Jumat, 20 Maret 2009

Wacana Orang Gila

Menarik juga untuk mempersoalkan kenapa orang bisa jadi gila. Namun karena saya bukan seorang ahli jiwa, atau setidaknya mengenal psikologi gila, maka saya mencoba melihat dan menguraikannya dari perspektif dan kapasitas saya sebagai orang awam yang lagi mampir di warung diskusi tentang kegilaan. Ikut nimbrung, mencuil bagian untuk mengepulkan asap pemikiran yang kemungkinan besar dinilai menyimpang dari nalar disiplin keilmuan yang semestinya.


Dengan meminjam tradisi bertutur orang Arab, saya mencoba memulabuka penjelasan. Dalam bahasa Arab, gila dinamakan dengan majnun. Ia berasal dari kata janna-yajannu yang berarti menutupi atau menjadi gelap. Jadi kemungkinan seseorang menjadi gila adalah karena saraf kesadarannya tertutup oleh sesuatu. Apa penyebabnya, sampai di sini masih bersifat spekulatif. Merujuk pada pepatah Arab, di sana dikatakan bahwa kemarahan itu adalah suatu kegilaan yang acap berakhir dengan penyesalan, al-gadhabu junuunun wa akhiruhu nadamun.

Artinya di sini ada semacam pembajakan saraf, di mana orang yang lagi marah sudah tidak menyadari lagi apa yang terjadi pada dirinya. Kemarahan telah mengarahkannya melakukan sesuatu di luar akal sehat. Dan pada saat itulah dia dinamakan gila. Jadi ada semacam sinyal pemicu yang menyebabkan kesadaran seseorang tertelungkupi. Ia bisa berupa peristiwa empirik atau tekanan mental akibat memikirkan sesuatu yang menggelisahkan.

Life Change Unit
Di kalangan ilmu sosial dikenal istilah life change unit (LCU), atau semacam adanya bagian yang berubah dalam kehidupan seseorang. Perubahan di dalam hidup inilah yang ditengarai bisa membuat orang jadi stres atau gila. Oleh karena itu untuk mencari tahu penyebab stres, atau katakanlah gilanya seseorang, maka secara kuantitatif dihitunglah life change unit-nya.

Seorang mahasiswa yang belum pernah mengalami first love, kemudian dia mendapatkannya, namun pada suatu ketika secara sepihak tiba-tiba diputuskan oleh pasangannya, maka mahasiswa itu bisa mengalami LCU. Begitu juga seorang perempuan muda yang baru bersuami, di kala usia perkawinannya seumur jagung, tiba-tiba ditinggal mati pasangannya, bisa saja mengalami LCU. Nah, LCU ini kemudian dihitung secara matematis untuk menentukan kadar stres seseorang.

Jika perubahan hanya mengenai bagian kecil yang menyebabkan stres dalam hidup seseorang, maka mungkin skorsnya hanya sepuluh persen. Tapi kalau serentak, misal seperti seorang politisi yang pada tahap pencalonan mengeluarkan dana kampanye ratusan juta yang diperoleh dari hasil pinjaman, kemudian kalah pada waktu pemilihan, terus digugat cerai isteri, dipecat dari pekerjaan, rumah tergadai, di kampung jadi bulan-bulanan pamandiran, maka bisa jadi LCU-nya mencapai sembilanpuluh atau malah seratus persen. Kemungkinan besar orang itu bisa jadi gila.

Masalah Persepsi
Tapi para calon anggota legislatif, calon bupati, berikut calon gubernur, tidak perlu merasa tertekan. Sebab teori LCU yang digagas oleh Hans Selye dalam bukunya The Stress of Life, belakangan dibantah oleh sejumlah pakar. Di antara yang membantahnya adalah Barbara Brown dalam bukunya Supermind, pikiran unggul. Di dalam bukunya Barbara mengungkapkan cara-cara untuk mengefektifkan pikiran agar betul-betul mejadi unggul. Salah satu yang dibahas adalah bagaimana mengatasi stres. Menurut Barbara, stres tidak disebabkan oleh LCU, tapi lebih banyak oleh persepsi orang tentang LCU. Bisa saja ada orang yang skors LCU tinggi, tapi dia tidak stres. Malah sebaliknya, orang yang skors LCU-nya rendah bisa mengalami stres. Ini karena persepsinya terhadap LCU begitu tragis dan dramatis. Sehingga dia merasa perubahan itu sebagai sesuatu yang sangat menakutkan.

Bagi Anda para calon, cukup kiranya stres ringan yang menyapa Anda saat kalah bersaing memperebutkan kursi, tidak perlu sampai stres berat yang bisa menghantarkan Anda ke Rumah Sakit Jiwa. Meminjam penjelasannya Barbara, maka kegilaan sebenarnya tergantung pilihan persepsi kita. Maka dari itu latihlah terlebih dahulu cara mempersepsi ini sebelum Anda terlanjur kalah. Seperti kata pepatah, sedia payung sebelum hujan. Atau seperti dipepatahkan orang Arab, man 'arafa bu'da al-safari ista'adda, barang siapa mengerti dengan baik jauhnya perjalanan, maka bersiap-siaplah.

Maksudnya jika setiap individu dari mereka yang bersaing itu mampu mengendalikan masalah dan mendudukannya pada porsi yang masih mungkin untuk dihadapi, maka prediksi banyaknya calon anggota legislatif yang masuk Rumah Sakit Jiwa akan terbukti salah. Dan saya yakin, para calon anggota legislatif kita yang sekarang berada dalam proses pertarungan memiliki kapabilitas yang memadai untuk mengendalikan kesadaran hingga tidak dibajak oleh emosi. Wallahu a'lam

1 komentar:

  1. Emosi..emosi..emosi..
    Kalau sudah terbajak emosi.. orang pinterpun jadi bodoh..
    Bertarung dengan emosi... sepertinya sangat seru! hehe..

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.