Kamis, 09 Oktober 2008

Islam adalah Agama Etika

Islam sangat menekankan nilai etis dalam hidup pemeluknya. Harapannya jelas, bahwa seorang muslim harus beretika kapan dan di manapun dia berada. Dalam jargon sosiologi agama dapat kita temukan istilah “Ethical Religion” atau agama etika, yaitu agama yang mengajarkan, dalam sistem teologisnya, bahwa keselamatan manusia diperoleh melalui kegiatan atau amal perbuatan yang berbudi luhur. Dan Islam termasuk dalam agama etika ini.


Ethic dalam kamus bahasa Inggris diartikan dengan “pertaining to values and principles,” atau hal-hal yang berkenaan dengan nilai dan aturan-aturan pokok. Orang yang selalu mementingkan diri sendiri tentu termasuk dalam kategori orang yang tidak beretika. Sebagai contoh, akhir-akhir ini di kota Banjarmasin jalanan terasa semakin sempit karena membludaknya kendaraan bermotor. Kadang saat terjadi kemacetan tidak jarang kita temui, atau diri kita sendiri yang terperangkap di dalamnya merasa jengkel hati. Di tengah kejengkelan hati itu kadang kita merasa bahwa kendaraan yang memberi saham terjadinya kemacetan semuanya salah, hanya kendaraan kitalah yang benar. Sikap inilah yang menuntut agar semuanya minggir dan memberi kesempatan kepada kendaraan kita untuk melaju. Dan inilah juga yang menjadi alasan mengapa sulit mengharapkan setiap pengendara mau mengalah dalam sisutasi macet.

Sikap merasa diri paling penting inilah juga yang menyebabkan orang berebut jalan. Sebab semuanya merasa paling berhak dan benar. Maka dari itu tidak jarang penulis temukan di setiap perempatan jalan, terutama yang tidak diawasi oleh polisi lalu-lintas, sebagian pengendara melaju kencang meski lampu dalam keadaan merah. Inilah mentalitas kita, masih belum memiliki kesadaran etis untuk menghargai dan menghormati hak orang lain.

Bukan hanya dalam praktek berkendaraan, bahkan di dalam fragmen hidup yang lain kita semua cenderung untuk melihat dan menilai sesuatu dari kacamata kepentingan kita dan mengabaikan kepentingan orang lain. Karenanya pandangan kita tentang salah dan benar pun tidak jarang merupakan hasil dari dorongan nafsu kepentingan kita. Mata kita tertutup untuk melihat sesuatu berdasarkan sudut pandang orang lain.

Contoh lain mungkin adalah anak-anak kita sendiri. Kencangnya modernisasi turut merubah wajah nilai-nilai yang tampil. Pola pergaulan dan style berpakaian tak jarang membuat jidat orang tua mengkerut. Sehingga bentrokan akibat perbedaan nilai yang dianut menjadikan atmosphere kehidupan di dalam keluaraga menegang. Penghargaan terhadap hak-hak orang tua terus memudar. Anak-anak lebih mementingkan penampilan, dan para orang tua muslim makin kehilangan muka karena tak sanggup menutup perut dan celana putri mereka yang semakin terbuka dan mengetat.

Di Barabai, bukan bermaksud untuk menjelekkan, fakta yang tidak sempat penulis abadikan dalam jepretan kamera, anak-anak SMA, dan bahkan juga ditapaki oleh generasi berikutnya yaitu anak-anak SMP, setiap kali pulang sekolah, adegan mesra berboncengan di atas kendaraan sambil berpelukan layaknya suami-isteri tak jarang dipertunjukkan di hadapan khalayak. Dinginnya hati, tingginya ego diri menjadikan semua selain hasrat diri tidak penting. Semua pendapat tentang etika nyaris tak bermuara. Mengendap dan terkubur di bawah tumpukan kepentingan diri. Pada gilirannya, seperti yang sering diucapkan oleh pelawak legendaris kita, Benyamin’s, hidup nafsi-nafsi, sendiri-sendiri, urus masalahmu sendiri, jangan campuri urusan gue.

Masalah merosotnya penghargaan terhadap etika merupakan masalah yang krusial. Karena jika pagar ini rusak, maka masing-masing pihak akan menerobos batas hak-hak orang lain sekehendak hati. Jika di dalam berkendaraan, ketika lampu hijau memberi isyarat bagi pengendara untuk melaju, diharapkan pada mereka yang mendapat sinyal lampu merah agar tetap diam. Sistem keamanan lalu-lintas akan terganggu jika masing-masing pihak merasa berhak untuk menancap gas meski pada bagian mana saja traffic-light menyala.

Apatah lagi jika yang “menancap gas” itu seorang publik figur, maka sangat wajar jika masyarakat tidak mentolerirnya. Gary Hart misalnya, seorang bakal calon presiden Amerika yang amat cerah memberi harapan, jatuh tak tertolong hanya karena di suatu malam Minggu, ketika isterinya pulang mudik ke Denver, Corolado, flatnya di Washington terlihat dimasuki seorang wanita yang ternyata foto model dari Miami, Florida, bernama Donna Rice. Usut punya usut, ternyata wanita itu telah dipacarinya sejak lama.

Bagi kita nampak kejatuhan Gary Hart sebagai calon presiden akibat selingkuh adalah bentuk kemunafikan Amerika, karena bukankah di sana free sex dikenal luas? Tapi untuk memahaminya, mungkin kita harus melihat bagaimana mereka membedakan antara suatu tindakan pribadi dan tindakan yang mempengaruhi masyarakat luas karena dilakukan oleh seorang publik figur. Yang pertama mungkin masyarakat Amerika bisa terima, tapi yang kedua sama sekali tidak, karena efek sosialnya yang meluas. Logikanya, jika kepada isterinya saja, Gary Hart berlaku curang, maka bagaimana kepada bangsa dan masyarakatnya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.