Jumat, 19 September 2008

Kapan Ke Yogya Lagi...?

Yogyakarta. Kota pemicu seribu potensi ini bagaikan pabrik yang siap memproses seseorang untuk menjadi. Entah anda mau jadi apa, berbagai macam model telah tersaji. Jika anda ingin menjadi seorang terpelajar, pintar, dan memiliki banyak pengaruh, model seperti itu telah ada. Jika anda ingin menjadi usahawan, pemimpin, manajer, guru, dan lain-lain, semua juga sudah ada. Bahkan jika anda ingin jadi maling, germo, pelacur, tinggal mencontoh saja.


Lintasan peran yang dimainkan manusia Yogya amat lentur. Persinggungan antara mereka melahirkan produktivitas yang luar biasa. Antara mahasiswa dengan pemilik kost, antara laki-laki hidung belang dengan germo, antara pedagang dan pembeli, antara sopir angkot dan penumpang, antara politisi dan proletar, antara pengamen dan pengunjung warung makan, begitu juga antara peran yang lainnya. Tidak ada yang baku, semuanya mencair dan meruang dengan sendirinya.

Jika anda berdiri di sepanjang trotoar jalan Malioboro, maka anda akan menyaksikan geliat budaya konsumerisme yang luar biasa. Saat anda masuk ke dalam pasar Beringharjo, anda laksana berada dalam sarang semut. Di permukaan tampak bersahaja, tapi di dalamnya aktivitas negosiasi terjadi sangat cepat. Perputaran rupiah menggelinding bak bola salju.

Dua lokomotif penggerak perekonomian Yogya benar-benar menjadi jurus jitu dalam mensiasati krisis ekonomi. Status kota pelajar dan kota wisata memancing ribuan orang untuk mengendap di relung-relung Yogya. Membludaknya manusia yang memasuki kota ini mendorong daya kreativitas untuk memberikan pelayanan. Dengan sedikit inisiatif, maka anda pun bisa melayani.

Kalau anda hobi menyanyi sambil main gitar, talenta anda itu bisa dikembangkan dengan sedikit sentuhan ekonomis. Daripada genjrang-genjreng tak karuan, melatih mental dengan mengamen di depan audiens yang lagi menyantap makanan sambil menawarkan request lagu-lagu ngetop adalah pilihan mengasyikkan. Di sini peluang untuk melayani terbuka lebar.

Dengan kuatnya gesekan hidup, maka proses menjadi pun sangat fleksibel. Mahasiswa yang dulunya berniat jadi seorang sarjana agama, bisa saja terbelokkan menjadi seorang tukang servis HP, pengisi acara rohani di radio, distributor buku, atau jadi seorang pedagang angkringan. Yang konsisten bisa saja terus sekolah sampai S3 sambil menanam pengaruh di pondok-pondok pesantren dan di kampus-kampus dengan jadi ustadz dan dosen.

Bagi anda yang suka menghabiskan waktu dengan santai, Yogya memang tempatnya. Ngobrol ngalor-ngidul semalam suntuk hingga ayam berkokok bisa dilakukan di angkringan. Ragam minuman, dari kopi joss (kopi yang dicelupkan bara api ke dalamnya), nasgitel (kopi panas legi dan kentel), susu jahe, teh hangat, jeruk panas, sampai cuma air putih saja, semuanya mendapat pelayanan.

Yang cukup mengesankan adalah nasi kucing. Istilah ini sangat familiar di Yogya, terutama di kalangan mahasiswa. Nasi yang memang sesuai dengan takaran makan kucing ini memiliki kelebihan tersendiri. Ia diperuntukkan bagi orang-orang yang sekedar mengganjal perut, bukan untuk mencari kenyang. Karena jika anda ingin mencari kenyang, anda bisa datang ke salah satu warung makan. Mengambil nasi dengan menakar sendiri, juga lauk dan sayur yang dijumput sendiri. Jika porsi anda jumbo, tidak masalah anda memuat nasi ke piring dengan unggukan sebanding kucing lagi duduk. Warung emak di bawah jembatan Janti adalah salah satu model warung self service semacam ini.

Hidup di Yogya seperti hidup di alam bebas. Tak ada yang menggubris. Anda mau berbuat apa saja terserah, asal tidak mengganggu ketentraman orang banyak. Di sini, jika mahasiswa yang ingin jadi sarjana agama saja bisa terbelokkan menjadi tukang servis HP atau jadi distributor buku, apatah lagi yang belum purna niatnya. Maka itu, di samping menebar budaya kompetisi, atmosfer Yogya juga menebar aroma maksiat yang sangat tinggi. Anda bisa buktikan. Di kalangan mahasiswa, melepas kekang kendali seks tanpa ikatan nikah sudah bukan rahasia lagi. Kost-kostan adalah saksi bisu yang tak berkutik menolak libido yang tak terkendali.

Itu untuk mereka yang punya ikatan cinta. Tapi bagi anda yang tidak memiliki pasangan, jangan takut. Tempat untuk menyalurkannya masih banyak. Sarkem (Sasar Kembang) adalah lokasi indah untuk melepas hasrat. Cukup dengan merogoh kocek limapuluh ribu anda sudah mendapatkan daging segar yang bisa mencumbu, bisa melepaskan lelah setelah anda khusyuk menikmati wisata alam Yogya nan kaya dan ramah.

Pokoknya Yogya adalah pemicu seluruh potensi yang anda punya. Bukan hanya menjadi pintar, bahkan Yogya bisa membuat anda menjadi semakin liar. Di samping menjadikan anda haus buku, Yogya juga bisa membuat anda haus seks. Maka tidak salah kalau ada ungkapan, di siangnya Yogya adalah kota pelajar, tapi di malam harinya Yogya adalah kota pelacur. Hebat sekaligus mengerikan.

Tapi bagi saya Yogya adalah kenangan terindah. Belajar bersama dengan para Doktor dan Profesor cerdas menambah semangat untuk mengoptimalkan seluruh potensi. Berteman dengan teman-teman dari berbagai daerah memperkaya khazanah budaya. Duduk ngobrol di angkringan ternyata sulit terlupakan. Kapan ke Yogya lagi tuk menapak tilas sejarah, entahlah...?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.