Rabu, 14 Juli 2010

Melek Dosa untuk Bertobat

Hampir dipastikan tidak ada orang yang bebas dari kesalahan. Manusia adalah maqamnya kesalahan dan kealfaan. Namun sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah dia yang mau mengakui kesalahannya dan kembali melakukan kebaikan. Mengikuti kesalahan dengan kebaikan adalah langkah moral yang diajarkan oleh semua agama yang ada di muka bumi ini.

Di dalam Islam dikenal adanya konsep tobat. Tobat diambil dari kata al-taubah yang asal kata kerjanya taaba-yatuubu, artinya kembali. Kembali di sini maksudnya adalah kembali melakukan kebaikan setelah berbuat kesalahan; kembali dari kemaksiatan kepada ketaatan, dari jalan yang menjauhi Allah menuju jalan yang mendekati Allah.

Banyak orang yang bersalah dan banyak juga yang menyatakan maaf. Namun sayang, kata maaf mereka kadang sekedar lips service, berpura-pura saja, hanya untuk memperbaiki citra diri di mata masyarakat. Ini adalah laku orang munafik, lain di mulut lain di hati, menjual kebenaran hanya untuk mendapatkan harga yang rendah. Mereka adalah pelacur kehidupan.

Kita mungkin pernah mengalami musibah akibat kecerobohan kita sendiri. Ketika hal itu terlanjur terjadi, timbul andai-andai dari lamunan kita. Kita merasa susah hati, kecewa karena melakukan sesuatu yang tidak baik. Meski itu tetap tidak merubah keadaan, namun perasaan menyesal akan kesalahan yang diperbuat dan berniat untuk tidak mengulangi perbuatan itu lagi adalah prasyarat utama untuk tobat yang baik.

Berikutnya tentu harus disertai dengan tindakan nyata. Jika kesalahan kita mengakibatkan kerugian pada orang lain, maka kita harus mengganti kerugian orang itu, dan kalau menyangkut kehormatan maka kita semestinya minta maaf. Inilah sebenarnya yang diinginkan dari filosofi istigfar, yang mana kita dianjurkan untuk tidak hanya mengucapkan astagfirullah (semoga Allah mengampui dosaku), tetapi juga disertai dengan tindakan nyata sebagai bukti dari ketundukan jiwa kita agar memperoleh ampunan-Nya.

Pada hakikatnya yang paling mengetahui kondisi diri itu adalah kita sendiri. Pengenalan itu memberi kita pengetahuan akan sikap batin dan laku lahir kita yang keliru. Maka itu dosa dan tobat sebenarnya tidak lepas dari pantauan kesadaran diri kita. Seorang muslim yang baik adalah dia yang memiliki kesadaran dosa dan kesadaran tobat yang tinggi.

Tobat bukan hanya menghapus dosa, tetapi juga sebagai sarana bagi kita untuk terus mendekatkan diri kepada Allah. Karena itu sekalipun tidak berdosa, manusia tetap diperintahkan untuk bertobat. Rasulullah selalu beristigfar sekalipun beliau terpelihara dari segala dosa. Bahkan sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Rasulullah bertobat tidak kurang dari tujuh puluh kali dalam sehari semalam.

Ini mengajarkan kepada kita untuk melek dosa. Walaupun secara fiqih kita telah melakoni segala apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang-Nya, namun boleh jadi secara moral kita berdosa. Orang yang sebenarnya mampu, tetapi tidak beramal menurut kapasitasnya, di mata Allah adalah dosa.

Terhadap pengemis misalkan, kadang ada orang yang mengkritik bahwa memberi uang kepada mereka sama saja dengan tidak mendidik. Tentu itu kritikan yang bagus. Namun lebih bagus lagi jika kita mampu, kita yang mendidik mereka. Kita angkut mereka ke rumah, kita kumpulkan, asramakan, dan kita biayai. Jika perlu kita kasih kursus bagaimana hidup tidak mengemis. Sangat disesalkan sudah tidak mampu mendidik, juga tidak memberi apa-apa kepada mereka. Meski remeh, di mata Allah boleh jadi ini dosa.

Terhadap orang yang melakukan dosa seperti perzinaan contohnya, kadang di hati kita tertanam kebencian yang sangat kepada orang itu. Tidak kah kita sempat bertanya pada diri, yang kita benci itu orangnya, perilaku zinanya, atau kedua-duanya? Jika kita membenci kedua-duanya, akan sulit bagi kita menggerakkan hati untuk memaafkannya, mengajarkan kepadanya jalan agama yang baik. Hati manusia itu bersifat dinamik, karenanya bisa berubah. Kebencian dan ketidakpedulian kepada orang yang lemah seperti itu juga adalah dosa.

Sebagaimana disebutkan di atas, tobat artinya adalah kembali. Maka marilah kita kembali kepada fitrah diri kita yang asasi, pada hakikat diri yang baik. Berbagai-bagai kebutuhan dan kisruh pikiran kadang menghantarkan kita pada kehidupan yang tidak baik. Maafkanlah kesalahan diri itu dan kembalilah kepada jalan Allah. Sekeji-kejinya kita menyimpang dan menjauh dari jalan Allah, tidak pernah Dia menutup pintu maaf-Nya bagi kita.

Kata Abu Nawas dalam sya’irnya: “Tuhanku, aku ini bukan ahli surga, tetapi aku juga tidak sanggup berada di neraka.” Kemudian di akhir sya’irnya Abu Nawas menyebutkan: “ Tuhanku, hambamu yang sering berbuat maksiat ini datang kepadamu dengan mengakui segala dosa dan memohon kepadamu. Jika Engkau ampuni dosaku ini, itu sepenuhnya hak Engkau, tetapi jika Engkau tolak permohonan maafku, kepada sia lagi aku berharap.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.