Minggu, 21 September 2008

Idul Fitri Sebagai Selebrasi Moral

Puasa yang dilakoni umat Islam menghampiri titik tuntas. Perjalanan panjang sebulan penuh dengan menepis segala hasrat insani di siang hari telah pula dilampahi. Ramadhan yang secara etimologi berarti “panas yang amat terik” boleh jadi merujuk pada kondisi real, sehingga betul-betul menjadi ujian yang luar biasa bagi mereka yang berpuasa dari aktivitas makan, minum, hubungan seks, dan larangan lain yang diberlakukan dalam ritual itu.


Jika di awal kedatangannya umat Islam mengucapkan marhaban ya Ramadhan, yang secara bebas diartikan “selamat datang wahai bulan Ramadhan,” maka di akhir perjumpaan umat mengucapkan ila al-liqa fi ‘aami al-mustaqbal, “sampai berjumpa di tahun yang akan datang.” Ujian yang menuntut kesabaran berlapis ini telah dijalani, dan proses pendadaran ini telah pula menampakkan wajah indahnya.

Hasil yang paling pokok diharapkan dari ujian berpuasa di bulan Ramadhan adalah umat menjadi manusia yang sadar moral. Seperti yang termaktub dalam surah al-Baqarah/2:183, la’allakum tattaquun, yang artinya “mudah-mudahan kalian menjadi orang yang bertaqwa.” Taqwa secara sederhana diartikan sebagai “sadar moral,” “berakhlak mulia,” atau “berbudi tinggi.” Yang dengan modal ini umat Islam diharapkan menjadi umat yang terbaik di antara umat-umat yang ada.

Tradisi Mudik
Salah satu variabel sadar moral adalah membina hubungan shilaturrahimi dengan kaum kerabat. Untuk itu, bagi mereka yang jauh dari kerabat, mudik merupakan upacara menggairahkan. Tradisi yang terjadi di penghujung Ramadhan ini adalah tafsir sosial yang terus hidup dalam masyarakat Indonesia. Semangat untuk bersatu dengan kaum kerabat ini ternyata juga turut melibatkan banyak kepentingan yang bisa ditilik dari berbagai perspektif. Karena itu tradisi mudik ini bisa dikatakan sebagai tradisi keagamaan yang secara ekonomis, politis, dan budaya saling menguntungkan.

Dari sudut pandang ekonomi, mudik bukan barang baru dalam pemerataan rejeki. Terutama terkait dengan pelayanan angkutan laut, udara dan darat. Membludaknya penumpang memicu terjadinya perputaran rupiah yang intens dalam transaksi jasa angkutan. Sehingga tradisi tahunan ini dapat dibilang sangat menguntungan bagi satu sama lainnya.

Dari sudut pandang politis, mudik bisa dijadikan lahan untuk meraih simpati. Dengan Pemberian tumpangan gratis oleh partai-partai politik, kelompok simpatisan dan floating mass merasa diperhatikan. Sehingga disamping mempererat hubungan antar simpatisan, massa mengambang pun akhirnya mulai memiliki kecenderungan.

Dari sudut pandang budaya, mudik dapat dikatakan sebagai living tradition, atau tradisi keagamaan yang hidup. Ia adalah hasil cipta, rasa, dan kersa umat dalam memaknai agamanya. Sehingga pemahaman yang membudaya ini menjadi bukti bahwa Islam melahirkan budaya yang beragam sesuai dengan keragaman lokalitas.

Idul Fitri
Tujuan utama orang-orang mudik ke kampung halaman adalah untuk merayakan hari raya Idul Fitri bersama keluarga. ‘Id secara kebahasaan berarti “kembali.” Jika ditafsirkan secara bebas, ‘Id dapat disejajarkan maknanya dengan mudik, yaitu kembali ke tempat seseorang itu berasal. Sedang Fitri berarti “agama yang benar,” “kesucian,” atau “asal kejadian.” Karena itu tidak salah kalau ada orang yang mengartikan Idul Fitri dengan “kembali suci.”

Jika dilihat dari sudut pandang kebahasaan, kata Fitri bukan hanya mengandung arti tersebut di atas. Ia bisa menjadi fathara-yafthuru yang berarti “sarapan pagi.” Sehingga Idul Fitri bisa berarti “kembali makan di pagi hari.” Ini tentu tidak bertentangan secara lughawi, karena sebagaimana Idul Adha yang berarti “kembali menyembelih korban,” Idul Fitri juga identik dengan kebolehan makan kembali di pagi hari.

Lepas dari perdebatan istilah tersebut di atas, puasa yang digadang-gadangkan sebagai proses menjadi sadar moral pada gilirannya mendapat wadah aplikasinya dalam hari raya Idul Fitri. Pengisian tuntasnya puasa di bulan Ramadhan ini ditandai dengan sikap peduli terhadap sesama dengan kewajiban membayar zakat fitrah. Zakat ini selain dimaksudkan untuk melengkapi proses puasa sebulan penuh, juga sebagai simbol penyucian diri dari ketertambatan hati akan hal yang bersifat keduniwian.

Halal Bihalal
Di dalam menyambut Idul Fitri di bulan Syawal, selain melahirkan tradisi mudik juga memunculkan tradisi baru, yaitu halal bihalal. Istilah ini sebenarnya khas Indonesia, tidak ada dalam al-Qur’an atau hadis. Sebagaimana disebutkan dalam kamus besar, halal bihalal berarti “acara maaf-memaafkan pada hari lebaran.” Dan sekali lagi ini menjadi bukti betapa khazanah keislaman khas Indonesia betul-betul kaya dan unik.

Dengan halal bihalal hubungan umat semakin erat. Prasangka-prasangka jelek pudar dalam kehangatan jabat tangan. Kesediaan meminta dan memberi maaf semakin memperindah suasana. Sehingga jadilah Idul Fitri sebagai hari selebrasi moral.

Pelajaran yang dapat dipetik dari tradisi ini adalah, di mana semangat sosial, baik yang berkenaan dengan mudik untuk shilaturrahmi, keinginan berbagi dalam zakat fitri, juga kemurahan hati untuk memaafkan dalam halal bihalal, adalah nilai yang semestinya diabadikan. Dengan tradisi-tradisi seperti ini tentu semakin mengokohkan, betapa Islam adalah agama cinta kasih yang sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan.

2 komentar:

  1. Tirulah selebrasi yang dilakukan lukas podolski setiap kali selesai menjebol gawang lawan.Cool, calm, confident...

    BalasHapus
  2. Aku baru tahu ternyata moral itu perlu selebrasi bang. BTW, maaf lahir batin bang agar halal mendapatkan yang halal, yang haram meleleh dicuci untuk meraih yang halal

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.