iklan televisi akan mati. Maka wajar dalam setiap tayangan, iklan selalu hadir menemani pemirsa. Pada waktu-waktu prime time, iklan disajikan cukup lama. Sehingga jika Anda seorang muslim, jangat takut ketinggalan acara kegemaran. Di saat iklan berlangsung, ada waktu untuk sholat. Selesai sholat, acara yang terputus oleh iklan itu pun akan segera dilanjutkan. Televisi dengan seperangkat acara dan iklannya benar-benar menjadi agama dan lahan bisnis.

Untuk mengiklankan komoditi mereka di televisi, para pengusaha harus merogoh kocek yang dalam. Karena dalam satu kali penayangan yang berdurasi detik atau menit, mereka harus menyediakan dana jutaan rupiah. Tapi itu juga berbalas dengan hasil yang wajar. Sekali komoditi mereka diiklankan, jutaan pasang mata dapat langsung menyaksikan. Sebab kotak ajaib itu sekarang sudah menjadi kebutuhan.

Dulu kita mengenal mainan yoyo yang terbuat dari kayu. Ia hanya dikenal oleh sebagian anak di beberapa daerah. Dan penjualannya pun terbilang lesu. Tapi kala sebuah perusahaan memodifikasinya dengan merubah bahan bakunya dari plastik yang bisa diasesorisi lampu yang berkelap kelip, kemudian ia disosialisasikan melalui televisi, anak-anak seindonesia tersentak. Minat dan nafsu mereka untuk membeli sangat besar. Dan jadilah benda itu laris manis di pasaran. Pemilik televisi dan perusahaan yoyo pun sama-sama meraup keuntungan yang berlimpah.

Inilah mungkin yang menarik minat para politisi untuk mensosialisasikan diri dan partainya melalui televisi. Bukan hanya partai besar, partai yang bau kencur pun akan terangkat namanya melalui kampanye kesan di televisi. Apakah realita yang ditampilkan itu bersifat buatan atau kebenaran, tidak jadi masalah. Asal bisa menggugah, itulah targetnya. Lihatlah partai Gerindra yang tidak pernah dikenal jejak sejarahnya, kini kesannya partai itu seakan-akan sudah lama hidup bergelut dengan rakyat. Merekalah yang selama ini memperjuangkan demokrasi. Dan mereka pulalah menjadi tumpuan segala harapan kesejahteraan dan keadilan.

Sebagaimana umumnya diketahui oleh masyarakat, periklanan itu identik dengan dunia perdagangan. Di sini mereka di samping menjual barang, juga menjual kesan. Wajar kalau kita saksikan di mana-mana, baik di televisi, di radio, koran, atau pada baliho-baliho yang terpasang di pinggir jalan, semua yang diiklankan adalah komoditi yang dikomersialkan. Tapi sekarang, identitas itu sudah berubah, dunia politik pun ikut terlibat di dalamnya. Bahkan intensitasnya, terutama pada musim kampanye melebihi dunia perdagangan. Kesannya, merekalah pejuang kebenaran.

Tidak salah kiranya kalau Budiarto Shambazy mengatakan kalau pemimpin sekarang adalah seperti seorang pedagang (kompas/14 Maret 2009). Mereka bukan leaders, tapi dealers. Lihatlah di mana-mana, para calon lagi berjualan. Dengan model yang beragam mereka membuat kesan. Di samping televisi, baliho, spanduk, dan koran adalah media yang mereka gunakan. Dengan mengepalkan tangan kayak Chris John mereka memohon do'a restu. Bahkan untuk meyakinkan diri, mereka meminjam gambar tokoh-tokoh nasional untuk mendampingi photo diri mereka.

Pertanyaan yang cukup menguatirkan adalah, apakah kebaikan umum yang mereka kampanyekan nantinya hanya akan menjadi jargon yang siap dikhianati? Ini karena adanya fakta bahwa kecenderungan politik di tanah air sekarang adalah model politik pedagang. Kita mungkin sulit untuk melupakan betapa wakil-wakil rakyat kita sekarang banyak yang menjajakan politik. Tidak perlu disebutkan person-personnya, jelasnya kita melihat bahwa mekanisme di legislatif ternyata menjadi alat tawar-menawar kebijakan yang bernuansa suap dan pemerasan.

Apatah lagi dengan adanya kebijakan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan bahwa calon yang memperoleh suara terbanyaklah yang akan jadi, sulit untuk dihindari akan terjadinya pemanfaatan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan. Bagaimana tidak, untuk memperoleh kursi politik mereka telah mengeluarkan uang ratusan hingga milyaran rupiah. Lantas apakah pemborosan itu akan dibiarkan menguap hilang tanpa ganti?

1 komentar:

  1. analisa menarik! Dalam ekonomi berorientasi pasar & free trade, pencitraan adalah hal terpenting. Meski mungkin ada jarak antara realitas dan image yang diciptakan :)

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.