Selasa, 27 Juli 2010

Sya'ban, Bulan yang Terlupakan

Nishfu itu artinya separoh atau setengah. Apabila dikatakan nishfullail, itu artinya tengah malam, atau nishfunnahaar, artinya tengah hari. Adapun yang familiar di telinga kita umat Islam adalah nishfu sya’baan, artinya pertengahan bulan sya’ban. Karena biasanya jumlah hari dalam sebulan 30, maka hari yang kelimabelaslah yang dipandang sebagai hari nishfu sya’ban.

Memasuki tanggal 15 di bulan sya’ban ramai kita saksikan umat muslim berduyun-duyun ke masjid. Mereka sejak petang sudah berkumpul. Ritual yang oleh orang Kalimantan Selatan disebut sebagai kegiatan banishfu ini biasanya dimulai sesudah shalat magrib. Mereka membaca surah yasin secara bersama-sama sebanyak tiga kali. Setiap kali akan membaca, salah seorang tokoh yang memimpin menganjurkan jama’ah untuk memasang niat permohonan. Pertama adalah agar dipanjangkan umur. Kedua agar ditambahkan rezeki yang banyak lagi halal. Dan yang ketiga adalah agar ditetapkan iman hingga akhir hayat.

Pada beberapa langgar atau masjid, acara banishfu biasa juga disertai dengan selamatan, atau makan bersama ba’da shalat isya dengan menu nasi bungkus yang disumbangkan oleh beberapa keluarga yang ada di sekitar langgar atau masjid. Dan terkadang juga, setelah shalat isya didirikan shalat tasbih yang pada keesokan hari umumnya mereka semua berpuasa.

Secara tegas memang tidak diajarkan oleh nabi ritual-ritual tersebut di atas dalam banishfu. Namun itu mungkin adalah pemaknaan atas hadis yang dinilai shahih oleh kritikus hadits, Muhammad Nasiruddin al-Albani yang bersumber dari Muadz bin Jabal, bahwa nabi telah bersabda: “Sesungguhnya Allah memperhatikan makhluk-Nya pada malam nishfu sya’ban, lalu Dia mengampuni semua makhluk-Nya, kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.” (H.R. Ibn Hibban).

Beberapa ulama, terutama yang terkenal sekarang ini adalah Dr. Yusuf al-Qaradawi menilai ritual-ritual seperti yasinan, shalat tasbih, berdoa dan lain-lain yang dikhususkan pada malam nishfu adalah perbuatan bid’ah atau menambah-nambahkan sesuatu yang tidak diajarkan nabi dalam urusan agama. Demikian juga yang dikatakan oleh Syeikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz, bahwa itu adalah praktik bid’ah. Sulit memang dipahami oleh orang-orang awam, tapi nyatanya demikianlah perdebatan seputar aktivitas nishfu sya’ban.

Menjauh dari pertentangan pendapat di atas, ada baiknya umat Islam mengenal ajaran yang tidak diperselisihkan seputar bulan sya’ban. Menurut cerita Aisyah isteri nabi, sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dan imam Muslim, bahwa nabi Muhammad tidak pernah berpuasa tunai satu bulan penuh, kecuali di bulan ramadhan, dan tidak satu bulan pun yang hari-harinya nabi lebih banyak berpuasa kecuali di bulan sya’ban.

Usamah bin Zaid sebagaimana yang diriwayatkan Abu Dawud dan Nasa’i, pernah bertanya kepada nabi perihal mengapa beliau membanyakkan puasa di bulan sya’ban. Nabi menjawab, bahwa sya’ban adalah bulan penengah antara rajab dan ramadhan. Di bulan itu orang-orang kadang lupa. Padahal di bulan itulah amalan-amalan diangkat kepada Allah. Sedang nabi ingin ketika amalnya diangkat, pada saat itu beliau sedang berpuasa.

Ajaran yang paling jelas sebagaimana saduran hadis tersebut di atas adalah, bahwa nabi memperbanyak puasa di bulan sya’ban. Jika kita memahaminya di luar konteks bahwa amalan-amalan umat manusia di angkat ke hadirat Allah di bulan itu, maka memperbanyak puasa di bulan sya’ban sebenarnya adalah langkah pembiasaan untuk memasuki bulan ramadhan.

Ibarat orang mau main sepak bola, perlu adanya kegiatan pemanasan agar otot-otot kendur dan siap untuk beraktivitas lebih keras lagi. Orang kadang lupa melakukan hal ini, sehingga pada saat otot-otot masih kaku, diterjunkan saja ia ke lapangan untuk latihan yang lebih keras, dan akibatnya otot-otot menjadi kejang, maka terasa sakitlah ia.

Puasa panjang di bulan ramadhan itu perlu pembiasaan. Dan inilah kiranya yang banyak dilupakan orang. Jika kita maknai lebih jauh lagi dengan mengutip bait terakhir dari bunyi hadis, “fa’uhibbu an yurfa’a ‘amalii wa ana sha’im,” dan saya ingin amalan saya dibawa ke atas selagi saya berpuasa, maka filosofi hidup yang dapat kita petik adalah, ayolah untuk terbiasa beramal shaleh. Jadikan setiap aktivitas hidup kita bernilai ibadah. Selama masih hidup, berusahalah memberi manfaat yang sebesar-besarnya kepada segenap makhluk ciptaan-Nya. Hingga pada saat nyawa kita dijemput oleh-Nya, kita dalam keadaan berbuat baik.

Dalam istilah Arab, ketepatan meninggal di saat orang terbiasa buat baik disebut dengan husnul khaatimah, atau dalam istilah perfilman dinamakan dengan happy ending. Sedang orang yang akhir hidupnya menyedihkan diistilahkan dengan su’ul khaatimah. Nabi mengisyaratkan agar umatnya terus teguh berpendirian memegangi kebaikan. Apapun rintangan hidup yang dihadapi, jangan pernah berpikir untuk menyerah menjadi orang baik. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.