Minggu, 05 Oktober 2008

Politik Pasca Lebaran

Politik itu adalah kepentingan. Apapun yang dinilai menguntungkan bagi diri atau kelompok akan dipandang penting. Perangkat apa saja yang dapat memuluskan jalan meraih kekuasaan akan dipakai. Momen apa saja yang dapat dimasuki kemungkinan untuk memperoleh kekuasaan akan dijajal dan dijejal. Apatah lagi untuk saat ini, pasca lebaran, berpolitik tentu sangat menggairahkan dan menguntungkan.


Jika di bulan Ramadhan politik dibalut dengan eufemisme buka puasa bersama, ceramah Ramadhan, safari Ramadhan, tablik akbar, dan lain-lain, maka pasca lebaran namanya bisa menjadi open house, halal-bihalal, shilaturrahmi, syawalan, dan lain-lain. Tak masalah di mana mengambil tempat. Bisa di rumah dinas, di balai desa, di hotel-hotel, di tempat-tempat wisata, atau di rumah-rumah warga.

Politik itu seperti air. Ia bisa berubah menjadi apa saja tergantung perangkat yang dicampurinya. Tujuannya jelas, kekuasaan. Karena proses pencapaian kekuasaan harus melalui prosedur pemilihan, maka tindakan persuasif harus dilakukan. Bagi mereka yang kaya, amplop berisi uang limapuluh ribuah cukup mujarab untuh menggugah hati pemilih. Bagi yang sedang-sedang saja, phony action (pemalsuan laku) dengan bertingkah menjadi orang yang sangat baik juga tidak terlalu jelek untuk dilakukan. Untuk yang tidak berpunya sama sekali, dengan menjual omongan seolah-olah dirinya paling pintar dan paling bersih masih cukup lumayan untuk dikerjakan.

Pada hari Sabtu dan Minggu kemaren (04-05/10/2008) Banjarmasinpost mempublikasikan daftar nama calon sementara anggota legislatif untuk beberapa kabupaten/kota di wilayah Kalimantan-Selatan. Publikasi ini cukup mengundang perhatian. Karena pertama, dari calon-calon tersebut, sebagiannya adalah calon-calon incumbent (masih menjabat, baik sebagai anggota legislatif maupun Bupati). Kedua, di antara mereka, sebagiannya juga dikenal sebagai dai-dai yang intens mengisi pengajian di berbagai forum pengajian. Ketiga, untuk pendatang baru yang mengenakan baju partai baru, rata-rata mereka hanya mengajukan dua atau tiga nama calon sementara. Ini tentu menarik untuk dibicarakan.

Ulama vs Umara Incumbent
Jika disederhanakan, dalam suasana perpolitikan sebelum dan pasca lebaran, maka mereka yang mendominasi penampilan pada momen ini adalah ulama atau agamawan yang terjun ke politik dan umara, atau para pejabat-pejabat yang ingin memperpanjang kontrak kuasanya melalui pemilihan umum di tahun 2009 nanti.

Tentu saja, pada momen yang penulis sebutkan, kedua kelompok ini memiliki keuntungan yang lebih dibanding pendatang-pendatang baru yang tidak punya harta atau kapasitas yang dapat dimanipulasi. Sejak masa puasa, baik secara tersirat atau tersurat, kedua kelompok ini sudah memproklamirkan hajat mereka untuk menjadi calon, apakah itu melalui washilah deliberatif ataupun tidak. Para umara biasanya menghimpun para bawahan mereka, cendekia-cendekia agama, kaum papa seperti para tukang becak, anak-anak panti, atau begitu juga para santri-santri berserta ustadz-ustadznya yang menjadi langgangan manipulasi politik. Perkumpulan yang disetting sebagai ajang promosi ini cukup menjanjikan untuk mendongkrak popularitas para umara, terutama dengan pemberian amplop yang dibubuhi lambang partai yang menunjukkan sisi moralitas apik para umara.

Tidak ketinggalan juga para ulama. Bagi mereka, masa-masa puasa dan pasca lebaran adalah momen yang paling bagus untuk menselebritisi diri. Promosi wajah dan kecakapan melalui ceramah di mesjid-mesjid, musholla-musholla, atau di forum-forum pengajian adalah washilah gratis dengan double profit. Pertama, sebelum mencetak wajah di stiker-stiker, baju kaos, atau di kalender, dengan ceramah orang-orang menjadi kenal. Kedua, secara ekonomis kantong mereka juga menjadi semakin tebal.

Dengan kapasitas mereka sebagai ahli agama, ceramah keagamaan yang mereka sampaikan kadang dibubuhi dengan kritikan terhadap para umara yang tidak bermoral, hidup untuk mengejar kuasa dan harta, tidak peduli pada sesama, sebagai pelicin jalan bagi pengusaha rakus untuk mengeksploitasi alam, buta dampak lingkungan, tidak paham akan hajat rakyat, dan lain-lain yang berkenaan dengan kelemahan penguasa, baik dia sebagai pemegang jabatan eksekutif maupun legislatif. Dan ini tentu saja juga dimaknai sebagai strategi politik ulama untuk mendongkrak diri dan partainya.

Nasib bagi Pendatang Baru
Di tengah pertarungan politik antara ulama dan umara incumbent dalam mencari simpati, mereka yang mencalonkan diri dengan baju partai baru tergopoh-gopoh menyiasati diri. Untuk mencari orang yang mau mencalonkan diri saja dalam partai mereka bisa dibilang sulit apalagi untuk melancarkan strategi yang lebih mantap. Sehingga seperti yang dipublikasikan Banjarmasinpost, rata-rata mereka hanya mengajukan dua atau tiga nama calon saja. Dan itupun masih bersifat sementara. Maka kemungkinannya di dalam pemilihan nanti mereka hanya akan menjadi pelengkap penggembira saja.

Proses instans untuk bersaing dengan wajah lama membuat spekulasi mereka lemah. Di samping media sosialisasi yang nyaris tidak mereka punya, mereka juga tidak mempunyai kelompok volunter militan yang bersedia menyebarkan opini dan memperkenalkan identitas mereka. Di samping itu, kurangnya inisiatif dan pendanaan menyebabkan mereka bertingkah mengikuti arus. Jadilah kelompok ini sebagai kelompok pelengkap penggembira. Kecuali kalau mereka mampu menginisiatifi diri mencari celah untuk meraih simpati, maka peta politik bisa saja berubah.

1 komentar:

  1. cm mw nanya!
    s'tw pn,,apa sc sebenarnya arti politik itu scr etimologi dan terminologi?
    trims
    by penggemar setia mu,,he+he

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.