Jumat, 21 Oktober 2011

Pengetahuan adalah Kuasa


Knowledge is power, pengetahuan adalah kuasa, kata Fancis Bacon. Awalnya yang dimaksud Bacon adalah, bahwa pengetahuan empiris itu bersifat fungsional, dapat digunakan untuk memajukan kehidupan manusia. Sementara kuasa, dipahami sebagai kuasa atas alam. Belakangan pernyataan ini tidak hanya bersifat fungsional, berkuasa atas alam, tetapi juga berkuasa atas manusia, negara, dan dunia.

Kalau kita kaji sejarah bagaimana kongsi dagang Belanda, VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) sampai menjajah jazirah Indonesia tahun 1610, tidak dapat diabaikan, di balik itu semua ada peran para ilmuwan. Mereka yang memandu, mulai dari pelayaran, ke daerah mana kapal ditambatkan, sampai bagaimana menundukkan masyarakat pribumi. Pengetahuan benar-benar memberi kekuatan dan kekuasaan.

Sejarah Eropa awalnya diwarnai perjuangan yang sangat keras untuk mengukuhkan pengetahuan selama berabad-abad di bawah bayang-bayang gereja. Hingga terjadi pemberontakan sengit, yang berakhir pada kemenangan pengetahuan atas gereja. Sekularisme adalah istilah yang menjadi bekas tak terbantah untuk menandai bahwa dalam ranah pengetahuan, gereja tidak perlu ikut campur. Akibatnya, dengan kebebasan pengetahuan, Barat sangat maju luar biasa.

Pengetahuan di sini bukan berarti sekedar tahu, tetapi suatu ilmu yang disusun secara sistematis, yang kalau diuji dengan cara yang sama, akan menghasilkan hasil yang sama pula. Sering juga disebut dengan sains. Seperti disebut Bacon, digunakan untuk berkuasa atas alam, karena itu juga disebut dengan natural science.
Dalam bidang natural science, di Indonesia dapat dibilang masih rendah dibanding mereka yang bergelut dalam bidang sosial keagamaan. Bahkan gelar doktor dan guru besar pun, lebih banyak diperoleh oleh mereka yang berpendidikan sosial keagamaan.

Ada memang anak bangsa yang menonjol dan berprestasi dalam bidang sains, tapi itu tidak seberapa. Bahkan kiprah mereka pun tidak begitu kentara. Dominasi ilmuwan-ilmuwan sosial, politik, dan keagamaan sangatlah besar. Mereka merambat di segala bidang, sehingga wacana keseharian bangsa tidak lepas dari ilmu soft science ini.

Politik dapat dikata sebagai biang keladi kenapa sains sulit berkembang. Padahal, jika bangsa ini maju dalam bidang sains, dapat dikata, kita tidak akan kalah dengan bangsa-bangsa lain. Posisi kita pun tidak lagi dikatakan sebagai bangsa berkembang, yang di mata negara-negara maju, sebagai negara miskin yang perlu mendapat bantuan, baik ekonomi ataupun juga ilmu pengetahuan.

Sebab faktor politik, ya, sekali lagi politik. Pendidikan sebagai sarana mencetak anak bangsa yang cerdas tidak terbuka untuk semua orang. Hanya yang mampu saja yang dapat maju dan bersaing untuk mendapatkan ilmu. Memang ada beberapa individu yang dapat mencicipi, dan berhasil, tapi ini tidak dapat dijadikan sandaran generalisir bahwa semua anak Indonesia memiliki peluang yang sama. Kemungkinan ada, tapi kesempatan tidak ada.

Pertikaian politik di negara ini tampaknya sulit untuk berakhir. Kepentingan berkuasa, kemapanan usaha, dan kecurangan, atau apa yang kita kenal dengan korupsi, akan terus berlanjut. Dan itu yang menjadi santapan sehari-hari kita. Bertahun-tahun kita ribut di wilayah ini, sehingga bidang-bidang lain berada pada urutan belakang dari prioritas bernegara.

Kalaupun ada, itu tidak lain hanya sebagai alat untuk memuluskan kepentingan di bidang itu, yaitu kepentingan untuk berkuasa. Jadi, negara ini sebenarnya sudah kelelahan dalam pertikaian yang tampaknya tidak berujung.

Apa perlu kita memodifikasi teori materialisme historis Karl Marx, yaitu menempatkan politik sebagai biang keladi kemunduran bangsa, dengan menjadikan sejarah sebagai perjuangan untuk melumpuhkan politik atau mendudukkannya dalam batas proporsional. Bagaimana caranya, yaitu dengan membentuk gerakan anti partai, dan berjuang melemahkan partai-partai yang ada.

Segenap akademisi, buruh, tani, nelayan, dan semuanya yang anti partai bersatu. Kalau perlu membuat tandingan calon independen yang berhadap-hadapan dengan wakil-wakil partai. Jika kemenangan didapat, arah kebijakan diputar. Kabinet-kabinet tidak perlu lagi diisi oleh orang-orang partai. Tidak ada istilah politik balas jasa, yang ada adalah orang yang tepat di posisi yang tepat, the right man in the right place.

Agenda utama adalah pendidikan dan ekonomi. Bidang pendidikan, jelasnya membuka kesempatan bagi segenap anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Sementara bidang ekonomi, mengembalikan aset bangsa, dan menghentikan semua kerja sama dengan pihak asing terkait eksplorasi alam yang ada di Indonesia.

Besar memang risikonya di mata Internasional. Indonesia bisa bangkrut secara ekonomi. Tapi saya pikir, dengan ditangani oleh ahli-ahli yang kompeten, dan dengan didukung oleh pemerintah yang berani, negara ini akan pulih dan maju. Dana penelitian untuk penemuan-penemuan keilmuan ditingkatkan. Dan negara menjadi pendukung utama untuk mengembangkan hasil-hasil temuan itu.

Saya kira, yang dibutuhkan bangsa kita sekarang ini adalah satu, keberanian. Keberanian untuk mengambil risiko. Kita sebenarnya tidak miskin pakar ekonomi, hanya saja suara mereka tidak begitu kedengaran, dan kalaupun didengar, yang sangat menyedihkan adalah, ternyata pendapat mereka tidak digunakan. Kasihan memang mereka. Fahmi Riady

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.