Minggu, 14 September 2008

Melek Genealogi Moral Para Politisi

Politik di mata masyarakat awam berarti menampilkan sesuatu untuk mencapai sesuatu yang lain. Apa yang ditampilkan dan apa yang ingin dicapai, tentu tidak susah untuk disebutkan. Pada masa-masa pemilu seperti ini, mereka yang mencalonkan diri untuk menjadi wakil rakyat biasanya menampilkan moralitas yang terbaik. Mereka menjadi orang yang sangat sosialis dan agamis. Namun pada sisi lain mereka juga sangat berhasrat pada kekuasaan.


Nietzsche, seorang filosuf Jerman abad sembilanbelas memaparkan dalam bukunya Jenseits vom Guten und Bösen (Melampaui Baik dan Buruk) bagaimana membongkar kedok segala sesuatu yang diagungkan sebagai suatu dekadensi. Kritik yang diistilahkannya dengan genealogi moral ini pada dasarnya ditujukan untuk kebudayaan Kristen Barat, namun berlaku universal. Menurut Nietzsche, dibalik moralitas yang ditampilkan tersimpan nafsu-nafsu, kebutuhan-kebutuhan dan harapan-harapan.

Pada umumnya dalam mekanisme sistem politik yang demokratis, akan memunculkan dua fenomena kehidupan politik. Pertama apa yang diistilahkan dengan The Governmental Political Sphere (suasana politik di tingkat supra struktur) dan yang kedua, The Socio Political Sphere (suasana politik di tingkat infra struktur). Yang terdahulu terkait dengan suasana kehidupan politik di tingkat pemerintahan. Dan yang belakangan terkait dengan suasana politik di tingkat masyarakat.

Baik kehidupan politik di tingkat pemerintahan maupun di tingkat masyarakat akan kita temukan fenomena-fenomena di mana penonjolan moralitas tidak lebih dari sekedar trik untuk mencapai suatu kekuasaan. Pada tingkat infra struktur misalnya, partai-partai politik beramai-ramai menawarkan jasa untuk melayani kebutuhan masyarakat. Jika di suatu kampung ada yang menginginkan televisi untuk ditonton bersama, maka partai dengan mudah mengeluarkan dana untuk membelikannya. Atau seperti di Kal-Sel, karena sering terjadi kebakaran, maka banyak kelompok masyarakat yang minta dibelikan mesin pemompa air sebagai langkah antisipasi kalau terjadi kebakaran. Meski mesin itu terbilang mahal, asal masyarakat suatu kampung tertentu berkomitmen untuk mendukung partai tersebut, maka mesin itupun akan dibelikan juga.

Moralitas periodik seperti ini pada saat tertentu menguntungkan masyarakat, namun pada saat lain tentu sangat merugikan. Karena seperti biasa terjadi, setelah kekuasaan dicapai oleh partai tertentu, mereka akan tinggal landas, meninggalkan sama sekali orang-orang yang mengusung diri mereka untuk mencapai kursi kekuasaan. Bahkan ketika mereka menjadi anggota dewan, kontribusi mereka untuk kesejahteraan masyarakat nyaris tidak ada. Yang ada malah bagaimana selama mereka menjabat katong celana mereka terus menebal dan semakin menebal.

Sebenarnya tidak ada masalah dengan moralitas yang ditampilkan. Bersikap sosial itu adalah baik. Suka membantu orang-orang yang lemah adalah baik. Ramah pada tetangga juga baik. Sayang pada anak yatim dan orang miskin tentu sangat baik. Mendanai pembangunan tempat-tempat ibadah, perbaikan jalan untuk kemudahan bersama, dan lain-lain semuanya adalah baik. Masalahnya jika semua itu hanya bersifat lipstik, maka akan terjebak dalam kubang hipokrit.

Maka dari itu dalam ilmu psikologi ada perbedaan mendasar antara etika karakter dengan etika kepribadian. Biasanya moralitas yang ditampilkan dalam etika karakter memang betul-betul berdasarkan kebiasaan yang mewatak. Sehingga jika dikaitkan dengan dunia politik, orang yang memiliki watak demikian, baik semasa dia mencalonkan diri jadi anggota dewan ataupun tidak, watak sosialis dan agamisnya tetap tampak, tidak ada perubahan sama sekali. Berbeda dengan etika kepribadian. Biasanya cantelan antara kebiasaan yang mewatak dan perilaku yang dibuat-buat sangat longgar. Karena itu etika kepribadian sering memunculkan perilaku munafik. Sikap sosialis dan agamisnya hanya muncul tatkala ada kepentingan tertentu saja.

Di sinilah masyarakat perlu berhati-hati. Jangan mudah terpancing emosi. Hanya dengan mendapat kemurahan sejumput, terus tanpa sikap kritis memberikan dukungan membuta. Pemilu adalah ajang pencarian orang-orang terbaik, bukan sarana mencari orang-orang yang berbuat kebaikan sesaat tapi lupa separuh dasawarsa. Pemilu adalah ibarat permukaan gunung es yang mesti kita ketahui dengan baik besaran bongkahan yang terdapat di dalamnya. Seperti yang diajarkan Nietzsche, telitilah dengan baik genealogi moral seseorang. Apakah ia berasal dari silsilah etika karakter atau sekedar etika kepribadian.

Meski sulit mengajak masyarakat untuk melek politik, akan tetapi setidaknya ada kelompok-kelompok non-kepentingan untuk memberikan arahan agar masyarakat tidak tertipu oleh money politik dan phony politik. Organisasi-organisasi besar seperti Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama semestinya menjadi non-interest group yang gigih memberikan pendidikan politik pada masyarakat dan juga mengkampanyekan sikap anti politisi busuk. Di samping turut menawarkan kriteria-kriteria calon anggota yang selaiknya dipilih, kedua oraganisasi keagamaan ini baiknya memberikan rekomendasi semacam traffic-light atas calon-calon yang akan berlaga di pemilu 2009 nanti. Wallahu a’lam.

2 komentar:

  1. Mi, mengharapkan NU & MU menjadi bangjo politik nampaknya cukup sulit. soalnya, kedua ormas Islam itu udah punya partai. Jadi, kemungkinan besar, mengharapkan mereka jadi bangjo itu sulit, sesulit memasukkan unta ke lubang jarum:-)

    BalasHapus
  2. Hello borne... jika politik itu menawarkan traffic-light so politik itu berwarna-warni... ada merah, kuning, dan hijau. ya merah dikit tabrak lah... triiit... barulah damai???
    Traffic-light bisa jadi UUD normtif-konotatif atau normatif-denotatif. bagaimana dengan orang Indonesia?
    Suatu yang perlu diperhatikan, jika kita berada di lampu merah, jangan menyebutkan
    LEFT GO A HEAD, tapi
    LEFT GO AHEAD itu baru melek

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.