Rabu, 19 Oktober 2011

Astagfirullah Artis


Raffi Ahmad putus dengan Yuni Shara? Demikian bunyi kepala berita yang saya lihat ketika membuka Banjarmasinpost Online (19/10/2011). Sempat bingung, tidak tahu mau bilang apa. Kebingunan ini bukan karena Raffi Ahmad putus dengan Yuni Shara, tapi karena tidak tahu, komentar bagaimana yang pantas untuk mereka.

Kalau meminjam bahasa normatif jiwa saya, akan terucap begini, “astagfirullah artis jaman sekarang, apa yang terjadi dengan saraf malu kalian, tidak sadarkah kalau kalian itu bintang, di mana sejuta mata memperhatikan. Kalian itu model, di mana sejuta jiwa tergugah untuk meniru kalian. Kalian itu segala, di mana segenap hati ingin menjadi bagian dari kalian. Tetapi apa yang kalian pampangkan, astagfirullah....!”

Saya sadar, kalau bisikan jiwa itu saya ungkapkan, ada sekian banyak orang yang akan protes, menuduh saya syirik. Mereka akan mengatakan, “apa urusanmu menggaduhi mereka, itu kan hak mereka. Mau apa sih kamu. Asal tidak mengganggu orang, asal tidak merugikan orang, biarkan saja lah. Urus saja pekerjaanmu, urus saja dirimu.”

Ini mungkin yang dinamakan dengan global paradoks. Di mana asas moral yang diyakini baik oleh orang tua kita dahulu semakin tersisih, dan semakin banyak ditentang. Di masyarakat, moralitas itu, antara yang setuju dan menentang terkesan berimbang, namun nyatanya, yang ada adalah sungsang, paradoks.

Lebih baik diam daripada berantem, agaknya ini pernyataan yang baik untuk diikuti. Ini tidak saja berlaku di masyarakat, bahkan juga di dalam keluarga. Orang tua banyak yang tidak sanggup lagi angkat bicara, hanya bisa mengelus-elus dada. Anak semakin berani, semakin sadar hukum untuk bersembunyi di balik tameng aturan anti kekerasan di dalam keluarga.

Apa yang harus dilakukan dalam kondisi seperti ini. Apakah mesti ikut kelompok-kelompok yang sering kita lihat di jalan-jalan, demo mengusung tema-tema menggiurkan seperti memerangi pornografi, anti liberalisme, menegakkan syari’ah dan lain-lain. Ataukah cukup dengan filsafat lebih baik diam, asal tidak berantem.

Mengikut yang pertama, gerakan-gerakan itu, kadang hati masih tidak terima. Mereka itu kan gerakan yang tidak murni memperjuangkan etika moral, kadang terselip di akar serabutnya motif-motif seperti politik, ekonomi, ideologi, dan lain-lain. Sementara yang ingin diikuti adalah gerakan yang hanya memperjuangkan kelangsungan moral. Yang menempatkan diri di atas dan untuk semua golongan. Tidak untuk motif lain. Kalau hanya meperjuangkan politik, lebih baik ikut yang legal, dan secara jantan bermain di sana mengeksplorasi dan mempertaruhkan keahlian politis diri.

Sementara kalau mengambil jalan ke dua, diam asal tidak berantem, kadang dengan sikap ini akan menumbuhkan kejengkelan. Jika lama dipendam dengan penekanan-penekanan asal tidak berantem, akan membesar, bisa-bisa memunculkan sikap ambivalensi, yang menyebabkan sakit neurotik.

Lucu memang, bermula dari hanya membaca berita Raffi Ahmad putus dengan Yuni Shara, ternyata menjadi masalah yang sulit untuk dicarikan cara mengurainya. Padahal yang dibicarakan bukan sekedar kasus, tapi sudah menjadi isu. Bukan hanya terjadi pada satu atau dua orang artis, tapi banyak. Ada yang gaya pacarannya seperti suami isteri, ada yang kasus perzinaannya menjadi santapan publik, dan bahkan ada yang hamil, yang infonya semakin pedas ketika dibumbui oleh televisi.

Ke mana orang-orang yang merindukan tegaknya etika dan moralitas ketimuran harus mengadu. Bahkan penguasa jagad Indonesia saja tidak berkutik. Tak ada hak untuk mengatur, apalagi melarang. Ingin berpikir menghapus dunia pertelevisian dan menggantinya dengan televisi pemerintah saja, sudah telat. Itu hanya akan menghantam batu karang. Malah kapal sendiri yang akan pecah tenggelam.

Bahkan sarana yang sangat memungkinkan pun, seperti pendidikan di sekolah sampai bangku kuliah, nyatanya semakin terlihat tidak memungkinkan juga. Di sekolah-sekolah, dan juga di bangku kuliah, moralitas yang diajarkan tidak memberi efek yang membanggakan. Bahkan dari pergaulan di sekolah dan bangku kuliah itu, anak semakin liar. Di sana mereka menemukan keasyikan bercinta sebagaimana artis. Menyedihkan.

Mungkin begini saja, bagi mereka yang sempat membaca tulisan ini, atau tulisan yang semacam ini, atau juga yang memiliki pikiran yang serupa ini, buat komitmen pribadi saja lah. Jika masih sendiri, cukup jaga diri, dan pegang etika moral yang diyakini baik. Kalau menginjak pada keinginan untuk menikah, carilah pasangan yang memiliki komitmen yang sama, sehingga ketika beranak pinak, tekankanlah kebaikan moralitas itu pada anak pinaknya Anda.

Tidak ada masyarakat yang berdiri tegak dengan baik kalau tidak dipanggul oleh keluarga yang baik-baik. Kemudian untuk menyikapi penampilan artis yang vulgar-vulgar, saran saya, sebaiknya Anda jangan membeli televisi. Atau kalaupun ingin punya, dengan alasan untuk menonton perkembangan berita, maka di keluarga, tegakkanlah disiplin waktu dan disiplin menonton. Diskusikanlah itu baik-baik dengan anak-anak Anda. Intinya, jangan jadikan televisi mengisi separuh hidup keluarga Anda. Fahmi Riady

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.