Minggu, 19 Oktober 2008

Kesadaran Etnik dalam Bingkai Nasionalisme

Ketika kita berada di negeri orang, maka identitas yang menggelantung di hati kita adalah Indonesia. Sekiranya kita di sana bernasib malang, maka orang yang paling kita harapkan datang membantu adalah orang Indonesia. Seandainya kita butuh teman, maka teman yang kita minati pertama kali adalah orang Indonesia. Inilah kesadaran etnik. Sehebat apapun lidah kita beretorika untuk menutupi kesadaran ini, ia tidak akan mampu menolak bahwa kita butuh akar yang sama, yaitu semangat nasionalisme.


Tatkala saya kuliah di tanah Jawa, yaitu Yogyakarta, berteman dengan orang seantero Indonesia memang mengasyikkan. Meski begitu, gregetnya kalah besar dibanding berteman dengan etnik lokal yang sama, yaitu Kalimantan Selatan. Tak jadi soal, apakah teman itu berasal dari Tanjung, Barabai, Amuntai, Kandangan, ataupun Banjarmasin, yang pasti akar kedaerahan cukup memberikan rasa nyaman dalam pergaulan.

Begitulah kita. Titik lokal tertentu yang kita pijak memberikan referensi rasa at home, rasa nyaman. Namun pada sisi lain bukan berarti kita anti etnik-etnik lain dalam wadah dunia, atau kalau disempitkan dalam wadah nasional. Kesadaran primordial tidak harus menyekat-nyekat kesadaran universal kita untuk memperlakukan semua orang dengan nilai-nilai kemanusiaan yang sama. Kita tidak menolak semua orang yang membutuhkan pertolongan. Apakah dia orang Jawa, Palembang, Bugis, atau entah dari manapun dia berasal. Kesadaran etnik, meskipun sangat kental, tidak boleh kita letakkan di atas universalisme kemanusiaan.

Karena itu dalam konteks nasionalisme, ta’asub etnik bisa berbahaya bagi integritas bangsa jika tidak diletakkan secara proporsional. Sebaliknya juga nasionalisme bisa jadi bumerang jika digunakan sebagai justifikasi untuk menipu etnik tertentu. Menurut saya, hal-hal yang bersifat keterbelakangan dari suatu etnik semestinya didongkrak, jangan dikonservasikan. Apalagi kemudian dengan dalih pelestarian budaya, mereka lantas dikomersialkan.

Mereka yang masih tertinggal di pedalaman, laiknya diangkat tarap hidupnya tanpa harus mengorbankan akar budaya mereka. Pengenaan pakaian seperti koteka di Irian tidak jadi soal untuk diteruskan, namun tawaran untuk hidup lebih beradab setidaknya juga mesti terus diberikan. Mengintervensi mereka dengan motif menghilangkan kebodohan, mengentaskan kemiskinan, dan mengangkat posisi mereka pada tarap yang lebih terhormat adalah suatu keharusan.

Jangan dengan dalih nasionalisme, suatu etnik yang memiliki kekayaan alam berlimpah lantas menjadi gelandangan di kampung mereka sendiri. Kekayaan alam yang semestinya bisa menanggulangi permasalahan tumpulnya otak dan keroncongnya perut mereka ternyata jadi lahan kongkalingkong para penguasa. Nasionalisme sering dijadikan senjata untuk keabsahan eksploitasi. Konsep nasionalisme di tangan mereka yang berambisi pada kekuasaan dan kekayaan ternyata menjadi racun yang mematikan.

Pembodohan dengan dalih nasionalisme inilah mungkin yang mematikkan api dalam sekam, yang pada gilirannya fenomena asap separatisme mengepul, menguarkan sikap berontak untuk mencari damai tanpa nasionalisme. Yang kemudian tanpa sikap arif, tanggapan dengan tindakan militerisme lantas dilakukan. Pemicu api separatisme tidak pernah dikaji secara benar, gerakan dengan serta merta dipadamkan, dan yang jadi korban adalah mereka yang sebenarnya masih nasionalis, cinta dengan bau keindonesiaan. Hanya karena tidak memiliki kemampuan untuk menyuarakan hak mereka secara prosedural, langkah penyangkalan atas nasionalisme akhirnya jatuh sebagai pilihan.

Kalimantan Selatan, dengan emas hitamnya adalah salah satu contoh pergulatan antara semangat etnik dengan semangat nasionalisme. Kebijakan pemerintah, baik pusat maupun di daerah dalam menangani kekayaan alam bisa saja menguntungkan dan bisa juga mematikan bagi masyarakat. Pelimpahan wewenang yang sangat besar pada pengusaha swasta atau perusahaan asing untuk mengeksploitasi tambang akan berdampak pada kebangkrutan daerah itu.

Perlu diingat, manusia itu tidak akan pernah merasa kenyang kecuali jika tanah menjadi penyumpal mulutnya di liang lahat nanti. Sekali seseorang penguasa atau pengusaha menemukan jalur mudah untuk memperoleh kekayaan, maka sebisa mungkin jalur itu akan mereka amankan. Mereka akan menjadikannya sebagai status quo selama masih mampu. Karena itu, jika terjadi sinergi negatif antara penguasa dan pengusaha, maka akan sulit diharapkan adanya kebijakan yang berpihak pada orang banyak. Ini adalah teori politik ekonomi. Gambaran mudahnya pandangi saja wajah kapitalisme.

Kembali pada semangat etnik, sebenarnya identitas lokal justru sangat penting untuk pengkayaan budaya nasional. Ada banyak segi positif dari kesadaran etnik. Pembangunan nasional bisa saja dilaksanakan dengan mendayagunakan mobilitas etnik untuk memacu manusia-manusianya. Namun tetap ditanamkan kesadaran, bahwa primordialisme akan berdampak negatif tatkala ta’asub kedaerahan digunakan untuk kepentingan subjektif dengan tidak berorientasi konstruktif terhadap pertalian nasional dengan etnik-etnik yang lain. Karena itu sebagai penguasa, pemerintah diharapkan jeli dan bijak dalam menangani keragaman etnis ini di bawah payung nasionalisme Indonesia.

1 komentar:

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.