Selasa, 05 Mei 2009

Tidak Perlu Heran

Kian hari kita semakin dibuat terperangah oleh beragam berita dari peristiwa yang terjadi di tanah air. Belum selesai kisruh silang sengkarut hasil pemilihan anggota legislatif, mendadak disambut oleh ramainya isu koalisi. Siapa menggandeng siapa, partai apa yang bersalaman, mana yang memproklamirkan persaingan, mana yang terpuruk berjama'ah, dan mana yang menangis sendirian.


Belum berbilang tarikan nafas, berita keterlibatan Antasari Azhar, ketua Komisi Pemberatan Korupsi, atas tewasnya Nasrudin Zulkarnain, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran yang tewas ditembak 14 Maret 2009, menyeruak menyita perhatian. Di sisi lain, liukan tarian flu babi yang menggetarkan jagad Eropa dan Amerika turut menyelipkan rasa was-was atas pertahanan kesehatan nasional.

Tidak usah heran. Beberapa tahun ini kita memang terbiasa untuk imun dari rasa heran. Jika dalam pemilu legislatif banyak calon kalah yang tergoncang jiwanya, itu tidak mengherankan. Kalau Susilo Bambang Yodhoyono dalam pilpres akan datang bercerai dengan Jusuf Kalla, itu juga tidak mengherankan. Kala Wiranto memisahkan diri dari Golkar, lantas mendirikan Hanura sebagai kendaraan politik, kemudian dalam pilpres merapat kembali ke Golkar, yang demikian itu juga sangat tidak mengherankan.

Berikut mengenai banyaknya pejabat tinggi yang terkait kasus memalukan, itu pun tidak cukup untuk membuat heran. Sekiranya Antasari Azhar betul-betul menjadi dalang pelaku pembunuhan, tidak aneh kiranya. Kalaupun tidak terbukti, juga tidak aneh rasanya. Kita sudah kebal untuk tidak heran atas perenggutan nyawa manusia. Pun tidak merasa heran atas pembunuhan karakter manusia. Manusia di negara ini sudah imun atas kasus-kasus dan peristiwa-peristiwa yang melampaui takaran kemanusiaan.

Dunia ini memang panggung sandiwara. Apa yang dilakukan orang, sesuai dengan fungsi yang diperankannya. Meski peran itu menyimpang dari watak fitrahnya, tetap saja dinamakan fungsional. Seorang polisi pada saat tertentu boleh saja memainkan perannya yang lain sebagai penjahat. Dokter menjadi dukun cabul. Kiyai menjadi penyebar fitnah. Pejabat menjadi maling. Call girl jadi model wanita solehah. Pelawak jadi ustadz. Dan banyak lagi silang sengkarut peran yang kalau ditilik dari sudut pandang fungsionalisme struktural semuanya diabsahkan.

Hanya saja, karena semua peran yang kita mainkan itu adalah pilihan sadar masing-masing, maka tuntutan tanggung jawab dari pemainnya menjadi konsekuensi yang semestinya diterima. Karena itu tidak mengherankan kalau banyak pejabat terlibat kasus korupsi kemudian menikmati hari-harinya di hotel prodeo. Atau ada yang selamat dengan kelicinan usahanya, itu pun tidak mengherankan sebab sudah biasa.

Keheranan di negeri ini hanya berlaku kalau idealita yang diharapkan dapat terejawantah dengan baik dan benar. Kita akan heran kalau dalam pemilu para pemilih menolak politisi karbitan yang bisanya hanya mengandalkan kekayaan. Heran kalau masyarakat tahu dengan baik mana yang layak untuk dipilih. Heran jika mereka bersikap demokratis. Heran kalau semua orang memerankan peranan moralnya dengan baik di segala level mana mereka berada.

Zaman yang menggiring manusia di abad ini adalah zaman edan. Di mana keburukan dipandang sebagai sesuatu yang lumrah, sedang kebaikan menjadi barang langka yang mengherankan. Seorang pemimpin yang betul-betul memperjuangkan rakyatnya adalah pemimpin yang mengherankan. Kelaziman yang berlaku di negara ini adalah, pemimpin memanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan sebesar-besarnya kekuasaan yang dia dapatkan untuk kepentingan diri, kelompok atau keluarga dekatnya. Kekuasaan tidak diarahkan untuk mencerdasakan, mensejahterakan, dan membahagiakan mereka yang seharusnya mendapatkan. Kekuasaan sebisanya berputar di antara mereka dan untuk kepentingan mereka saja.

Maka dari itu tidak perlu gumun kalau menyaksikan di sana sini para politisi sibuk menakar untung rugi koalisi. Pancapaian kekuasaan adalah target utama. Dan bukan hanya mereka yang mendapatkan sematan sapaan sebagai pemimpin nasional yang sibuk mengkalkulasi peruntungan, mereka yang terjaring sebagai calon legislatif pun, saat pemilihan kepala daerah nantinya akan sibuk bertransaksi, mengkalkulasi untung rugi koalisi. Bagi-bagi rezeki dari hasil tawar-menawar kursi yang berfungsi sebagai jukung untuk syarat perlombaan pemilihan calon kepala daerah nanti.

Sangat menggiurkan. Betapa tidak, jika pada tahap awal masa jabatan saja sudah bisa mengembalikan kerugian materi yang terbuang saat kampanye pemilihan, apatah lagi proyek-proyek yang akan dihadap, sungguh begitu nikmat dibayangkan. Lantas, di mana kiranya kepentingan rakyat diletakkan? Sekali lagi tidak perlu heran. Rakyat itu adalah sarana, bukan tujuan. Rakyat itu aset, bukan penadah hasil bersih perjuangan. Karena itu mungkin mereka diletakkan pada huruf dal dari alif, ba, ta, tsa, jim, ha, dan kha kepentingan diri.

2 komentar:

  1. Selamat bung, tulisanmu ini nongol hari ini.Bagi yg pengen lihat tulisan fahmi bisa dilihat di sini:
    http://www.banjarmasinpost.co.id/read/artikel/11624

    BalasHapus
  2. Trus solusi yang anda berikan gimana???

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.