Minggu, 10 Mei 2009

Masochisme Moral

Dalam ilmu psikologi dikenal istilah masochisme. Istilah ini biasa digunakan untuk menjelaskan sikap atau tindak dari kelainan jiwa seksual seseorang, di mana terdapat kecenderungan untuk disakiti atau menyakiti pasangan senggamanya terlebih dahulu baik jasmani atau rohani agar memperoleh kepuasan dalam berhubungan seks.


Pada dasarnya masochisme adalah tujuan mendapatkan kepuasan dengan cara menyakiti atau disakiti. Jika kita abaikan identitas seksual dalam istilah masochisme, kemudian kita terapkan dalam konteks moral, maka yang kita maksud adalah suatu tindakan mencederai moral untuk mendapatkan kepuasan.

Masochisme dapat terjadi karena putus asa, kalah dalam persaingan, aspirasi yang tersumbat, merasa dilecehkan, memendam kebencian, krisis kepercayaan, mengalami kegagalan, dan bermacam alasan lain yang serupa. Asal hasrat tercapai, meski sesaat dan merugikan, sudah cukup untuk mendatangkan kepuasan.

Dalam persepakbolaan kita misalkan, sikap supportif dalam menerima kekalahan belum begitu membudaya. Yang menonjol adalah identitas masochisme. Jika para supporter mendapatkan kenyataan bahwa tim mereka kalah, begitu saja sikap ini menyeruak. Mereka tidak segan melempari para pemain dengan batu, turun ke lapangan memukuli wasit, menendang dan menghancurkan bangku, dan berkelahi antar supporter.

Para mahasiswa kita, jika sejenak saja aspirasi mereka tidak ditanggapi, serta-merta mereka berdemonstrasi, merusak fasilitas umum, melempari polisi dengan batu, berteriak-teriak mengumpat, mencaci-maki, menyumpah-serapahi semua yang mereka anggap terlibat dalam pemandulan cita-cita mereka.

Mencari kepuasan dengan mencederai moral bisa dikatakan sebagai salah satu karakter anak bangsa ini. Saya masih ingat, semasa sekolah di SMPN 1 Barabai, di antara teman-teman yang tidak lulus ujian akhir, ada yang melampiaskan kekecewaan dengan melempari kaca jendela sekolah hingga banyak yang pecah berantakan. Dengan begitu mereka merasa puas. Bahkan mungkin sekarang, boleh jadi selesai pengumuman hasil UN tingkat SMP dan SMA, bukan hanya kaca jendela sekolah yang menjadi sasaran amuk, diri mereka pun mereka cederai dengan pesta narkoba, coitus premarital, dan berbagai tindak amoral dan illogical lainnya.

Itu adalah pola ekpresi masochisme di akar rumput. Bagaimana yang terjadi di tingkat elit, meski substansinya sama, namun modus operandinya mungkin berbeda. Jangan dikira bahwa terseretnya Antasari Azhar, ketua KPK, Sigid Haryo Wibisono, Komisaris Utama PT Pers Indonesia, dan mantan Kapolres Metro Jakarta Selatan, Komisaris Besar Wiliardi Wizar, dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen adalah murni cinta segita. Di bawah permukaan fenomena gunung es mungkin menggumpal kasus besar yang mendorong terjadinya konspirasi penjegalan atas Antasari Azhar. Sepak terjangnya selama ini bisa jadi mendatangkan sikap masochisme agar dia turut merasakan perihnya mendekam di penjara.

Juga jangan dikira koalisi yang diikat oleh partai-partai politik yang lolos Parliamentary Threshold untuk mendukung pencalonan presiden dan wakil presiden mendatangkan kesepahaman di tubuh partai. Mereka yang merasa aspirasinya tidak terjawab bisa saja dihinggapi penyakit masochisme yang pada gilirannya menjadi paku yang bisa menggembosi partai politiknya sendiri dan calon pasangan capres dan cawapres yang tengah diusung.

Fakta yang mungkin terlalu dini kalau kita masukkan dalam kategori masochisme adalah kuantitas golput yang cukup mencengangkan. Sebanyak 29.01 persen, atau sekitar 49.677.076 orang yang tidak memilih dalam pemilu kemaren ternyata melebihi perolehan Partai Demokrat yang hanya memperoleh 26,43 persen suara. Namun mesti begitu, Partai Demokrat menduduki peringkat pertama dalam peraupan suara. Tetapi boleh saja kita menduga kalau gejala golput itu merupakan modus masochisme. Karena kepercayaan rakyat pada partai politik sudah luntur, maka mereka memutuskan untuk absen dari pemilihan.

Masochisme moral yang dibentangkan dalam kehidupan budaya, politik, sosial, ekonomi, dan hukum, tentu sangat berbahaya. Jika di kalangan alit masih terkesan kasar dan kampungan, di kalangan elit sudah tidak terasa dan kelihatan. Pemainnya begitu kreatif dan subtle. Tujuannya jelas, kepuasan dengan disertai pencederaan atas moral. Karena itu perlu diwaspadai dan diantisipasi.

Langkah antisipasi yang paling bijak adalah, terkhusus untuk pemerintah, baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan pusat, hendaknya menjalankan pemerintahan dengan jujur, terbuka, dan berupaya semaksimal mungkin untuk mensejahterakan rakyat. Jangan sampai di kemudian hari, dalam perjalanan pemerintahan, rakyat merasa diingkari. Karena kalau itu terjadi, mungkin jadi dengan memendam rasa kecewa dan benci, rakyat menjalin kekuatan untuk menjalankan missi masochisme moral.

2 komentar:

  1. Membaca dari pengertian tentang masochisme di awal,rasanya tidak pantas anda menggeneralisir suatu masalah yang belum tau alasan mengapa ada rakyat yang memilih golput. Tau tidak, mengapa banyak yang sudah tidak percaya dengan sistem yang ada? Saya yakin Anda pasti tau.Mereka mendambakan perubahan yang revolusioner bukan hanya parsial, tapi juga komprehensif. Mereka yang tidak memilih bukan berarti diam,pasrah,atau tidak mau ambil bagian dalam perbaikan negeri ini. Tapi perjuangan orang- orang yang anda anggap berperilaku 'masochisme' itu, mengikuti langkah-langkah yang dicontohkan oleh Rasul saw, yaitu tidak memasuki sistem yang memang sudah rusak sebelumnya.Apakah bisa dengan sistem yang sudah rusak ini,masyarakat sejahtera? Sekarang sudah terbukti masyarakat banyak yang menyadari bahwa kita salah mengambil sistem. Aset- aset yang kita miliki menjadi hak milik swasta dan asing, akhirnya rakyat yang menanggung beban. Mau bicara dari hati, sambil menangis mengiba kepada petinggi negeri, eh..malah di hujat. Karena apa? Mereka punya kepentingan di atas sana. Itulah Kapitalis. Sekarang perombakan itu mutlak dibutuhkan masyarakat, mereka menantikan saat- saat indah itu, dimana tidak ada lagi kekayaan alam kita yang dihadiahkan kepada asing,dimana tidak ada lagi gelak tawa kaum kafir yang dahulunya menipu kita dengan menyajikan racun dibalut madu. Sekarang tanggung jawab itu ada pada kita. Kita yang diberi amanah oleh Allah, kita yang dipilih oleh Allah. Apakah rela kita menyia- nyiakan amanah Allah itu. Allah memanggil kita, apakah kita harus mengabaikan panggilan suci itu???

    BalasHapus
  2. Saya kira Anda perlu baca tulisannya sekali lagi. saya cuma menduga, bahkan saya bilang, terlalu dini kiranya fenomena golput dimasukkan dalam masochisme. namun bukan berarti tidak bukan?

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.