Selasa, 17 Maret 2009

Kami Butuh Darahmu

Salah satu karakteristik Islam adalah memberi. Karena itu Islam dikenal dengan agama rahmatan lil'alamin, agama penyebar kesejahteraan di muka bumi. Bukti yang tegas yang menunjukkan bahwa agama Islam sebagai agama yang pemurah adalah adanya banyak konsep memberi dalam dogmanya. Sebut saja misalnya konsep zakat, sedekah, infak, wakaf, hibah, washiyat, hadiyah, diyat, kafarat, dan lain sebagainya.


Di antara konsep-konsep tersebut di atas ada yang menjadi kewajiban, tuntutan keikhlasan, atau paksaan akibat suatu kesalahan yang diperbuat oleh seorang muslim. Namun secara keseluruahan konsep-konsep itu merupakan agenda kasih sayang Islam untuk seluruh umat manusia. Islam sangat menjunjung tinggi sikap welas asih. Islam menjadikannya sebagai budaya perennial yang tidak lapuk oleh menuanya usia alam.

Meski di dalam konsep memberi itu ada mengadung unsur paksaan, tapi motif keikhlasan untuk mencapai ridha Ilahilah yang menjadi penggeraknya. Karena itu Islam sangat membenci sikap mencari pamrih dalam memberi. Wala tamnun tastaktsir, janganlah engkau memberi dengan maksud memperoleh balasan yang lebih banyak, demikian ditegaskan oleh al-Qur'an dalam surah al-Muddatstsir ayat 6. Memberi secara demonstratif sebenarnya dianjurkan saja oleh Islam, tapi jika di balik itu terselip pamrih seperti riya atau sum'ah, maka ia dengan keras dilarang.

Diakui, barangkali tidak seorangpun dari kita yang berhak menganggap dirinya bebas dari pamrih. Namun ini bukan menjadi alasan yang menghalangi kita berbuat untuk suatu nilai intrinsik dari suatu tindakan. Oleh karena itu Islam sangat menganjurkan agar sejak dini seorang anak dibiasakan untuk belajar memberi. Mencintai sesama dengan keikhlasan untuk berbagi.

Dalam setiap level ekonomi masyarakatnya Islam membuka peluang amal untuk segera dimasuki. Bagi kalangan faqir miskin, setidaknya dalam setahun mereka bisa berpartisipasi dalam wadah zakat fithri. Apatah lagi bagi si kaya, ruang-ruang, baik yang bersifat wajib atau sunnat menganga lebar untuk kadar kekayaannya. Tandasnya banyak jalan untuk menafkahkan harta yang kita miliki.

Jika kita memperhatikan konsep-konsep yang ditawarkan Islam secara cermat, kemudian mengabstraksikannya dalam suatu kata memberi, maka kita dapati bahwa agama Islam sungguh sangat fleksibel. Di mana semua orang bisa menyelaraskan dirinya untuk memenuhi masing-masing konsep itu. Misalkan saja konsep wakaf. Jika melihat sejarahnya, konsep wakaf itu sebenarnya dipergunakan untuk orang yang hanya berkeinginan memberikan manfaat dari benda yang dimilikinya, bukan memberikan bendanya secara utuh. Karena itu ia dikenal dengan istilah wakaf, yang berarti menahan bendanya untuk tetap dimiliki secara legal, dan memberikan manfaatnya untuk kepentingan sosial.

Nah, di sini kita bisa melihat, jangankan untuk memberikan bendanya, menafkahkan manfaatnya saja pun masih diterima oleh Islam. Walaupun belakangan konsep wakaf itu sudah berubah, namun kita bisa mengambil hikmah betapa Islam sangat terbuka lebar untuk menampung keragaman niat baik semua orang.

Sayangnya saluran-saluran itu tampaknya tidak diisi oleh umat dengan memadai. Orang-orang sekarang kebanyakan menjadi praktisi sejati dalam pembangkangan atas dogma wala tamnun tastaktsir. Mereka memberi memang betul-betul didasarkan oleh pamrih yang besar. Jika dalam sosialisasi diri untuk menjadi anggota legislatif mereka menghabiskan dana ratusan juta rupiah untuk diberikan kepada masyarakat miskin, setidaknya cukup dalam hitungan tahun kerugian itu bisa kembali. Dan sisanya adalah keuntungan dari usaha keras dalam mengkalkulasi sumbangan bagi masyarakat tidak mampu.

Itu dalam dunia politik, apalagi dalam dunia bisnis. Suap sebagai suatu variabel dari memberi yang berjenis negatif acapkali dimainkan oleh para pengusaha untuk mendapatkan hasil yang lebih besar. Kadang dalam kedua wilayah ini, politik dan bisnis saling berkelindan erat. Anda sebagai seorang politisi yang miskin secara ekonomi bisa saja mendapatkan suntikan dana secara gratis. Tapi ke depannya, jika Anda sudah menyandang gelar sebagai anggota legislatif, bapak bupati, atau bapak gubernur, Anda harus mengganti hutang budi Anda dengan memperjuangkan kepentingan orang yang mensponsori Anda.

Inilah kenyataan hidup. Kesementaraan dunia telah menutupi mata hati kita untuk mengabaikan lambaian tangan Ilahi untuk meraih kebahagiaan abadi. Jangan sampai kita menunggu sesuatu terjadi seperti yang dikatakan oleh Nabi Muhammad: "Serahkan sedekahmu sebelum datang suatu masa ketika engkau berkeliling menawarkannya, orang-orang miskin akan berkata: 'Hari ini kami tidak perlu bantuanmu, yang kami butuhkan adalah darahmu'."

1 komentar:

  1. nanti az komentnya...ne i want to go.....

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.