Selasa, 16 September 2008

Makanan Sampah dan Kemiskinan

Di Barat kita mengenal istilah Junk food atau yang populer dengan makanan sampah. Namun itu hanya istilah, tidak merujuk pada hakikat makanan itu sendiri. Junk food biasanya ditujukan untuk makanan yang sedikit sekali mengandung nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Sebaliknya di Indonesia, istilah makanan sampah benar-benar berarti makanan yang dipungut dari tempat sampah.


Tragis memang. Kasus pengolahan kembali makanan yang dipungut dari tempat sampah yang terungkap di Jakarta menunjukkan bahwa tingkat tanggung jawab kita pada keselamatan konsumen sangat rendah. Hal ini juga diperkuat dengan ditemukannya beberapa kasus penjualan berbagai jenis daging yang tidak sehat di pasaran. Berbanding lurus dengan itu, obat-obatan, minuman botol, alat-alat kosmetik, jamu-jamuan, dan lain-lain ternyata juga sudah banyak yang dipalsukan.

Sungguh sangat memprihatinkan. Betapa tidak, makanan-makanan yang mengandung risiko itu ternyata telah dikonsumsi masyarakat selama bertahun-tahun. Tidak ada keresahan dari penjual. Dengan bermain risiko atas kesehatan orang, mereka menikmati untung dari penafian moral. Atas tindakan berbahaya ini maka pelakunya layak untuk diberi sanksi.

Namun perlu diketahui, bahwa ini adalah fenomena yang galib terjadi di kalangan orang-orang kecil yang termarjinalkan. Bahkan jika dilacak, sebagian besar mereka yang mengkonsumsi makanan sampah itu adalah juga orang-orang kecil. Pelaku rekondisi makanan yang telah dibuang ke tempat sampah tidak memiliki akses untuk memanfaatkan sisa-sisa makanan yang masih layak yang disajikan untuk kaum elite di hotel-hotel. Pada gilirannya, negosiasi murah dan mudah dengan para pemulung adalah jalan keluarnya. Ini adalah sistem ekonomi kaum alit. Hubungan transaksi di antara mereka menghasilkan produk yang juga layak dinikmati oleh sesama mereka.

Ini tidak penulis maksudkan bahwa memakan makanan sampah bukan suatu yang membahayakan. Tetapi inilah fakta bahwa sistem ekonomi kaum alit telah mendorong lahirnya aktivitas perdagangan yang melampaui moralitas. Kurangnya modal menggelitik mereka untuk mencari jalan pintas. Meski berisiko besar, asalkan mendatangkan untung besar, maka terus dilakoni.

Hal yang demikian seharusnya menjadi perhatian pemerintah baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Pemberian modal dan pembukaan pasar bagi kaum-kaum marjinal adalah salah satu solusi untuk mengurangi tindakan nekat yang mereka lakukan. Kemiskinan dan kenekatan adalah dua hal yang nyaris tak terpisahkan.

Pelanggaran-pelanggaran hukum oleh kaum miskin menduduki tingkat tertinggi dalam struktur masyarakat. Karena itu, dengan sistem distribusi kekayaan yang tidak merata, maka yang paling banyak dirugikan adalah mereka yang tidak berpunya. Beberapa tindakan kriminalitas hampir bisa diduga motifnya adalah karena kemiskinan.

Bercermin dari kasus makanan sampah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, seperti yang sering diungkapkan oleh orang jawa, ngono ya ngono tapi ojo ngono. Meski dalam kondisi miskin, tapi bukan berarti moralitas bisa seenaknya ditepikan. Batas-batas yang berlaku universal seperti tidak merugikan orang lain harus tetap dihormati walau dalam kondisi apapun.

Kedua, masyarakat boleh saja mengecam pelaku rekondisi makanan sampah, akan tetapi bukan berarti harus memicingkan mata atas ketimpangan ekonomi yang terjadi. Bagi kalangan the have (yang berpunya), semestinya kasus ini menjadi pelajaran agar hidup lebih prihatin. Tidak berlaku hedonis, karena ternyata kelebihan yang mereka buang memiliki nilai ekonomis bagi mereka yang tidak memiliki penghasilan.

Ketiga, bagi pemerintah yang memiliki kewajiban untuk meningkatkan harkat martabat bangsa, semestinya berperan aktif untuk memfasilitasi orang-orang miskin dengan cara mengkoordinasikan potensi-potensi yang mereka miliki dengan lapangan kerja yang layak. Ini adalah salah satu cara untuk mengurai benang kusut keruwetan kerja akibat minimnya pemahaman akan pembagian kerja.

Keempat, agar keselamatan konsumen tetap terjamin, pengawasan atas produk-produk makanan harus tetap dilakukan. Kerjasama yang baik dengan masyarakat memberi andil yang cukup besar dalam mengamankan keselamatan konsumen.

Kelima, agar kasus makanan sampah tidak terulang kembali, berikut pemalsuan atas produk-produk makanan dan obat-obatan, hukuman atas pelaku pelanggaran harus ditegakkan. Dengan hukum yang tidak memihak, maka warga negara akan merasa aman dan nyaman.

Kemiskinan adalah musuh kita bersama. Meski dalam teori fungsionalisme struktural kemiskinan menyandang peran tersendiri dalam keseimbangan masyarakat, akan tetapi ia tidak boleh diabadikan. Memerangi kemiskinan adalah pekerjaan yang harus terus-menerus dilakukan. Selama masih tinggi tarap kemiskinan, kesejahteraan sosial tak akan pernah terejawantahkan.

2 komentar:

  1. Alhamdulillah aku selamat dari makanan kayak gituan. soalnya aku hanya suka tempe :p. Aku rekomendasikan untuk kamu. kalau beli tempe yang mentah beli yang hangat ya,tandanya masih baru. di jogja beli yang bermerek "Murni" ya, udah terjamin kualitasnya.maklum, sedikit tahu, hampir tiap pagi aku belanja haha..

    BalasHapus
  2. perlu ditindak tegas tuh

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.