Minggu, 26 Oktober 2008

Menjajakan Perilaku Objektif

Objektif berarti impartial, unbiased, tidak memihak atau berat sebelah. Istilah ini biasanya dilawankan dengan kata subjektif yang cenderung merespons sesuatu berdasarkan kepentingan pribadi. Seorang sopir bus atau sopir taksi, jika mereka mempersilahkan siapa saja untuk menumpang di bus atau taksi mereka tanpa mempermasalahkan etnis penumpangnya, maka itu perilaku objektif namanya. Seorang pelayan toko, jika dia tidak mempertanyakan identitas agama para pembelinya dengan mempersilahkan siapa saja untuk menikmati jajanan yang dijaganya, maka itu tindakan objektif namanya.


Perilaku objektif seperti ini banyak sekali. Dalam membeli barang seperti televisi, sepeda motor, rumah, CD musik, laptop, Handphone, ban sepeda, ikan asin, celana dalam, dan lain-lain, konsumen cenderung membeli barang yang memiliki kualitas terbaik dan harga termurah. Tak jadi soal siapa penjualnya, apakah dia etnis Cina, etnis Arab, orang Barabai, Tanjung, atau Alabio, jika mereka mau memberi tawaran yang terbaik, maka konsumen akan berbondong-bondong bergerumun membelinya.

Dalam konteks sosial, perilaku obejktif dapat dibagi dua. Contoh-contoh seperti tersebut di atas bisa dikategorikan dalam perilaku objektif secara pasif, dalam arti orang hanya bisa menerima kenyataan objektif yang tengah berlangsung. Adapun jika ada seseorang mengekspresikan nilai-nilai subjektif secara objektif dalam arti bisa diterima oleh semua orang dengan latar belakang agama, warna kulit, dan budaya yang berbeda, maka hal itu dinamakan dengan perilaku objektif secara aktif. Di sini telah terjadi objektivikasi atas nilai-nilai subjektif.

Dalam suatu karikatur yang cukup menarik, platform kandidat ‘khalifah’ Amerika Serikat dari partai Demokrat, Barack Obama, yang menekankan pada pembenahan perekonomian Amerika yang pada saat ini diilustrasikan sebagai kapal Titanic yang tengah karam, dipandang sebagai suatu program yang luar biasa. Sementara palform ekonomi kandidat partai republik, John McCain, diilustrasikan sebagai perahu kecil, di mana saat menyaksikan kapal karam itu, Sarah Palin yang mendampingi McCain berteriak melalui pengeras suara: “We thought it was important at this time to tell Obama’s middle name is Hussein. You betcha…!” Teriak Palin, adalah penting untuk kalian ketahui bahwa nama tengah yang tersembunyi di balik nama Barack Obama adalah Hussien. Saya berani bertaruh dengan kamu untuk membuktikannya.

Rasialisme yang diteriakan oleh Sarah Palin tampaknya tidak didukung oleh banyak orang. Karena kondisi objektif untuk membenahi perekonomian yang tengah karam menanggalkan identitas rasialisme yang diemban seseorang. Kata Hussien yang menyelinap di tengah nama Barack Obama tidak lagi dianggap penting oleh masyarakat Amerika. Karena secara rasional, sistem demokrasi yang dibangun oleh Amerika tidak mengijinkan seorang kepala negara untuk berlaku tirani. Di sana ada lembaga kontrol, yaitu Parliament atau DPR.

Sikap masyarakat Amerika Serikat yang mengabaikan seruan rasialisme Sarah Palin itu adalah perilaku objektif pasif. Kenyataan seperti konsumen yang mencari barang bagus dengan harga murah telah menanggalkan identitas agama, ras, dan budaya penjualnya. Sebaliknya, jika nanti Barack Obama terpilih menjadi presiden Amerika Serikat, kemudian dia mengekspresikan hakikat subjektif rasial kulit hitamnya dalam bentuk objektif, seperti tidak pandang bulu terhadap koruptor yang berkulit hitam, atau tidak bersikap deskriminatif terhadap mereka yang berbeda agama, maka ini dinamakan perilaku objektif aktif.

Di masa-masa pemilu sekarang ini, perilaku objektif calon anggota legislatif atau calon kepala daerah, atau juga calon kepala negara sangat mujarab untuk meraih simpati pemilih. Jika prasyarat keanggotaan legislatif adalah memiliki kualitas pribadi dan kapasitas intelektual yang baik, maka hendaknya kedua hal itu segera dipenuhi. Masyarakat yang masih terjebak dalam perilaku subjektif, yaitu memilih calon pemimpin berdasarkan nilai subjektif, seperti karena calon itu menawarkan imbalan uang bagi mereka yang mau memilihnya, telah banyak berkurang. Masyarakat sudah semakin cerdas. Mereka kini memilih calon berdasarkan kualitas objektif.

Partai-partai yang masih kental unsur subjektivitasnya, seperti yang mendasarkan platform partainya pada ajaran agama tertentu, semisal agama Islam atau Kristen, sebaiknya melakukan objektivikasi. Maksudnya, meskipun suatu nilai yang diusung oleh partai dilandaskan atas ajaran-ajaran religi tertentu, tapi ketika diekspresikan ia harus menjadi nilai objektif, di mana semua pihak yang berbeda mengakui kebenaran dan kebaikannya.

Contoh sederhananya adalah seperti ancaman Tuhan terhadap orang yang mendustakan agama yang termaktub dalam surah al-Maa’uun/107:1-7. Bisa saja nilai religi ini diobjektivikasikan dalam program pengentasan kemiskinan dengan membuka lebar lapangan usaha bagi para pengangguran, pemberian tunjangan yang memadai bagi tenaga pendidik, mendirikan penampungan dan pembekalan kemandirian bagi anak yatim yang terlantar, tidak membiarkan orang-orang gila berkeluyuran di jalanan, atau mewajibkan suatu perusahaan untuk mengadakan program ‘community development’ bagi masyarakat sekitarnya. Ini adalah program objektif. Orang tidak lagi menanyakan dari mana sumbernya, tapi mereka hanya melihat kenyataannya saja. Karena itu jajakanlah perilaku objektif, saya yakin semua orang pasti suka.

5 komentar:

  1. Hm... mau komentar apa ya...
    Saya sampai tidak bisa berkata-kata.

    BalasHapus
  2. Oya mas, ada yang ganjel ni.
    Sampeyan kan sudah berkata-kata, jadi sampeyan juga harus melakukannya. Coba tanya pada diri sampeyan sendiri, dalam memilih sesuatu apa sampeyan juga sudah berlaku obyektif?

    BalasHapus
  3. Mas Fahmi kenapa mas? Kok hari Minggu kemaren tidak meng-update tulisannya? Padahal sudah saya tunggu-tunggu lho...

    BalasHapus
  4. Mas Fahmi lagi sakit, doakan ya mas/mbak semoga beliau lekas sembuh, sehingga bisa memberikan ilmunya lagi kepada kita semua. amin

    BalasHapus
  5. wah2 ini kemajuan apa kemunduran seh? dulu semangat dekonstruksionisme sekarang kok objektivis seh? realistis aja deh...

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.