Rabu, 24 September 2008

Dekonstruksi atau Merusak Sama Sekali

Dekonstruksi berarti merobohkan, merusak, atau melantakkan sesuatu yang sudah terkonstruk. Namun istilah ini tidak berhenti pada tahap pengrusakan belaka, tetapi ia juga berhubungan erat dengan upaya rekonstruksi. Sehingga dapat dipahami kalau dekonstruksi itu adalah merobohkan bangunan yang sudah ada untuk dirancang kembali dengan bangunan yang lebih baik.


Biasanya istilah dekonstruksi berhubungan dengan bagaimana seseorang melihat suatu teks. Teks dianggap memiliki kemungkinan makna yang banyak, sehingga tafsir tunggal atasnya harus ditolak. Bagaimana tidak, sebuah teks adalah karya dari pengarang yang memiliki keinginan dan tujuan tertentu. Ketika teks tersaji di hadapan pembaca, maka pembaca pun menterjemahkan teks berdasarkan subjektivitas diri mereka masing-masing.

Antara pengarang, teks, dan pembaca memiliki dunianya sendiri-sendiri. Sehingga untuk mendapatkan makna yang tepat dari sebuah teks sangatlah relatif. Teks tidak hanya berarti suatu tulisan yang termaktub di atas kertas atau ujaran seseorang, akan tetapi teks juga berarti segala tanda yang bisa terbaca. Karya-karya seni seperti patung, arsitek bangunan, lukisan, drama, film, tinggi rendah tuturan, dan lain-lain bisa dikategorikan dalam teks.

Sebuah bangunan masjid, dengan jumlah tiang penyangga, tata ruang menganga, dan ukiran-ukiran kaligrafi yang menyiratkan budaya timur dekat yang bernuansa Islam, ternyata mengandung makna dan tujuan tertentu dari perancangnya. Kadang di beberapa daerah di Indonesia, jumlah tiang bagian dalam ruang terdiri dari lima pasang. Ini meyimbolkan lima rukun Islam yang menjadi penyangga tegaknya keislaman. Atau dengan bangunan yang menghadap ke kuburan. Artinya hidup yang diberikan Tuhan itu tidak bersifat abadi, ia harus berhenti pada terminal mati. Bakti suci seperti ibadah memiliki ukuran yang tinggi untuk bekal menyongsong mati.

Penjelasan tersebut berhubungan dengan teks sebagai simbol yang bersifat luas. Jika dihadapkan pada teks secara konkrit, maka pendekatan yang kadang sama, dengan kerumitan yang belum tentu sama menjadi garapan ilmu mencari makna. Teks-teks kitab suci, karya sastra, dan semacamnya memiliki tingkatan kerumitan yang berbeda. Al-Qur’an misalnya, dengan absensi dan tak tergapainya pengarang dalam kajian empiris, tentu membuka kemungkinan tafsir yang sangat luas. Berbeda dengan al-hadis, nabi Muhammad yang dicitrakan sebagai pengarang teks hadir dan tercatat apik dalam sejarah. Sehingga lacakan atas riwayat hidup beliau akan membuka kemungkinan makna yang jelas.

Berikut teks-teks sastra. Sisi kesukaran untuk mengenal dengan baik biografi pengarangnya masih sebanding dengan hadis. Namun jika dihadapkan dengan al-Qur’an, tentu tidak seimbang. Akibat sukarnya menemukan maksud yang jelas dari teks al-Qur’an, maka para ulama tafsir sering mengakhiri bab tafsirnya dengan kalimat, Allahu a’lam bimuradihi (Allah saja yang lebih tahu maksudnya).

Di sinilah akhirnya upaya dekonstruksi acap dilakukan. Dengan rentang jaman yang panjang dan tingginya perkembangan ilmu pengetahuan, semakin menambah kecanggihan ilmu alat dalam menentukan makna al-Qur’an. Sehingga makna yang dulunya pernah dibangun oleh ulama-ulama terdahulu kemudian didekonstruksi maknanya oleh mereka yang hadir belakangan. Ini persis seperti mata rantai filsafat. Bermula dari tesis, anti tesis, kemudian berlanjut dengan sintesis.

Bagi mereka yang belum terbiasa masuk dan terlibat dalam wacana seperti ini akan mendapatkan kesan, bahwa kajian terhadap teks-teks al-Qur’an sama dengan melakukan pengrusakan atas al-Qur’an itu sendiri. Kritik-kritik terhadap tafsir yang dibangun oleh ulama-ulama terdahulu disamakan dengan kritik terhadap al-Qur’an, yang berarti sama dengan merubah kehendak Allah.

Dekonstruksi akhirnya dipandang sebagai pelecehan terhadap teks suci. Padahal, upaya yang dilakukan oleh para ulama yang hadir belakangan tidak lain adalah untuk memaknai ulang isi kandungan al-Qur’an. Tentu ini sangat berbeda dengan upaya merubah atau merusak al-Qur’an. Sebenarnya, rumusan-rumusan yang dibangun oleh para ulama, apakah itu dalam ilmu fiqh, tasawuf, aqidah (biasanya juga disebut dengan ilmu kalam atau filsafat kalam), adalah upaya logis untuk membangun makna al-Qur’an dan al-hadis.

Ilmu aqidah misalnya. Itu adalah produk dari kontemplasi para ulama untuk menyusun suatu ajaran yang baik tentang pengesaan hamba kepada Allah. Dalil-dalil yang mereka pilih, sistem pemahaman yang mereka bangun, tidak lepas dari derajat pengetahuan yang mereka miliki. Nah, jikapun nanti belakangan ada orang yang ingin mendekonstruksi bangun keilmuan itu, bukan berarti orang itu ingin merusak petikan-petikan ayat yang terkandung di dalam al-Qur’an dan al-hadis. Tapi sebenarnya itu hanya sekedar ikhtiar untuk menyusun kembali rumusan aqidah atau filsafat kalam yang sudah mentradisi.

Banyak orang tentu banyak pendapat. Tentunya kemungkinan untuk berbeda juga sangat banyak. Jadi terbuka sajalah. Dengan catatan, utamakan kejujuran, jembarkan hati untuk sedia bernegosiasi, luruskan niat untuk bersungguh-sungguh, lakukan kajian secara tuntas dan menyeluruh. Terakhir, serahkan kebenaran hakiki kepada yang Mahatahu, Allahu a’lam.

2 komentar:

  1. khaled abou el-fadl bangettt..Terus bagaimana cara menyampaikan itu semua kepada masyarakat awam?aku pernah menyampaikan itu kepada masyarakat awam,hasilnya? capek deh...

    BalasHapus
  2. hidup dekonstruksi! hidup itu proses bang.. jika proses itu berhenti apa kata dunia?
    teruslah berproses...

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.