Senin, 12 Juli 2010

Jangan Membahayakan Diri dan Orang Lain

Tidak boleh membahayakan diri dan orang lain adalah prinsip universal yang kita angguki kebenarannya. Walau ia diambil dari sumber Islam yang tertuang di dalam hadits nabi, laa dharara wa laa dhiraara fi al-Islaam, namun terobjektifkan dalam kehidupan manusia yang tidak lagi dibatasi oleh geografis, bahasa, budaya, dan agama.

Sekarang banyak orang yang bernaung di bawah dalih kebebasan pribadi dengan hak-hak yang tidak boleh diricuhkan orang lain, sehingga berbuat sekehendak hati melakukan sesuatu meski itu membahayakan diri sendiri. Dalam hal ini, orang kadang tidak paham, salah sangka, dan memandang secara dangkal kehidupan pribadinya.

Bahaya, berarti sesuatu itu dipandang bisa mendatangkan kecelakaan, bencana, kesengsaraan, atau kerugian. Bagi diri maksudnya adalah segala komponen penting yang merangkai identitas seseorang. Ia bisa berupa mental, fisik, emosi, dan rohani.

Membahayakan mental, berarti seseorang itu melakukan sesuatu yang bisa menghentikan perkembangan otaknya. Tidak lagi mau belajar, malas membaca, alergi menghadiri pertemuan-pertemuan keilmuan, tidak berusaha mengekpresikan diri melalui bahasa yang baik, jelas, dan ringkas. Sebaliknya, waktunya habis hanya untuk melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat; sepanjang hari menonton televisi, main game, tidur, ngobrol di warung atau di gardu dengan materi yang kadang bisa menyulut emosi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di kebanyakan rumah, televisi menyala sekitar tiga puluh lima sampai empat puluh lima jam dalam seminggu. Jumlah waktu yang sama banyaknya dengan waktu yang digunakan orang untuk bekerja dan lebih banyak dari waktu yang digunakan orang untuk sekolah. Televisi memiliki pengaruh yang sangat kuat dengan cara yang samar dan tidak kentara. Ia bisa mematikan otak.

Fisik, ini terkait dengan kehidupan ragawi. Membahayakan fisik berarti seseorang membuka ruang untuk kehadiran penyakit di tubuhnya dan kecelakaan melukai jasmaninya. Tidak usah terlalu ekstrim seperti ngebut-ngebutan di jalan atau mengkonsumsi obat-obatan dan minuman keras. Tidak mau berolahraga untuk membangun kelenturan, daya tahan, dan kekuatan tubuh, sudah merupakan tindakan membahayakan diri. Belum lagi makanan yang dikonsumsi, jika tidak awas, bisa menjadi penyakit yang mematikan.

Emosi, maksudnya adalah sikap sosial kita. Ini yang cukup urgen, karena terkait dengan kehidupan kita bersama orang lain. Karena mulut badan binasa, demikian ungkapan pepatah. Orang kadang tidak cukup mengerti akan keadaan dirinya sendiri, sehingga apa yang dia katakan kepada orang lain, apa yang dia perbuat, atau sikap tubuh yang dia tunjukkan, bisa mendatangkan bahaya pada dirinya sendiri.

Banyak orang tidak sadar, apa yang dipikirkan langsung diungkapkan, apa yang dirasa langsung diejawantahkan. Tidak ada kesempatan untuk memilah pilih sikap yang layak untuk diserantakan. Reaktif, persis binatang, asal ada sesuatu yang merangsangnya untuk berbuat, terus saja dilakukan, walaupun terdapat racun di makanan. Tentu sangat membahayakan.

Hampir dipastikan kalau setiap orang memiliki kehidupan rohani. Hanya saja intensitasnya kadang tidak terlalu kuat atau malah hilang. Padahal ia sangat mendasar, menentukan arah ke mana seseorang harus melangkah. Bagaimana seseorang bisa membahayakan kehidupan rohaninya, yaitu dengan mengesampingkan nilai-nilai pengabdian dalam setiap tindakannya. Pengabdian dalam istilah agama adalah ibadah. Ketika seseorang meyakini apa yang diperolehnya murni dari jerih payahnya dan membuang keterlibatan Ilahi dalam keberhasilannya, maka sebenarnya dia telah membahayakan kehidupan rohaninya. Apatah lagi dengan meninggalkan ritualitas yang diwajibkan agama kepada dirinya, maka ini merupakan kesombongan yang teramat sangat. Orang semacam ini kadang budi pekertinya rusak.

Orang yang membahayakan dirinya dengan misal-misal tersebut di atas, tidak akan bisa berdiri tegak dalam berinteraksi dengan masyarakat banyak. Kekalahan dalam mengontrol diri, apalagi sampai pada stadium membahayakan akan berdampak pada sikap dan perilaku yang juga membahayakan orang lain.

Solusinya tentu kembali pada masing-masing diri. Mengaktifkan kembali otot-otot semangat, menilai ulang setiap apa yang dilakukan dengan analisis manfaat, dan konsisten untuk melakukan perubahan. Kata David Starr Jordan: “There is no real excellence in all this world which can be separated from right living.” Tidak ada keunggulan sejati di dunia ini yang dapat dipisahkan dari kehidupan yang benar. Hidup yang unggul berarti hidup dengan meninggalkan segala yang membahayakan diri, melakukan segala aktivitas yang bermakna, berbagi kebahagiaan, dan tetap menyandarkan segala harapan pada yang memberi kehidupan.

Tidak boleh membahayakan diri dan orang lain sudah semestinya menjadi rambu pengingat dan penunjuk agar kita melangkah ke arah yang benar. Memberi arti dalam hidup, karena kita yakin bahwa Tuhan akan memberi harga atas upaya sadar setiap makhluk-makhluk-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.