Minggu, 26 Oktober 2008

Kartun Politik, Lucu dan Penuh Makna

Sebagian besar kita mungkin sudah mengenal baik apa itu political cartoon. Biasanya, jika pembaca koran jeli mengamati dan mencoba untuk menginterpretasi atau menafsirkan political cartoon ini, maka akan didapatkan suatu makna yang tajam di balik gambar lucu yang tampak. Secara sederhana, political cartoon adalah suatu gambar lucu yang dibuat untuk menjelaskan realitas sosial politik yang mengandung sindiran tajam. Koran Banjarmasin Post acap menyajikan gambar political cartoon ini pada bagian atas rubrik opini.


Teman diskusi saya, Andrea Taylor dari California, banyak bercerita tentang political cartoon. Dia bersama temannya Jeff Kealing menjelaskan bagaimana panasnya cuaca politik Amerika dalam perebutan tahta ‘khalifah’ antara Barack Obama dari partai Demokrat dan John McCain dari partai Republik dengan menggunakan political cartoon. Masing-masing pihak, dengan platform yang matang saling mengadu trik dan nasib untuk meraih simpati publik.

Cartoon atau kartun biasanya digunakan bukan hanya untuk menjelaskan isu politik, tapi juga hal-hal yang berkenaan dengan skandal sosial dan isu-isu hangat yang tengah terjadi. Ia dikenakan pada tempat yang beragam. Bisa di baju kaos, kalender, baliho, majalah, koran, cangkir kopi, merchandise, dan lain-lain. Bahasa gambar ini mengandung multi-tafsir. Meski sang pengarang memiliki maksud tertentu dari kartun yang dibuatnya, namun tatkala ia dilemparkan di ranah publik, tafsir pemirsa bisa jadi lebih luas dan lebih ekstrim dari pengarangnya.

Karena itu menarik untuk dicermati. Gambar seorang tokoh yang dibuat secara lucu oleh pengarangnya dalam bentuk kartun, jika tidak dianalisis dan dikontekstualisasikan secara cermat, maka akan terhenti pada kelucuan gambar itu saja. Ia tidak lebih seperti goresan serius seorang anak kecil yang mencoba menduplikasi gambar asli seseorang, namun sayang, yang terjadi malah gambar itu terlihat lucu. Tentu bukan ini yang dimaksud. Yang diinginkan adalah, pembaca mendapatkan makna dari karikatur lucu itu. Pembaca sampai pada tingkat pemahaman yang dikehendaki oleh pengarang. Maka untuk memperjelasnya, seorang pengarang biasanya menambahkan suatu tulisan singkat, baik berupa percakapan atau pesan yang disisipkan pada bagian tertentu dari gambar.

Political cartoon atau kartun politik bagi lembaga non-simpatisan seperti Banjarmasin Post misalnya, sebenarnya baik untuk memberikan pendidikan politik masyarakat. Ia adalah cara pintar untuk merenspons masalah dengan santai. Masyarakat pembaca, di samping diajak untuk cerdas melakukan interpretasi, juga tentunya dibiasakan rajin mengikuti perkembangan politik baik dalam skala lokal, nasional, maupun internasional. Dan ini pastinya sangat membantu untuk mendapatkan pesan yang tepat dari kartun politik yang disajikan oleh lembaga pers.

Sebaliknya, bagi mereka yang ikut mengambil bagian dalam pertarungan politik, apakah itu dalam skala lokal seperti pemilihan anggota legislatif, gubernur, walikota/bupati, atau untuk skala nasional, khususnya untuk pemilihan presiden, karikatur politik tampaknya cukup ampuh untuk menyerang lawan politik. Ia bisa disebarkan melalui leaflet atau pamflet. Juga agar lebih menarik bisa saja dibuat dalam bentuk baliho. Meski nanti terkesan seperti pesan buram, namun jika ia diberi sedikit penjelasan dan dibubuhi tanda pengenal kelompok pembuatnya, maka masyarakat akan mudah untuk memahami.

Tapi sayang, berpolitik dengan kartun sepertinya kurang diminati. Peserta pemilu agaknya lebih memilih memampang wajah mereka di baju-baju kaos yang digratiskan, sticker dan leaflet-leaflet yang ditebarkan, spanduk-spanduk yang dipajang melintang jalan, atau baliho-baliho yang ditegakkan berjejer dengan iklan komersial perusahaan. Cara demikian tampaknya menurut mereka lebih efektif. Namun jika dilihat dari sudut pandang berbeda, cara ini mengesankan bahwa antara partai dan calon anggota tidak memiliki koordinasi yang baik. Individualisme terkesan sangat menonjol.

Banyak cara sebenarnya yang bisa dilakukan partai politik untuk mensosialisasikan partainya. Tentunya ini tergantung kreativitas anggotanya masing-masing. Berpolitik dengan cara kartun hanya salah satu tawaran. Bagi masyarakat pembaca, political cartoon mungkin cukup memberi hiburan. Hanya saja bagi pengarangnya ini tentu bukan barang yang bisa dibuat seenaknya. Kepiawaian dalam mengilustrasikan peristiwa sosial politik dalam bentuk kartun tentu membutuhkan perenungan yang cukup panjang. Jika dibuat sembarang, bukan hanya sisi lucunya yang hilang, bahkan pesan yang ingin disampaikan pun akhirnya tak terjangkau pemahaman.

Belajar dari political cartoon, masyarakat sebaiknya jeli dan pandai melakukan interpretasi. Jika di Amerika krisis ekonomi sekarang dikarikaturkan dengan delapan juta pound gorila yang sedang mengamuk, yang mana Barack Obama hanya bisa mengucapkan ‘hope’ atau dengan harapan bisa menjinakkannya, sebaliknya John McCain berusaha untuk lari menghindar dan mengalihkan isu pada gelombang masalah di timur tengah. Maka kita, jika menemukan suatu masyarakat yang mau melakukan negosiasi politik dengan duit, bisa saja mengilustrasikannya dengan sekelompok ‘bebek’ yang siap digiring oleh ‘Dajjal’ ke jurang kehancuran.

2 komentar:

  1. Mas, boleh tidak saya minta tolong dibikinken gambar "bebek" yang digiring sama "dajjal" itu?

    Oya, katanya mas Fahmi pinter gambar ya? Jadi kenapa artikelnya tidak sekalian saja dihiasi dengan gambar kartun "bebek" dan "Dajjal" bikinan mas Fahmi itu. Hm...pasti nanti blognya akan lebih menarik.

    BalasHapus
  2. mas komen di blog saya dong, http://suarakartun.blogspot.com

    beri masukan yaaaa

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.