Rabu, 04 Maret 2009

Larangan untuk Orang Miskin

Ada tiga larangan yang pantas untuk diberlakukan kepada orang-orang miskin. Pertama, mereka dilarang sakit. Kedua, mereka dilarang pintar. Dan yang ketiga, mereka dilarang untuk kaya. Sarkasme ini agaknya mudah untuk dipahami. Jika orang miskin sakit, mereka tidak akan bisa membayar ongkos pengobatan. Jika mereka ingin pintar dengan sekolah di perguruan tinggi, biaya kuliah sudah tidak terjangkau oleh penghasilan mereka. Dan jika mereka ingin kaya, jalan menuju ke sana sudah terlalu sulit untuk direntas. Karena itu, mereka semua dilarang.


Orang banyak berdebat tentang praktik pengobatan yang dilakukan oleh Ponari, dukun cilik dari Desa Balongsari, Jombang. Sebagian mereka berpendapat bahwa membludaknya pasien untuk mendapatkan air mujarab dari sentuhan batu petir milik siswa kelas III SD itu adalah karena orang-orang itu percaya pada messianisme. Dan menurut sebagian yang lain karena hasilnya memang mujarab. Namun fakta yang tampaknya tidak bisa dipungkiri adalah bahwa ongkos berobat ke sana relatif murah. Mereka mendapatkan apa yang tidak bisa disajikan oleh layanan kesehatan medis. Harga murah, prosesnya mudah, kena untuk kalangan rendah.

Begitu pula untuk pintar. Di perguruan tinggi negeri, untuk sekarang ini, tidak ada tempat bagi orang yang miskin secara ekonomi. Jatah untuk mereka terbatas. Perguruan tinggi tidak lebih dari pabrik sarjana yang dijaring masuk melalui tebal tipisnya kantong. Jika pun mereka lulus melalui penelusuran minat prestasi, tetap saja untuk menjalaninya mereka akan mundur gemetar. Pendidikan terlalu mahal. Benar-benar sudah dikomersialkan. Tidak ada ruang untuk kalangan tidak berpunya.

Apatah lagi untuk kaya, sungguh, untuk memikirkannya saja mereka tak kuasa. Akhirnya jadilah orang-orang miskin itu sebagai penyeimbang struktur. Mereka berfungsi sebagai pelanggeng kestabilan. Struktur masyarakat bisa runtuh kalau orang miskin tidak ada lagi yang mau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kotor dan berbahaya. Sampah-sampah yang bertaburan di pinggir-pinggir jalan akan menjadi sumber penyakit kalau tidak dibersihkan. Got-got yang mampet akan menjadi sumber banjir jika tidak dikeruk. Rumah-rumah mewah akan terbengkalai, binatang-binatang piaraan akan mengamuk, mayat-mayat tidak terkuburkan, dan tuan besar tidak akan dapat tidur dengan tenang jika orang-orang miskin mandeg dalam menjalankan fungsinya.

Bagi kalangan berpunya, orang-orang miskin adalah aset. Karena itu mereka dilarang untuk menjadi kaya. Tanpa orang miskin, tidak ada lagi orang yang mau dibayar murah untuk mengurangi biaya produksi perusahaan-perusahaan mereka. Tidak ada lagi orang-orang yang memperteguh status sosial mereka. Dan tentunya tidak ada lagi orang yang menyapa mereka dengan sebutan bos besar.

Asal Kata Miskin
Dilihat dari sudut pandang bahasa, kata miskin berasal dari istilah Arab yang diderivasi dari kata ’sakana’ yang berarti tenang atau diam. Dengan diam atau tidak begerak inilah diperoleh kesan bahwa faktor utama penyebab kemiskinan adalah sikap berdiam diri, enggan, atau tidak dapat bergerak dan berusaha. Keengganan berusaha adalah penganiyaan terhadap diri sendiri, sedang ketidakmampuan untuk berusaha antara lain bisa disebabkan oleh penganiyaan manusia lain. Yang terakhir ini biasa diistilahkan dengan kemiskinan struktural.

Jika kita kaji secara jujur, kemiskinan yang terjadi di negara ini bukan karena bangsa ini berjiwa pemalas. Bahkan sebaliknya mereka adalah pekerja keras. Namun mengapa tarap hidup mereka tetap tidak beranjak membaik. Struktur yang tidak mengijinkan. Struktur yang menyebabkan mereka terus terperangkap dalam lingkar kemiskinan. Untuk pintar mereka terhalangi, dan untuk memperoleh kesempatan mereka dibatasi. Ketidakadilan sistem intinya.

Tiga Jurus Jitu Pemerintah
Kita tahu, sekarang ini pemerintah mencanangkan tiga jurus jitu dalam menanggulangi kemiskinan. Jurus pertama adalah pertolongan pada masyarakat miskin yang sama sekali tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar. Jurus kedua, pemerintah menggelar Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak, seperti infrastruktur dan pengembangan usaha. Adapun jurus ketiga, pemerintah mengandalkan program kredit usaha rakyat guna memastikan agar penduduk miskin kian menjauhi dari garis kemiskinan.

Pertanyaannya, apakah jurus jitu yang diterapkan pemerintah itu mampu menggeser posisi miskin masyarakat pada tingkat hidup yang lebih layak? Mungkin saja, karena itulah yang kita harapkan. Tapi bagaimana realitanya. Kalkulasi jurus itu ternyata hanya jitu dalam pembacaan peta, bukan pada ranah teritorinya. Umpan cuma-cuma yang dilemparkan pemerintah pada jurus pertama banyak yang disamber kakap, bukan teri. Begitu juga dengan jurus kedua, sebagian program banyak yang runtuh akibat terbatas oleh waktu dan kurangnya tingkat kesadaran masyarakat dalam memaknai dana bantuan. Jurus terakhir, lagi-lagi hanya menjadi program isapan jempol belaka. Bank-bank ternyata sulit membuka peluang, mereka emoh dirugikan.

Kita berdoa saja, semoga niat baik pemerintah ini terealisasi dengan baik. Semoga tangan-tangan siluman dan tikus-tikus white color tidak ikut ribut mencari jatah di balik keterjepitan usaha yang acap menghasilkan ketidaksedapan rasa. Wallahu a’lam

5 komentar:

  1. Bung Fahmi,gagasanmu selalu segar. Masyarakat kita butuh seperti kamu, yang selalu memihak pada wong cilik, meski kamu sudah di atas singgasana.Empat jempol buat kamu.

    BalasHapus
  2. Wah mas iqbal gak sopan, masak jempol kaki diacungin ke orang, nanti bisa kualat loh...
    "Aduh...bau bal", kata Fahmi hehe...

    BalasHapus
  3. Assalamu 'alaikum mas...
    dah lama ga posting nhee cz ga da ide yang "wow" githu...
    lagi pengen utak-atik layouts
    mas...bisa share ilmunya ga nhee
    n makasih dah comment
    Wasalamu 'alaikum

    BalasHapus
  4. kuliahnya pak hamim ilyas koyone ki :)))), jek rodo kelingan titik-titik, maklum durung lulus dewe :)))))

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.