Rabu, 19 Oktober 2011

Agama yang Bisu dan Kaku


Berbagai kejadian menghebohkan belakangan ini kerap memunculkan diskusi tentang peranan agama dalam membina kehidupan yang jujur, damai, santun, haromi, dan toleran. Bagaimana tidak, kuropsi, perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, tawuran, pelacuran, aborsi, seks bebas, penipuan, dan bermacam laku serupa kerap mewarnai keseharian hidup masyarakat, baik yang terekspose di media massa atau tidak.

Agama macam apa yang dianut manusia Indonesia belakangan ini. Adakah mereka memiliki pandangan yang sama dengan Friedrich Nietzsche yang mengatakan bahwa Tuhan itu sudah mati, Gott ist tot, sehingga mereka bebas melakukan tindak amoral sebagai akibat hilangnya nilai dalam kehidupan.

Ataukah juga memiliki pandangan sebagaimana Ludwig Feurbach yang mengatakan bahwa Tuhan itu tidak lebih dari hasil proyeksi manusia yang belakangan malah mengungkung kebebasan manusia itu sendiri, sehingga mengakibatkan manusia teralienasi. Karena itu, perlu adanya kesadaran untuk membuang Tuhan berikut nilai-nilainya agar manusia bebas berkehendak dan berbuat.

Atau seperti Karl Marx yang memandang bahwa agama itu candu, sehingga orang tidak memiliki kekuatan untuk berusaha, membebaskan diri dari penderitaan hidup, karena senantiasa disungguhi kata-kata sabar, ikhlas, rajin beribadah, dan beberapa ucapan serupa yang dianggapnya melemahkan.

Ataukah juga seperti yang diucapkan oleh Sigmund Freud, bahwa agama itu adalah gejala penyakit saraf yang mengganggu kehidupan manusia sedunia. Ia kerap menimbulkan sikap ambivalensi yang membuat hidup manusia tidak tentram. Karena itu untuk mendapatkan hidup yang normal, hendaknya orang menjauhi agama.
Meski semua pandangan para tokoh filsafat itu dilandasi oleh alasan dan konteks sosial tertentu, tetapi pandangan mereka mengenai agama memberi energi tersendiri untuk melakukan pemberontakan terhadap nilai-nilai yang sudah mapan dan diyakini benar. Agama simpul mereka, tidak lebih dari ilusi yang memenjarakan kebebasan hidup.

Agama itu Pasif, Bisu, dan Kaku

Salah memang kalau kita menuntut agar agama mengambil peran untuk memperbaiki hidup yang karut-marut ini, karena agama itu pasif, bisu, dan kaku. Ia tidak akan bisa berperan apa-apa kalau tidak dimainkan oleh manusia. Manusia yang memiliki keyakinan agamalah pelaku utamanya, bukan agama itu sendiri.

Agama akan hidup dan memberi peran yang dasyat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kalau ia digerakkan, dihidupkan, disuarakan, dan dielastisitaskan oleh manusia. Jadi yang dituntut adalah sikap manusia itu sendiri terlebih dahulu terhadap agama. Adakah keyakinan agamanya sama dengan pandangan filosuf-filosuf itu, ataukah berbeda, dengan keyakinan bahwa Tuhan itu tidak mati, Dia terus hidup dan mengawasi setiap aktivitas hidup makhluk-makhluk-Nya. Agama bukan candu, tapi sumber kekuatan, dan agama bukan gejala penyakit saraf, tapi sumber ketenangan.

Keyakinan yang baik terhadap agama tentu memberi dorongan yang luar biasa bagi seseorang untuk mengambil peran dalam sejarah hidupnya. Apapun kapasitas sesorang dalam konstelasi peran dalam drama hidup ini, nilai-nilai agama akan memberi perbedaan yang mencolok di sana.

Inilah masalahnya, agama tidak pernah menjadi pendorong bagi lelaku keseharian hidup kita, baik itu di keluarga, di masyarakat, di kantor, atau bahkan di tempat ibadah sekalipun. Posisinya digantikan oleh nafsu-nafsu rendah dan kepentingan diri sesaat. Terjadilah sebagaimana peristiwa yang disebut di atas, korupsi, penipuan, perampokan, pemerkosaan, dan lain sebagainya.

Keruwetan hidup kadang membuat orang kalap, cenderung mengambil jalan pintas. Apa yang dipandang menguntungkan di depan mata, dilakukannya lah. Tidak pandang apakah itu orang awam, orang berilmu, atau yang paham agama sekalipun. Terbukti, bahwa pelaku-pelaku korupsi terbesar di negara ini adalah orang-orang berilmu, orang-orang berdasi. Pelaku-pelaku penipuan malah dimotori oleh orang-orang pintar.
Adapun kapling bagi orang awam dan masyarakat kecil adalah hal-hal yang berkenaan dengan kekerasan. Ini lumrah. Bahkan menurut saya, sekiranya aturan yang keras diterapkan, misal, seperti mencuri dipotong tangannya, maka yang banyak kehilangan pegelangan tangan adalah orang-orang miskin.

Selama keadilan belum bisa ditegakkan dengan tegas di negara ini, maka hukum akan sangat berpihak pada orang-orang berdasi, dan akan sangat menyakitkan bagi orang-orang miskin. Semakin pintar tingkat pengetahuan seseorang, semakin cerdas ia mengakali aturan. Sementara bagi orang-orang miskin, kecurangan yang dilakukannya akan ketahuan dengan terang.

Maka itu, sangat penting dan mendesak bagi mereka yang memegang kekuasan, usaha, dan juga kepentingan, untuk memainkan agama dalam skala yang mereka kuasai. Terutama bagi pemimpin-pemimpin bangsa ini, titipkanlah moralitas yang diajarkan agama pada bawahan-bawahan Anda. Seandainya ia tidak dijalankan dengan baik, atau malah dilanggar, jadikanlah ia sebagai bagian acuan menilai kirnerja mereka. Fahmi Riady

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.