Sabtu, 31 Januari 2009

Menimbang Fatwa Haram Golput oleh MUI

Majelis Ulama Islam Indonesia dalam fatwanya mengharamkan golput (golongan putih) atau orang yang sengaja tidak memakai hak pilihnya. Mafhum mukhalafahnya berarti MUI ingin agar seluruh masyarakat Indonesia yang memiliki hak untuk memilih agar ikut berpartisipasi dalam pemilihan tahun 2009. Namun seberapa kuatkah fatwa itu mengintimidasi psikologi masyarakat? Dan sejauh mana nilai hukum fatwa MUI itu ditakar dalam perspektif hukum Islam?


Untuk menjawab dua pertanyaan di atas, saya ingin menjelaskan terlebih dahulu hubungan antara MUI dan masyarakat Indonesia. Kita tahu, MUI adalah sebuah lembaga yang dihuni oleh para pakar dalam ilmu keislaman. Jika kita tanyakan suatu masalah terkait dengan Islam, dalam hal ini MUI tidak diragukan lagi kapasitasnya. Dengan keistimewaan pengetahuan inilah maka MUI menjadi lembaga yang dipercaya untuk menyelesaikan masalah keislaman. Ini tentunya tidak lepas dari banyaknya anak bangsa yang memeluk agama Islam. Sehingga jadilah MUI sebagai patron bagi umat Islam Indonesia.

Namun perlu diingat, MUI hanya memiliki wewenang keilmuan bukan wewenang ketuhanan. Pun MUI tidak memiliki wewenang dalam mengatur kehidupan publik. Ulama adalah bentuk plural dari alim yang berarti orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Di sini sebenarnya kata alim memiliki konteks luas, tidak hanya khas dalam ilmu keagamaan, tapi menyangkut semua ilmu pengetahuan. Orang yang pandai dalam merancang bangunan atau yang sering disebut dengan arsitek bisa juga dikatakan alim. Pun orang yang pintar ilmu matematika, biologi, kimia, kedokteran, dan lain sebagainya. Semua mereka itu bisa disebut sebagai ulama. Hanya saja ketika kata itu diserap ke dalam bahasa Indonesia, ia menjadi tereduksi, terperangkap dalam arti orang yang pandai ilmu agama.

Ini wajar, karena dalam sejarahnya bangsa ini memang terkenal sebagai bangsa yang beragama. Karena itu juga arus keilmuan Indonesia kencang menuju hal yang bersifat keagamaan. Jadi lazim kalau dalam pola masyarakat seperti ini MUI hadir untuk jadi payung ilmu keagamaan, khususnya umat Islam. Di sini MUI terkesan sebagai pemandu dalam masalah keagamaan. MUI menjadi lembaga yang dipercaya oleh umat dan juga negara. Namun ini hanya sebagai kepercayaan, bukan lembaga yang dipertuhankan. Artinya, jika fatwa MUI masih bisa ditandingi oleh perspektif lain, maka ia tidak bersifat mengikat. Hanya sebagai pendapat. Atau jika fatwa itu tidak secara kental berkenaan dengan hukum agama, maka ia hanya sekedar himbauan.

Terkait dengan fatwa MUI yang mengharamkan golput, sejatinya ia bukan fatwa keagamaan, tapi himbauan. Ini jelas tidak memiliki implikasi hukum, baik itu hukum Islam atau hukum positif. Karena sejak semula kita ketahui kalau MUI bukanlah lembaga yang berwenang mengatur urusan publik. Wewenangnya adalah wewenang keilmuan, bukan wewenang ketuhanan. Namun karena MUI sudah terlanjur dipercaya, maka persepsi masyarakat atas fatwa MUI adalah fatwa keagamaan. Dan ini cukup besar pengaruhnya atas psikologi masyarakat, terutama umat Islam.

Selanjutnya, sebagaimana yang saya jelaskan, karena fatwa ini tidak berafiliasi kental dengan urusan hukum Islam, maka menurut hemat saya, Islam hanya memandangnya sebagai pendapat yang tidak mengikat. Jikapun dipaksakan dan ditimbang dengan hukum yang lima, takarannya bukan haram tapi makruh. Artinya dilihat dari sudut pandang aksiologi, golput cukup mengandung kemudharatan. Karenanya perlu dihindari (bukan wajib). Ini sesuai dengan arti makruh itu sendiri, yaitu yang tidak disukai dan selayaknya dijauhi.

Terlepas dari masalah hukum, jika kita perhatikan, nuansa politik yang sedang berjalan di Indonesia ini adalah nuansa ’ngeseli,’ acap memancing emosi marah. Kasus demi kasus terungkap, di mana sebagian besar kasus itu menunjuk pada ketidaklayakan mereka yang mewakili kepentingan rakyat itu untuk memanggul amanat. Kepentingan rakyat terlalu sering diabaikan. Yang dominan adalah kepentingan diri, kelompok atau partai politik mereka sendiri.

Begitu juga dalam pemilihan kepala daerah atau presiden. Di samping yang muncul adalah mereka yang itu-itu saja, ditambah dengan politik kekuasaan yang sangat kentara. Ambisi untuk berkuasa cenderung menghalalkan segala cara. Implikasinya amanat rakyat cenderung terabaikan. Pada gilirannya golput menjadi pilihan. Dan ini cukup beralasan. Lagi menurut saya, mereka yang menghendaki golput juga bukanlah orang bodoh. Mereka memutuskan sikap berdasarkan pertimbangan atas dasar kenyataan. Yang mana menurut alur logika mereka, sekiranya pemimpin yang tidak mereka percaya itu naik dan ternyata menghianati rakyat, maka secara moral mereka tidak dapat dimintai tanggung jawab.

Itu jika dilihat dari sudut pandang mereka yang mendukung golput. Tapi jika memang mereka yang mencalonkan diri sebagai anggota DPR, kepala daerah, atau presiden itu dinilai tidak dapat dipercaya semua, dengan golput malah akan menambah kerusakan. Bisa saja yang terpilih adalah mereka yang tingkat kepercayaannya sangat rendah, sehingga keadaannya akan semakin parah. Daripada hasilnya demikian, maka memilih yang terbaik dari yang tidak dapat dipercaya adalah jalan terbaik. Menelikung dari mudharat yang lebih besar untuk menghadapi mudharat yang lebih kecil adalah lebih baik daripada bersikap golput.

Terakhir, hemat saya ada baiknya kalau MUI tidak terlalu jauh terlibat dalam urusan politik. Yang lebih proporsional adalah MUI selaiknya berperan aktif menyelenggarakan pendidikan pemilih untuk rakyat. Karena melalui sarana ini, MUI memiliki banyak peran untuk memasukkan nilai-nilai agama pada masyarakat pemilih. Dan ini keliatannya cukup efektif dan nikmat untuk dirasa.

1 komentar:

  1. kunjungi ya blog nf ! jgn lupa kasih komentar juga. itu az. trims

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.