Minggu, 12 Oktober 2008

Kebebasan Berekspresi Seorang Seniman

Di desa saya dulu ada seorang pemuda yang namanya Adi Bung. Orangnya, maaf, stress. Tapi gaya pakaiannya ternyata menjadi trend remaja masa kini. Celana Jean yang menguncup ke bawah dengan sedikit tarikan sehingga lapisan celana dalam juga sedikit belahan pantat menyembul keluar. Sekarang, dengan sedikit aksesoris seperti rantai yang menggantung di saku dan tempelan tulisan yang dibordir jadilah ia semakin digandrungi banyak remaja.


Mula model begini mungkin dirintis oleh para seniman. Terutama para seniman yang memanggungkan penampilan dan karya cipta mereka melalui media televisi. Seniman yang identik dengan kebebasan, pemberontakan atas aturan-aturan, adat-istiadat, moral, dan basa-basi keparat. Seniman yang mengimaji di benak masyarakat sebagai manusia berpakaian kumal, malas mandi, rambut gimbal, hidup seenaknya, kurang tau aturan, ngomong terjang sana dan terjang sini.

Bagi sebagian seniman, berani menerjang aturan moral kadang menjadi kebanggaan tersendiri. Jika hanya sebatas rambut disemir dengan beragam warna kayak burung nuri, celana ala Adi Bung, baju ngepress seperti lapisan lemper, kuping dan hidung yang digelantungi anting-anting, dan cara berjalan yang mengekspresikan identitas mereka, tampaknya tidak jadi soal. Ini adalah otonomi mereka. Akan tetapi jika tingkah mereka sudah menabrak moralitas yang mentradisi di masyarakat, seperti mabuk-mabukan, free sex, membuat onar seperti menyetel tape sekencang-kencangnya hingga shubuh hari, dan mengganggu remaja putri yang sedang melintas di depan gerombolan mereka dengan suit-suit dan kata-kata lanji, maka ini sudah menjadi masalah.

Setiap orang boleh saja mengidentifikasi dirinya dengan sebutan seniman. Baik yang mampu menghasilkan karya berharga maupun yang sekedar menyenikan penampilan belaka. Tapi perlu diingat, meski seorang seniman itu otonom, bisa berkarya sebebasnya, memiliki spirit yang menggeletar-geletar, namun ketika karyanya diekspresikan, ia butuh subyek lain yang terlibat untuk merespons karyanya. Ia juga perlu orang lain untuk menemaninya berdiri sebagai bagian dari masyarakat. Sehingga sampai batas ini kebebasan seorang seniman menjadi terbatas oleh kebebasan orang lain. Gelegar hasratnya kala diungkapkan menjadi terpagari dengan kebebasan manusia lainnya.

Kita tahu, moralitas itu kadang tercipta dari perjalanan panjang manusia dalam berinteraksi dengan yang lainnya. Ia bisa bersifat lokal dan universal. Jika payudara wanita terbuka di pedalaman Irian Jaya dianggap sebagai suatu kewajaran, maka di tengan kota Banjarmasin akan dipandang sebagai sikap hidup yang amoral. Jika berjalan hulu-hilir di kota Bali hanya dengan mengenakan celana dalam dan penutup buah dada tidak masuk dalam kategori fornografi, maka bagi masyarakat Barabai itu sudah dipandang sebagai eksploitasi seksual.

Jadi moralitas itu bersifat lentur, tergantung bagaimana masyarakat lokal mengkreasinya. Namun ada juga yang bersifat universal. Memperkosa anak remaja dengan dalih apapun tetap tidak dibenarkan. Apakah itu di Indonesia, Malaysia, ataupun juga di negara sekuler seperti Amerika. Jenis moral itu banyak, baik yang bersifat lokal maupun yang berlaku universal. Sehingga penghargaan pada budaya lokal setempat merupakan jenis sikap yang ditanamkan dalam pelajaran pendidikan moral pancasila di negara ini.

Kembali kepada seniman. Seperti dijelaskan di atas, bahwa ekspresi seorang seniman bukan bersifat otonom lagi, seperti adagium seni untuk seni, akan tetapi sudah merupakan ekspresi budaya. Ia sudah membaur dengan banyak kepala yang juga memiliki kebebasan dan tatanan moral sendiri. Sehingga mau atau tidak, tingkah yang ingin dibudayakan itu harus ditimbang terlebih dahulu melalui verifikasi moralitas yang sudah tercipta di masyarakat.

Seperti di dunia akademik contohnya. Di IAIN Antasari telah ditetapkan moralitas lokal dengan melarang mahasiswinya mengenakan celana ketika masuk dalam wilayah kampus. Sehingga kebijakan ini bisa menjadi budaya yang berbeda dengan universitas-universitas lainnya. Sebaliknya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, karena aturan seperti itu tidak diberlakukan, maka kebebasan untuk berpakaian sekehendaknya menjadi semakin luas. Untuk wilayah kampus IAIN Antasari, jika ada mahasiswinya kuliah dengan mengenakan celana Jean ketat misalkan, maka mahasiswi itu telah menabrak aturan moral yang dibijaksanai oleh pihak kampus. Ekspresi berpakaiannya tidak sesuai dengan kebebasan yang ada di Kampus itu.

Karena itu bagi para seniman, boleh saja berkarya setinggi mungkin. Tapi perlu dilihat, apakah hasil karya itu bersinggungan dengan moralitas yang ada di masyarakat atau tidak. Dalam kebebasan berperilaku, jika masih dalam koridor moralitas yang tercipta, maka silahkan saja untuk diteruskan, namun jika tidak, seyogianyalah untuk dipertimbangkan kembali. Meski kadang tidak semua moralitas yang membudaya itu baik, tapi sikap hormat atas budaya setempat harus ditanamkan. Masalah di kemudian hari aturan moral itu mau dirombak atau tidak, terserah saja. Itu perlu melibatkan segenap masyarakat untuk terlibat dalam negosiasi, menimbang kembali referensi yang mendasari aturan moral tersebut. Sekiranya, misalkan tidak sesuai dengan kitab suci yang menjadi pedoman moral suatu kelompok masyarakat, maka bolehlah ia dirombak dan diganti dengan aturan baru yang siap untuk dibudayakan.

3 komentar:

  1. Wah, IAIN Banjarmasin-mu ternyata sangat bermoral. dengan aturan moralitas itu, aku membayangkan, seorang Fahmi pasti sudah berubah dari sisi penampilan. Kini, tidak ada lagi Fahmi yang masuk kelas berkaos dibalut jaket hitam merk SQH. Fahmi saat ini sudah sangat perlente. olehnya, layak jadi bapak (baca: menikah). hehehehe....

    BalasHapus
  2. hahaha...
    lucu banget komentar bang nur ahsan...
    saya setuju tuh...
    klo boleh...saya aja yang jadi pasangannya (baca: istri). hehehe...

    BalasHapus
  3. sebelumnya saya minta maaf...
    sebagai mahasiswi IAIN Antasari bjm,menurut saya peraturan yang dibuat hanya bersifat teori.namun dalam prakteknya nihil.(*.*)'
    sampai sekarang saya masih banyak saja melihat mahasiswi yang menggunakan celana ketika memasuki lingkungan kampus.
    "sebagai seorang anak muda yang penuh talenta dan gagasan kreatif,terlebih lagi anda adalah seorang dosen,apa yang dapat anda lakukan jika melihat kondisi yang seperti ini??????????????
    by 085248178877

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.