Minggu, 23 Oktober 2011

Barabai Tanah Air Beta


Kalau Bapak Ismail Marzuki mengatakan, Indonesia adalah tanah air beta, maka saya sebalikya akan mengatakan bahwa Barabai adalah tanah air saya. Perbedaan ini tidak saya maksudkan sebagai penyangkalan, tetapi sekedar batas kesadaran. Kesadaran yang nyata akan tempat hakiki di mana kita dilahirkan, dididik dan dibesarkan.

Meng-Indonesia itu harus. Menyadari bahwa kita itu berada dalam satu wadah, yaitu Indonesia, itu adalah wajib. Kesadaran ini menjadi unsur kohesi atas keanekaragaman suku, budaya, dan bangsa. Kesadaran yang menjadi penjalin erat agar kita tidak berpandangan rasialis, arogan, dan superfisial dalam ranah kebangsaan.

Tapi bagi saya, kesadaran itu juga tidak harus mencerabut hakikat absah untuk mencintai suku, dan juga tanah tempat asal kita berpijak, jernih air sungai tempat kita mandi, dan udara tempat kita menghela nafas. Jika boleh saya istilahkan, ini adalah kesadaran kekampunghalamanan. Tempat mudik bagi perantau, tempat romantik untuk menemukan kembali kesadaran asali diri.

Tulisan ini adalah ibarat syair rindu bagi seorang perantau akan kampung halamannya. Seperti ingin menyatunya sang pencinta dengan kekasihnya. Kangennya sang penggembala dengan aroma kambing dan sapi-sapinya. Akan asap sabut kelapa yang dibakar kala senja. Akan jenis aneka pangan dan buah buahan khas kampungnya.

Barabai, right or wrong is my village. Benar atau salah, ia tetap kampung halaman saya. Cinta tidak menolak kesalahan, apalagi sampai membencinya. Cinta harus bersifat reparatif, memperbaiki, dan terus mendaki puncak keindahan untuk ketentraman hati.

Karena itu, seorang pencinta akan terus berpikir untuk memperbaiki dan memperindah. Mencari solusi atas masalah yang menjala energi kemajuan, yang menghalangi inisitatif dan kreativitas warga, dan yang melemahkan kecerdasan otak pemimpin-pemimpin negeri.

Bagi orang-orang Barabai yang sudah mencapai maqam kesadaran Nasional, mudikkanlah kesadaran Anda untuk membangun daerah. Tuangkanlah segelas air pengetahuan Anda untuk peradaban kampung yang telah membesarkan Anda. Ingat, bukti cinta orang-orang besar adalah, dia senantiasa mewariskan apa-apa yang terbaik untuk orang-orang yang lahir di belakangnya.

Bagi mereka yang jeli melihat kerusakan, perbaikilah. Dan bagi mereka yang kasyaf melihat kekurangan, tambahkanlah. Ini adalah ma’iyah cinta. Di mana kita bersama-sama berkontribusi untuk membangun peradaban atas kesadaran bersama, yaitu cinta. Cinta akan tanah air, cinta akan kampung halaman yang menyusukan pengetahuan dalam darah daging kita, cinta akan orang-orang yang hidup bersama-sama kita.

Berpikir melalui dan dengan Barabai adalah bagian dari berpikir sistemik. Untuk meng-Indonesia, kita harus melalui pintu Barabai. Begitu juga orang lain yang mencintai suku dan daerahnya. Indonesia itu adalah kain, sementara keragaman adalah selera suku bangsa untuk mengejawantahkan kain itu dalam jenis dan fungsinya. Ada yang menjadi baju, celana, kaos dalam, celana dalam, serbet, seprei, sarung, dll. Semua bergerak, berbuat, tetapi dalam rangka kesatuan tujuan, yaitu Indonesia damai, sejahtera, maju, adil dan beradab.

Anggaplah Barabai mengejawantahkan kain itu dalam wujud celana dalam. Tidak jadi masalah, meski terkesan tidak enak, tetap memiliki fungsi. Konsistensi menjalankan fungsinya sebagai celana dalam, itulah ciri bernegara yang baik. Yang jadi masalah adalah, ketika semua daerah ingin menjadi baju. Dapat dipastikan, keseimbangan akan goyah, dan Indonesia akan roboh. NKRI akan pecah.

Sekarang ini, mencintai celana dalam adalah fungsi kita. Kreatif tidaknya kita atasnya akan terlihat sejauh mana celana dalam itu mengalami inovasi, atau bahkan invensi. Jika tidak, berarti ada masalah dalam kepengurusan celana dalam itu. Jangan-jangan ada yang mengkorupsi benangnya, karet pengetatnya, atau ada yang memanipulasinya dengan kualitas murahan, sehingga sering mengalami kerusakan, akibatnya terjadilah pemborosan. Ini namanya pemerintahan celana dalam yang korup.

Tentu saja celana dalam hanyalah ilustrasi. Intinya adalah, melalui Barabai kita memahami kecintaan dalam berbangsa dan bernegara. Di antara berbagai kabupaten dan propinsi, tentu saja ada daerah yang penghasilan daerahnya besar, dan ada juga yang kekayaan alamnya terbatas. Dalam rangka kesatuan, tentu harus ada kebijakan keadilan berbagi rezeki. Bagi daerah seperti Barabai yang terbatas kekayaan alamnya, maka eksplorasi sumber daya manusia sebaiknya lebih diutamakan dari pada eksploitasi atas alam.

Maafkan saya Bapak Ismail Marzuki, bukan Indonesia tanah air beta, tapi Barabai lah tanah air beta. Jika Bapak tanya, mengapa? Jawabnya, ini adalah masalah rasa. Rasa membutuhkan sesuatu untuk menjadi tautan. Ia harus dikonkretisasikan. Barabai lah tautan itu, dan Barabai lah wujud itu. Kalaupun lirik lagu Bapak saya pinjam, itu ketika dihadapkan dengan negara tetangga, atau ketika berada di antara negara-negara di dunia. “Indonesia tanah air beta,” itulah yang akan saya katakan kepada mereka. Fahmi Riady

1 komentar:

  1. Nice Post gan.. !!

    mampir ke tempat saya (bailang ka wadah ulun lah)
    hehehe...

    Sukses..!!

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.