Minggu, 16 Oktober 2011

Haji dan Problematika Gelar


Berbarengan dengan meningkatnya ekonomi masyarakat, semakin banyak kita saksikan umat Islam Indonesia yang melaksanakan ibadah haji. Karena itu, ada baiknya kita diskusikan terlebih dahulu apa itu haji, dan apa makna ibadah haji. Haji dalam bahasa Arab berarti berziarah, mengunjungi. Berasal dari kata hajja, yang ism fa’ilnya (pelakunya) disebut dengan haajjun, bentuk pluralnya hujjaaj, yang artinya adalah orang-orang yang menziarahi, yang mengunjungi. 

Apa yang diziarahi, dikunjungi, tidak lain adalah monumen-monumen Allah, yang dalam bahasa al-Qur’an sya’aa-iruLLah (lihat al-Baqarah/2:158), di antaranya adalah Ka’bah, Shafa dan Marwah, Arafah, Mina, Muzdalifah, dan lain sebagainya. Semua monumen-monumen tersebut merupakan tanda-tanda dari ketakwaan hati.

Jauh di belakang tanda yang tertinggal, ada sejarah tentang ketaqwaan jiwa anak manusia. Misalnya Shafa dan Marwah, ini adalah tempat di mana Hajar, isteri Nabi Ibrahim megalami kehausan yang tiada tara akibat ketiadaan air. Begitu juga dengan Arafah, Mina, dan Muzdalifah, semua ada sejarahnya.

Jadi sebenarnya, kewajiban mengunjungi Makkah, di samping dalam rangka ibadah, juga dalam upaya menggali kesan yang ditinggalkan orang-orang yang dekat dengan Allah. Dengan begitu diharapkan, orang-orang yang berhaji mendapatkan kesan yang mendalam akan ketaqwaan, yang kemudian berimplikasi pada perbuatan keseharian. Inilah kiranya makna dari ibadah haji ke baituLLah.

Problematika Gelar Haji
Sebagaimana disebutkan, secara kebahasaan, haji berarti menziarahi, mengunjungi. Jadi tepatnya istilah ini digunakan untuk orang yang mau beribadah haji, bukan untuk mereka yang telah selesai melaksanakannya. Ketika seseorang pulang dari ibadah haji, sebenarnya sematan haji bagi dirinya sudah tuntas, karena dia tidak lagi berada dalam proses berziarah.

Sebaliknya di Indonesia, gelar tersebut masih tetap melekat. Orang-orang yang telah selesai melaksanakan ibadah haji, mendapat gelar tambahan di depan namanya dengan sebutan haji (untuk laki-laki) dan hajjah (untuk perempuan). Banyak orang memandang hal itu tidak baik, karena bisa menimbulkan sikap riya, pamer, sehingga bisa berbahaya bagi nilai ibadahnya di hadapan Allah.

Terkesan lucu memang, dari sekian banyak negara, hanya orang-orang Indonesia dan Malaysia saja yang menambahkan gelar haji di depan namanya. Namun jika kita melihatnya dari sudut pandang sejarah, terasa dapat dipahamilah mengapa orang-orang Indonesia mengenakan gelar haji di depan namanya.

Satu abad yang lalu, pada masa pemerintahan Hindia Belanda, gelar haji digunakan pemerintah sebagai tanda agar mudah dikontrol. Alasannya, banyak di antara orang Indonesia yang berhaji, tinggal berbulan-bulan di Makkah untuk menuntut ilmu. Sepulangnya ke Indonesia, mereka tidak jarang menjadi orang-orang yang memprovokasi pemberontakan atas pemerintah Hindia Belanda.

Di Kepulauan Seribu, di P. Onrust dan P. Khayangan, orang-orang yang pulang haji, banyak yang di karantina di sana. Ada yang memang untuk dirawat dan diobati karena sakit akibat jauhnya perjalanan naik kapal, dan ada juga yang disuntik mati kalau dipandang mencurigakan. Karena itu gelar haji menjadi semacam cap yang memudahkan pemerintah Hindia Belanda untuk mengawasi mereka yang dipulangkan ke kampung halaman.

Alasan lain pemakaian gelar haji bagi mereka yang kembali pulang adalah, karena susahnya menempuh perjalanan pulang pergi Indonesia-Makkah, sehingga agar kesan itu tidak hilang, maka dipakailah gelar haji sebagai tanda perjuangan ibadah. Penambahan gelar ini tentu sangat dapat dimaklumi.

Haji, sebagai ibadah yang berulang, sebagaimana terlihat dari kata Idul Adha, yang berarti kembali berkorban secara akumulatif menjadi suatu tradisi. Karena di samping kata Id yang berarti berulang, ia juga bisa menjadi adat, kebiasaan (bhs. Arab ‘Aadah). Begitu juga dengan gelar haji, ia berkembang secara evolutif, tanpa disadari, sehingga menjadi semacam tradisi.

Tidak mudah untuk menyalahkan, apalagi memandangnya sebagai sesuatu yang bid’ah, karena harus didudukkan dulu posisinya, apakah penambahan gelar haji di depan nama itu merupakan suatu ibadah, ataukah hanya sekedar budaya?

Gelar haji kadang menjadi problem tersendiri di masyarakat. Karena ia menjadi suatu tradisi, tanpa dikehendaki si penyandang, kadang gelar itu disandangkan sendiri oleh masyarakat. Sebaliknya, ada juga orang yang merasa gelar itu semacam kehormatan, sehingga ketika orang lupa membubuhkan gelar haji di depan namanya, merajuk dan jengkellah hatinya.

Menurut penulis, biarlah gelar haji menjadi kekayaan budaya yang unik di Indonesia, karena ia juga merupakan tradisi yang tidak disengaja sebelumnya. Adapun masalah implikasi gelar itu bagi keriyaan seseorang, biarlah menjadi tanggungan dirinya di hadapan Allah. Bukankah riya itu dipicu oleh berbagai macam kemungkinan. Lantas mengapa kita menjadi susah dengan gelar haji yang hanya merupakan satu dari banyak kemungkinan itu. Fahmi Riady

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.