Minggu, 21 September 2008

‘Ulama Jangan Jadi Penindas Umat

Dalam bahasa Arab, kata ‘Ulama bentuk jamak dari ‘Alim, berarti orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Di dalam bahasa Inggris dinamakan Scholar, atau educated person or expert in a particular field, yaitu orang yang terdidik atau memiliki pengetahuan dalam bidang tertentu. Jelas dalam pengertian ini, seorang ‘Ulama hanya memiliki wewenang keilmuan bukan wewenang kesucian.


Karena itu, apapun pendapat ‘Ulama tentang suatu masalah keagamaan, kuat atau lemah adalah berbanding lurus dengan tingkat pengetahuan mereka. Dan karena itu pula, pendapat itu selalu dapat dibantah dan ditandingi. Tidak ada hak bagi para untuk ‘Ulama mewakili seseorang dalam urusannya dengan Tuhan, dan mereka juga tidak memiliki hak untuk menentukan nilai kerohanian seseorang.

Umat Islam harus berpegang teguh pada pendapat ini. Karena kalau tidak, maka penempatan ‘Ulama pada derajat suci akan menimbulkan masalah. Orang-orang akan berbondong-bondong mencari wasilah, meminta pada para ‘Ulama untuk memanjangtangani harapan mereka pada Tuhan. Di saat lain, jika perasaan suci menyelinap dalam diri ‘Ulama, maka broker keilahian pun akan mereka kenakan. Sehingga apapun yang mereka fatwakan, sampaikan, atau ujarkan, akan dianggap sebagai titah suci. ‘Ulama menjadi can’t do no wrong, selalu saja benar.

Di Jawa Tengah, ‘Ulama diistilahkan juga dengan Kiayi, Sumatera Barat Buya, Jawa Barat Ajengan, dan di Kalimantan Selatan biasa disebut dengan Tuan Guru. Penghormatan terhadap orang-orang ini memang seharusnya dilakukan, sebab mereka memiliki wewenang keilmuan. Akan tetapi jika batas keilmuan itu dilampaui, maka mereka akan memiliki wewenang keilahian. Dan inilah yang seharusnya dihindari.

Para ‘Ulama seharusnya memberikan pemahaman dan kesadaran pada masyarakat akan kedudukan mereka. Nabi sering menyebut diri beliau sebagai seorang basyar (manusia biasa) yang mendapat wahyu tapi tidak memiliki wewenang keilahian. Jika sikap nabi ini diikuti, tentu akan memberi ruang beragama yang lapang, di mana satu pihak dengan pihak yang lain tidak ada yang saling menghakimi. Karena masing-masing tidak ada yang suci.

Sayang, karena kadang status ‘Ulama memiliki keuntungan tersendiri, maka tak jarang terjadi manipulasi. Di antara para ‘Ulama ada yang memanfaatkan kebodohan jama’ahnya sebagai lahan bisnis. Dengan hal-hal berbau klenik, mereka menjual benda-benda berupa jimat, rajah, air yang sudah dikasih doa dan lain-lain sebagai penangkal, pipikat atau tetamba.

Bahkan, dengan mengorganisir santri-santrinya atau jama’ahnya, di antara ‘Ulama ada yang terlibat transaksi politik dengan mereka yang mencalonkan diri jadi penguasa. Di sini terlihat ada interaksi saling menguntungkan. Namun pada hakikatnya ‘Ulama tersebut telah menjual murah kepercayaan jamaahnya. Dia telah menggadaikan jama’ah untuk kepentingan ekonomis dalam permainan politis. Dan ini adalah model ‘Ulama opportunist.

Sejalan dengan perilaku ‘Ulama ini, maka Anthony Collins (1676-1729), seorang tokoh pendukung pemikiran bebas dan penulis buku Discourse of Free Thinking, secara blak-blakan melontarkan kritik kepada kelompok rohaniwan dalam agama Kristen. Dengan pedas dia mengatakan bahwa para rohaniwan itu adalah kelompok elite yang paling bertanggung jawab atas penindasan, pembodohan dan intoleransi yang menghambat kemajuan umat manusia.

Jika kritik Collins itu ditujukan bagi rohaniwan Kristen yang memanipulasi wewenang keilmuannya dalam bidang agama, maka kiranya ini pun dapat berlaku bagi semua agama, khususnya bagi para ‘Ulama yang mengeksploitasi jama’ahnya untuk keuntungan diri mereka.

Nabi Muhammad menegaskan, bahwa para ‘Ulama itu adalah pewaris para Nabi. Para Nabi tidak mewariskan harta benda seperti dinar atau dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Oleh karena itu, siapa saja yang mengambil warisan para Nabi itu, maka dia telah mendapat bagian yang banyak.

Islam tentu sangat menghormati orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Bahkan dalam salah satu petikan ayat al-Qur’an disebutkan bahwa, untuk mereka, Tuhan memberikan kedudukan tinggi beberapa derajat. Namun penghormatan dan kedudukan ini hanya akan didapat kalau ilmu yang dimiliki benar-benar digunakan dalam koridornya, bukan untuk mencari untung dengan memanfaatkan kebodohan orang lain.

Para ‘Ulama semestinya menjadi agent perubahan bagi kaumnya. Mereka memikul tanggung jawab untuk membebaskan orang-orang dari ketertindasan, kebodohan, dan mengajarkan kesantunan untuk bersikap lapang atas segala perbedaan. Para ‘Ulama adalah penyengat yang memicu daya kreatif umat agar menjadi yang terbaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.