Rabu, 11 Februari 2009

Kekuasaan itu Candu

Politik artinya segala hal yang berkaitan dengan kekuasaan. Dalam domain apa saja kekuasaan dimainkan, maka ia sudah masuk dalam kategori politik. Seorang suami yang menjalankan strategi agar isteri dan anaknya patuh tanpa reserve, itu namanya politik dalam menghimpun kekuasaan. Sebaliknya ketika sang suami menelantarkan isteri lamanya dan nikah lagi dengan isteri baru atas prerogatif poligami yang dimilikinya, berarti dia sedang menggunakan kekuasaan.


Demikian pula dengan seorang politikus. Ketika dia rajin mengunjungi orang-orang yang berpengaruh dan melakukan negosiasi dengan mereka, dia sedang menghimpun kekuasaan. Ketika dia menyingkirkan lawan-lawannya dengan memanipulasi wewenang yang dia miliki, dia sedang menggunakan kekuasaan. Di sini seorang politikus berpolitik dalam arti yang umum dipahami masyarakat.

Pengetahuan umum mengenai permainan politik sebaiknya dipegangi oleh mereka yang menjadi pendatang baru dalam dunia yang licin ini. Agar ketika terhempas dihenyakkan oleh kawan atau membumbung dipuji oleh lawan tidak mengalami depresi yang amat sangat. Kesadaran akan nilai politis ini mendorong kita segera mengambil posisi, mantap mengkuda-kudai diri, membalut mental dengan lapisan kelapangan untuk ready dicurangi dan dipecundangi.

Pra pemilu adalah musim menghimpun kekuasaan. Berbagai-bagai strategi diterapkan. Beragam-ragam umpan dilempar. Dan berjenis-jenis janji diucapkan. Semuanya bermuara demi mendulang kekuasaan. Bendera partai tersangkut di mana-mana: di atap rumah, di pucuk pohon, di tiang listrik, di bantaran sungai, di perempatan jalan, di gardu ojek, di pos polisi, di toko-toko, dan entah di mana lagi. Poster wajah calon terpampang di berbagai lokasi. Baliho kampanye dengan berbagai ukuran menyebaki beberapa ruas jalan. Jargon bersih, amanat, cerdas, jujur, adil, dan berbagai nilai universal lain mengkosmetiki pampang wajah calon. Semuanya adalah umpan pemikat.

Di musim ini, semua orang boleh bergabung. Jika perlu, setan sekalipun tidak jadi masalah. Seberapa mahal harga kekuasaan niscaya akan dibeli juga. Seperti yang dikatakan oleh McClellan, kekuasaan, di samping kasih-sayang dan prestasi adalah kebutuhan sosial yang menggerakkan manusia. Untuk itu apapun akan dilakukan. Hantu, preman, maling, rampok, semuanya bisa jadi kawan.

Ketika mengejar kekuasaan, seseorang mesti mengesampingkan kebutuhan yang lain. Dia harus jadi seorang yang tegaan. Karena jika kebutuhan kasih-sayang atau prestasi sama tingginya dengan kebutuhan untuk berkuasa, seseorang bisa jadi gila. Satu sama lain akan jadi penghalang. Desak yang satu, kurangi takaran yang lain. Ini adalah cara mulus untuk mendapatkan kekuasaan.

Karena itu di dalam politik banyak orang yang jadi machevilian. Menganut filosufi bahwa tujuan bisa saja menghalalkan segala cara. Simbol-simbol agama, budaya, profesi, akademik, dan lain-lain jika perlu diseret untuk berlutut di bawah keinginan tuk berkuasa. Dalam segala aktivitas, sebisa mungkin selalu mengenakan jubah atau baju koko. Peci tidak boleh terlewat. Janggut dipelihara serapi mungkin. Kata-kata seperti, ”subhanallah, alhamdulillah, dan Allahu Akbar,” selalu terselip dalam setiap tuturan. Kala mempersuasi, semua tradisi orang diikuti. Di kandang kambing mengembek, di kandang harimau mengaum.

Inilah peristiwa rutin yang mewarnai kehidupan politik pra pemilu. Orang-orang ramai menjaring dukungan untuk meraih kekuasaan. Kekuasaan menjadi senjata sakti yang diperebutkan. Apa saja akan berjalan lancar kalau ia sudah didapatkan. Jarang ada para politisi yang melihatnya dari sisi amanat. Tanggung jawab yang jika keliru dalam pengelolaannya bisa berakibat pada kerugian sekian banyak orang dan ancaman di sisi Tuhan.

Umar bin Khaththab merasa berdosa besar tatkala mengetahui ada rakyatnya yang kelaparan. Beliau memanggul sendiri sekarung gandum untuk dihantarkan kepada rakyatnya itu. Sementara dalam kehidupan kita jumlah penganggur bertambah puluhan juta tak ada yang merasa bersalah. Dilema kesengsaraan ribuan penduduk bawah jembatan belum beres, pemimpinnya tega nampang mencalonkan diri akan jadi presiden.

Tega tidak hanya berlaku dalam upaya menghimpun kekuasaan, akan tetapi juga dalam memanfaatkan. Jika tidak berbuat demikian, Anda tidak akan menjadi penguasa sejati. Hari-hari Anda hanya akan dibubuhi oleh kesedihan, kekuatiran akan nasib orang-orang lemah, sehingga rasa berdosa turut menjadikan Anda lemah. Politik ”tidak mengizinkan” hal demikian.

Dalam politik, kekuasaan digunakan untuk menindas, membungkam, memukul, dan menghempaskan lawan. Fokus kajiannya adalah proses pengamanan kekuasaan. Yang merongrong segera dihentikan, dan yang menyinggung sebisa mungkin dipenjarakan. Rakyat ada dalam agenda yang kesekian. Lingkaran setan kekuasaan mendikte; himpun, manfaatkan, kemudian amankan. Kekuasaan bukannya membuat orang jadi sadar, tapi malah jadi lebih gila. Sebab kekuasaan itu adalah candu. Candu yang mematikan hati nurani. Hati-hati.

5 komentar:

  1. Hm...syerem banget. Saya seperti melihat gambaran potret syetan berwajah manusia yang dingin dan kejam. Hm..sepertinya anak dan istri politikus itu kasihan sekali ya...mempunyai ayah dan suami yang tidak punya hati. Aduh..bisa-bisa dibawa ke neraka tuh...Saya jadi takut!..tapi... alhamdulillah...karena saya hanyalah seorang yang biasa, anak dari seorang yang biasa dan sedang mendamba seorang suami yang biasa pula...he..he... loh kok malah jadi curhat ya...he..he...

    BalasHapus
  2. sebenarnya sederhana aja, berpolitik itu maksudnya mengurusi urusan. ya, terkait apa aja. so, setiap kita adalah politikus.

    kekuasaan itu candu?????

    kunjungi blog uln lah, n jgn lupa kasih komentar!!! key,, :)

    BalasHapus
  3. maaf komentnya gak sesuai topik,
    gabung yuk di ajang aruh blogger di banjarbaru
    kamu bisa ikut lomba posting kontes, foto kontes dll
    atau cuma mau ikut gathring/temu blogger kalselnya aja
    gratis... daftarin diri kamu segera di

    http://www.aruhblogger.com

    kita majukan dunia blog di kalsel.dan tolong infokan ke sesama rekan blogger kalsel....

    BalasHapus
  4. Ada kearifan lokal di kalangan gitaris pemula: bahwa nomor Stairway to Heaven milik Led Zeppelin merupakan lagu standar yang niscaya mampu dimainkan jika si gitaris ingin diaku sebagai musisi. Kata Cak Nun, politik pun butuh musik sebagai bumbunya. Oleh katanya ini pula, bersama Kiai Kanjeng, musik Cak Nun mengiringi Pilkada Tanggerang.
    Sayang sekali, tak banyak orang yang berkesadaran layaknya Cak Nun. Para politisi kita yang sekarang sedang berlomba, membujuk (baca: membodohi) rakyat demi kepentingannya di awal april mendatang, lupa bahwa politik tidak boleh menafi bumbu yang terbuat dari unsur lokalitas etika-estetika. Kapan hari kelak, kala politik melibatkan lokalitas etika-estetika, politik takkan pernah berwajah seram.
    Mboh lah....hehehehe.

    BalasHapus
  5. link blogku ya..
    http://imamiqbal.wordpress.com

    salam dari jogja

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.