Rabu, 28 Januari 2009

Tidak Berbobot Sama Sekali

Stephen R. Covey mengatakan, bahwa musuh dari yang terbaik adalah hal-hal yang dianggap baik. The enemy of the best is often the good. Karenanya kata Covey, dahulukanlah yang utama. First things first. Ini saja agaknya yang patut saya pinjam dari hasil penelitian Covey. Sebab untuk menjelaskan seluruh pikirannya yang tertuang dalam buku tebal First Things First saya harus memeras segenap kemampuan otak untuk mencerna. Untuk itu saya hanya mengambil jalan mudahnya saja. Meminjam formula yang dia tesakan, kemudian melakukan interpretasi sekenanya. Ini tradisi yang berlaku dalam dunia non akademis saya.


Mengapa yang baik kadang berubah menjadi musuh bagi yang terbaik? Ini adalah masalah dalam manajemen waktu. Ini adalah problem dalam memilah dan memilih derajat penting dalam hidup. Masalah mengurut tingkatan dari yang paling penting, penting, cukup penting, dan tidak penting sama sekali. Jika terbalik, maka ia akan melemparkan kita pada kegagalan demi kegagalan. Karenanya hati-hati menetapkan yang mana yang terpenting dalam hidup.

Mari kita ilustrasikan dalam suatu misal. Jika di hadapan Anda ada sebuah bejana yang bermulut lebar, dan di sampingnya ada beberapa bongkahan batu sebesar kepalan tangan; unggukan kerikil; semangkuk pasir, dan segayung air, mana kira-kira yang akan Anda masukkan terlebih dahulu?

Agar tidak membuat Anda penasaran, langsung saja saya jawab. Pertama yang mesti anda masukkan adalah batu-batu yang besar tersebut. Setelah tersusun rapi di dalam bejana, kemudian masukkanlah kerikil. Goncang-goncang agar turun memenuhi rongga dengan merata. Selanjutnya ruang-ruang yang masih tidak tertutupi oleh kerikil diuruk dengan pasir. Goncang hingga memenuhi semua rongga. Berikutnya yang terakhir baru diisi air.

Saya kira ini cukup mudah dipahami maksudnya. Jika Anda salah dalam mendahulukan mana yang utama, maka yang paling penting akan tercecer. Dengan menganalogikan bongkahan batu sebagai yang paling utama, maka akan jelas bagi kita bahwa permasalah yang kita hadapi dalam hidup adalah ketidakmampuan untuk mendahulukan yang mana yang paling penting dalam hidup. Jika terbalik (analogi memasukkan batu, kerikil, pasir, dan air dalam bejana), bisa-bisa batu-batu yang semestinya diutamakan jadi tertinggal. Sebab terlalu banyak kerikil dan pasir yang dimasukkan terlebih dahulu.

Langkah strategis untuk menyelesaikan masalah ini menurut saya adalah dengan mencoba melihat kontinuum efektivitas dalam kehidupan pribadi dan sosial. Di sini pembenahan diri menjadi tujuan utama. Mengapa demikian, karena sebenarnya titik tumpu masalah seluruhnya adalah terletak pada diri. Karena itu yang jadi sasaran perbaikan adalah diri sendiri terlebih dahulu. Kontinuumnya adalah, dari dalam menuju keluar.

Apa saja yang penting untuk dibenahi. Tentu yang pertama adalah sikap dan perilaku. Namun inipun sebenarnya adalah produk dari sesuatu yang lain. Apa itu? Kedua-duanya adalah produk dari cara kita memandang. Anak kuliahan sering menyebutnya dengan istilah paradigma.

Jauh masuk ke dalam diri, sedikit agak Hegelian, di sana ada Aku yang menyadari. Yang dimaksud dengan Aku yang menyadari adalah, bahwa setiap individu adalah Aku yang mengetahui secara pasti seluruh aktivitas dirinya. Aku yang sadar itu tahu persis kalau dia lagi berpikir, berkhayal, tidak enak badan, sanggup atau tidak untuk bekerja, lagi mengantuk, lagi sedih, dan lain-lain. Aku juga tahu dengan baik bahwa ada di dalam diri sesuatu yang senantiasa menolak ketidakbenaran. Inilah yang biasa diistilahkan dengan hati nurani. Aku juga megerti kalau dia adalah hakim atas segala dorongan kehendak.

Semua yang ada di dalam diri itulah yang perlu di tata oleh Aku yang menyadari. Jika disederhanakan, di sana ada daya khayal, hati nurani, dan kebebasan untuk memilih sikap dan perilaku. Sedangkan Aku yang menyadari berdiri sebagai regulator. Dan jika model ini kita ajarkan pada anak-anak. Yang pertama harus dijelaskan secara baik adalah fungsi dari perangkat-perangkat yang mendampingi Aku yang menyadari yang ada pada setiap individu.

Dijelaskan bahwa daya khayal atau imajinasi fungsinya adalah untuk mencipta suatu kemungkinan perbuatan. Dengan imajinasi kita bisa melintasi segala ruang dan waktu. Tidak ada pembatasan. Kita mampu membuat suatu rencana perilaku yang akan kita laksanakan. Namun agar karya imajinasi itu sinkron dengan moralitas umat, ia mesti ditimbang dengan timbangan hati nurani. Adakah ia bermasalah atau tidak. Layak apa tidak untuk dilaksanakan. Kemudian jika gate evaluasi itu sudah terlewati, maka kehendak menjadi penentu pelaksanaan. Semuanya tidak lepas dari regulasi Aku yang menyadari.

Misal, sebagai orang tua kadang kita khilaf, cenderung mengutamakan pendidikan anak dengan emosi. Sehingga tak jarang kekerasan fisik menjadi pola yang mentradisi. Bagaimana kalau pembelajaran tentang Aku yang menyadari akan aktivitas diri itu diterapkan. Ketika orang tua ingin mendidik anak dengan pukulan, Aku yang menyadari sedikit menyela, mengajukan tanya akan kemungkinan yang terjadi. Membayangkan dengan beradu empati atas gumam anak yang fisiknya dipukul. Mungkin setelah dipukul, anak bukannya taat, tapi mereka malah menyimpan dendam di lorong gelap jiwanya. Ini bisa jadi pemantik yang jadi bumerang bagi orang tua. Hati nurani pun tampaknya berdecak demikian. Karena itu perlu ada perpaduan pola hukuman dalam pendidikan.

Bisa saja seorang anak dihukum dalam bentuk melelahkan fisiknya, tapi tidak memukul. Juga bisa dengan mengintimidasi psikologi kerasnya dengan suatu argumentasi logik. Atau dengan sesuatu yang perlu dipikirkan secara matang konsekuensinya. Yang penting, jangan sampai dalam mendidik emosi menelantarkan nalar yang berkembang bersama imajinasi. Dan semuanya tetap dalam pantauan Aku yang menyadari.

Pembiasaan sikap dengan merencanakan segala perbuatan di dalam batin inilah yang menjadi urat kebaikan seseorang. Di sini Aku yang menyadari bukannya tanpa rambu atau pedoman dalam melanglang dan merancang tindakannya. Ia tetap berpedoman pada kanon-kanon yang menyatu dalam prinsip yang dikembangkan manusia dari zaman ke zaman. Apakah prinsip itu bersumber dari filsafat hidup manusia atau dari ajaran agama, tidak jadi soal. Selama tidak ada halangan dalam pelaksanaannya, maka ia tetap terus dijadikan suluh yang mengarahkan.

Intinya adalah, identifikasikanlah urutan kepentingan diri itu melalui jejaring yang dimotori oleh Aku yang menyadari. Tidak bisa di sini kita menentukan secara khas apa yang utama bagi setiap orang, karena masing-masing diri itu berbeda. Namun yang perlu diperhatikan adalah, bahwa yang paling utama adalah berusaha menjadikan prinsip-prinsip pokok yang diadopsi melalui berbagai sumber sebagai watak yang tidak tergoyahkan oleh hal apapun, apakah itu materi, nilai yang bersifat temporal, atau rasionalisasi kesalahan yang diliciki oleh akal yang mengabdi pada kepentingan diri yang bersifat sesaat.

Terakhir, saya ingin mengatakan dengan jujur. Tulisan ini adalah hasil meracau yang memang dari awal saya upayakan untuk diabadikan. Jika ada yang berkomentar jelek, memang dari awalnya sudah tidak terancang dengan baik. Jadinya begini, sembarang sodok, lari kanan kiri, rancu, dan jelasnya tidak berbobot. Hampul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.