Minggu, 19 Oktober 2008

Bangun dari Selimut Kebodohan

Ini hanya sekedar tafsir pribadi atas ayat al-Qur’an. Jikapun menyimpang dari mainstream para ahli tafsir, saya mohon maaf. Kelemahan tingkat pengetahuan penulislah pangkal tolaknya. Karena itu jika ditemukan banyak kesalahan, tembakkan saja laras kritik itu pada penulis. Biar terbangun suatu dialog, tercipta nasikh mansukh wacana, hingga yang kompatibel saja yang berjaya.


Dalam surat al-Mudatstsir/74 ayat 1 dan 2 Tuhan berfirman: “Hai orang yang berselimut, bangunlah kamu, kemudian berilah peringatan.” Ayat ini menurut saya bisa saja ditafsirkan berbeda dari tujuan dasarnya, yaitu mengajurkan Nabi Muhammad untuk berani mengiklankan Islam secara terang-terangan. Kata “selimut” dan perintah untuk “bangun” adalah dua hal yang berkorelasi tajam dalam suatu transformasi sosial.

Kata “selimut” menyimbolkan suatu masyarakat yang merasa enak dengan sesuatu hal yang pada hakikatnya masih hina. Merasa nyaman meski sebenarnya mereka masih dalam tarap kebodohan. Atau merasa matang dalam keterbelakangan. Di sini muncul apa yang dinamakan dengan komunitas selimut. Yaitu suatu komunitas yang terselimuti oleh banyak segi-segi, seperti pendidikan ketidakcerdasan, ketergantungan, kekuasaan, hedonisme dan lain-lain.

Sekelompok mahasiswa yang suatu saat nanti menyandang gelar sarjana, namun pada sisi lain juga hobi tawuran, pada hakikatnya mereka masih terperangkap dalam selimut kebodohan. Sejumlah pelajar yang diajarkan kepandaian, informasi, dan berbagai keterampilan hidup, tapi pada saat lain mereka memperlakukan guru tidak lebih dari sekedar pengajar, bukan pendidik yang patut untuk dihormati, maka pelajar-pelajar itu telah terperangkap dalam selimut kebodohan. Suatu himpunan masyarakat yang dalam pemilu memberikan suaranya kepada kandidat yang rendah moralnya hanya karena uang limapuluh ribuan yang dijejalkan ke kantong mereka, maka masyarakat ini masuk dalam komunitas selimut.

Banyak lagi contoh-contoh lain yang menggambarkan, meski pada tarap keilmuan seseorang itu menempati status yang tinggi seperti mahasiswa yang memiliki status maha dalam kesiswaan, tapi sebenarnya mereka adalah komunitas yang masih terselimuti oleh kebodohan. Rendahnya kesadaran moral sosial, ketidakpekaan dalam mengaitkan ilmu pengetahuan dengan realita sosial menjadikan mereka terperangkap dalam suatu dekadensi, baik dalam pola hedonisme ataupun konsumtivisme.

Belum lagi jika kita kaitkan dengan para birokrat, politisi, polisi, militer, pengusaha, dan lain-lain, pola komunitas selimut sangatlah beragam dan banyak. Bahkan seorang kiai yang paham betul sisi-sisi rumit pesan-pesan moral al-Qur’an pun, masih bisa terjebak dalam selimut. Apalagi orang awam, maka tanpa bantuan mereka yang tercerahkan akan sulit untuk keluar dari selimut komunitas yang memperangkap itu.

Karena itu pada ayat kedua Tuhan berfirman: “bangunlah.” Bangun dari apa? Bangun dari selimut ketidaksadaran akan semua yang membodohkan, yang menyeret pada keterbelakangan moral, yang menelungkupi dan melemahkan hasrat untuk bergerak menuju nilai-nilai kebaikan. Bangun dan singkirkan semua selimut itu. Bersihkan diri. Jika anda seorang pemimpin, sadarlah untuk memenuhi amanah orang banyak. Jika anda seorang mahasiswa, berpeganglah pada prinsip bahwa ilmu bukan hanya untuk ilmu, tapi juga untuk moral. Jika anda seorang birokrat, jadilah birokrat yang jujur. Jika anda seorang polisi, hentikan negosiasi dengan duit dan kekerasan. Atau jika anda seorang pengusaha, cegahlah nafsu rakus dengan menghalalkan segala cara, dan sadarkan diri bahwa harta tidak dapat dibawa mati semua.

Barulah dengan kelengkapan ini, seorang mahasiswa bisa dikatakan maha dalam kesiswaannya, seorang pemimpin amanah dalam kepemimpinannya, seorang polisi proporsional dalam tugasnya, seorang pengusaha sosialis dalam semangat kapitalisnya, dan seorang birokrat adil dalam kebirokratannya. Pada tingkatan inilah terbuka peluang bagi semuanya untuk berposisi sebagai pemberi peringatan. Ketika seseorang sudah mampu mengatasi hawa nafsu dirinya, maka layaklah dia untuk memberi peringatan, yang di dalam istilah al-Qur’an dinamakan dengan “al-mundzir,” atau sang pemberi peringatan.

Al-Qur’an adalah pesan Tuhan dalam suatu ruang dan waktu tertentu dalam sejarah. Ia lahir dalam suatu budaya tertentu, merespons suatu interaksi sosial yang dinilai amoral, tidak bermartabat, dan lemah dalam kesadaran tauhid. Di mana harta, berhala, kekuasaan, dan lain sebagainya dipandang sebagai tuhan. Dan sikap inilah sebenarnya yang menyebabkan lahirnya perilaku-perilaku amoral yang menghantarkan manusia pada dekadensi yang luar biasa, memangsa sesama manusia.

Karena itu al-Qur’an datang untuk mematahkan semua yang dipandang sebagai tuhan, yaitu apa-apa yang dianggap penting dan harus dipenuhi, yang pada saat ini tuhan-tuhan itu bisa saja menjelma dalam bentuk yang berbeda tapi memiliki substansi yang sama. Cinta harta, suka mencari kesenangan, sayang pada kekuasaan, menjilati jabatan, dan lain-lain. Semua itu adalah selimut yang membodohi. Tuhan sejak empatbelas abad yang lalu telah memerintahkan untuk membuang jauh-jauh selimut itu, untuk kemudian bangkit dan masuk dalam komunitas al-mundzir. Jika itu tercapai, maka akan terciptalah suatu masyarakat yang saling mengawasi, yang dalam surat al-‘Ashr/103 disebutkan sebagai pengecualian dari komunitas masyarakat yang merugi. Wallahu a’lam

4 komentar:

  1. Tulisan sampeyan bagus mas... Saya jadi merasa tercerahkan. Ya kita itu musti bangkit, jangan tidur enak-enakan di dalam selimut saja. Matur suwun ya mas... Sampeyan itu orang mana? kalimantan ya... Sudah nikah belum? Mau tidak kalau saya ambil jadi menantu?

    BalasHapus
  2. Bagusss.. kamu memang tukang kritik yang cerdas? Upss..kok gak nyinggung dosen ya??

    Terbukti kan, hasil iklan blogmu di banjarmasin post.. (lihat komentar anonim itu pada kalimat terakhir!).

    BalasHapus
  3. muzammil sama mudatsir bedanya apa?
    trus kalau muzammil tafsirannya apa? sama saja ya?

    Oya, kalau menurut saya untuk bangun dari sebuah kondisi negatif tertentu itu butuh sesuatu yang sangat mahal, yang tidak bisa diberikan oleh siapapun yang ada di dunia ini, yaitu KESADARAN, atau bisa juga disebut HIDAYAH.

    Ya, siapapun yang sudah SADAR, dan kemudian dia ingin MENYADARKAN ORANG LAIN, maka yang bisa dilakukannya hanyalah sebatas memberi peringatan/nasehat, karena kita tidak bisa memaksa/membuat seseorang menjadi sadar.

    Selanjutnya, yang perlu kita usahakan (untuk diri kita) adalah JANGAN CAPEK/BOSAN memberi nasehat! terus saja begitu, walaupun sampe mulut kita pegal-pegal dan berbusa he2

    :)Zul

    BalasHapus
  4. Tulisan kamu memang selalu T O P !
    yupz...
    ku setuju dengan komentar bang iqbaL,,,
    ko' ga ada nyinggung dosen ya?
    pdhal dosen kan yang mempunyai peran besar dalam mencerdakan mahasiswa2nya !
    by penggemarmu

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.