Kamis, 29 Januari 2009

Kantin Kejujuran Sebuah Ironi

Menarik untuk dicermati. Pada berita yang diturunkan Kompas (Rabu 28/02/2009) di pojok kiri bagian bawah halaman muka tertera judul: Pemberantasan Korupsi (Harapan dari Kantin Kejujuran). Kanjur (Kantin Kejujuran) atau bisa juga dinamai dengan wajur (Warung Kejujuran) adalah kantin atau warung yang sudah ada di sejumlah sekolah di Jawa Tengah, kemudian dikembangkan oleh Kejaksaan Agung sebagai bagian dari kegiatan Gerakan Aksi Langsung Antikorupsi Sejak Dini.


Disebutkan bahwa mulai Oktober 2008 banyak kanjur didirikan di SMA dan sekolah setingkat SMA di seluruh Nusantara. Kantin ini adalah bentuk pencegahan tindak pidana sejak dini. Menurut data hingga bulan Desember 2008, jumlah kanjur di Indonesia ada sekitar 2.711. Dan dengan semangat yang sama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mendirikan kanjur di sejumlah lokasi. Di mana di kanjur atau wajur ini, kejujuran pembeli sungguh teruji.

Alasan sederhana dari didirikannya kanjur atau wajur adalah bahwa bangsa ini memiliki kualitas kejujuran yang rendah. Sebagai langkah pembenahan, maka diwacanakan dan diujicobakanlah ia sejak dini di sekolah-sekolah. Ironis memang. Di tengah bangsa timur yang menjadi kiblat semua kebaikan dalam urusan tingkah laku ternyata ia sedang mengalami erosi moral. Apa sebabnya?

Menunjukkan satu penyebab dengan keyakinan bahwa akar masalah bersumber darinya adalah suatu kenaifan dalam berpikir. Karena kita tahu bahwa apapun itu, ia tidak pernah bisa berdiri dengan sendirinya. Pula dengan penyebab merosotnya nilai kejujuran di bangsa yang terkenal beradab ini. Sulitnya ekonomi, adanya politik kepentingan, hukum yang mudah dijual belikan, individualisme, hedonisme, kapitalisme, dan lain-lain adalah ragam-ragam yang turut memberi andil memudarnya sikap jujur. Apatah lagi jika kita meminjam perspektif kiayi, pastor, pendeta, dan lainnya, maka semakin banyaklah poin-poin yang menjadi penyebab krisis ini.

Di sini saya hanya ingin mengatakan bahwa nilai-nilai yang diturunkan dari filsafat hidup manusia atau yang bersumber dari ajaran agama ini kurang mendapat tempat yang layak dalam pendidikan. Prinsip seperti ini tidak dibiasakan dan tidak begitu diwatakkkan pada diri anak.

Orang yang paling bertanggung jawab pertama kali dalam menanamkan nilai ini pada diri anak adalah para orang tua. Pendidikan di sekolah hanya memberikan sedikit kontribusi bagi kemulusan pencapaian perilaku ini. Orang tualah yang menjadi penghantar utama transfer nilai ini. Karenanya sejak dini, dari usia balita strategi pembelajaran nilai ini semestinya diketahui oleh setiap orang tua.

Media pembelajaran seperti bercerita adalah bagus untuk tahap pengenalan. Bahkan al-Qur’an pun banyak menggunakan media ini untuk menyampaikan pesan-pesan moral dari peristiwa masa lalu. Sayangnya orang tua sekarang rupanya banyak yang terseret arus modernisasi, sehingga gagap dalam bertutur, dan pada gilirannya menyerahkan pendidikan pola ini pada televisi, komik, novel dan lain sebagainya. Jadinya anak tak terbimbing. Yang mereka pegangi bukannya moralitas agama, tapi wejangan hedonik, individualisme kapitalistik, tur kelicikan politik.

Pada hakikatnya metode bertutur adalah tahap terakhir dalam strategi pembelajaran nilai pada anak. Yang paling berpengaruh adalah sikap dan perilaku orang tua itu sendiri. Di sini anak belajar dengan mata kepala dan juga perasaannya. Apapun tingkah orang tua akan menjadi model bagi dirinya. Sejak dari cara berbicara sampai cara bercelana, anak akan memodelinya. Memberi teladan sejak dini adalah pendidikan non-verbal yang sangat baik bagi anak.

Setelahnya, atau berbarengan dengan itu, membina hubungan yang mesra dengan anak juga merupakan pendidikan untuk meneguhkan eksistensi dirinya. Ini akan berimbas pada kecakapan anak dalam bergaul dengan teman-temannya. Anak yang dibina dengan makian, hinaan, intimidasi, pukulan, dan bentuk kekerasan lainnya akan menjelma menjadi anak yang beringas dan cenderung mengabaikan larangan-larangan. Mereka akan menjadi anak yang suka memberontak.

Dan berikutnya bertutur. Setelah mencermati bagaimana teladan yang baik dari orang tua dan sering mendapat peneguhan melalui pembinaan hubungan, anak akan mudah terbuka dan ringan untuk menerima segala tuturan kita. Untuk usia dini, terutama balita hingga tahun kesepuluh dari umurnya, bercerita adalah media penyampaian moral yang cukup baik setelah peneladanan dan pembinaan hubungan. Ini patut untuk diperhatikan.

Hemat saya, praktik transfer nilai melalui kantin atau warung kejujuran adalah salah satu dari tahapan sekunder setelah penempaan yang dilakukan orang tua di rumah. Jika pembiasaan yang diteladankan orang tua itu sudah mewatak, maka ujian kejujuran dalam bentuk apapun akan mudah dipahami interpretasinya oleh anak. Di saat belajar misalkan, ketika mereka meminta ijin untuk pergi ke WC pada guru yang lagi mengajar, maka ijinnya itu pastinya untuk keperluan itu, bukan untuk istirahat atau nongkrong ngemil di kantin.

Tegasnya, bagus saja sekolah-sekolah terus menggali langkah kreatif untuk menguji sisi afeksi anak seperti kantin kejujuran. Tapi yang ingin saya himbau, bahwa jangan sampai orang tua lengah dalam mengejawantahkan pendidikan seperti yang saya utarakan. Karena dari keluargalah semua masyarakat terlahir. Kuatilah pondasi ini dengan mewatakkan nilai-nilai mulia sejak dini. Maka saya yakin ironi erosi moral yang terjadi tidak akan pernah kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.