Minggu, 05 Oktober 2008

al-Qur'an Produk Budaya

Budaya itu sangat luas, ia terkait dengan segala aktivitas manusia. Sehingga jika disederhanakan, semua yang lahir dari cipta, rasa, dan kersa manusia masuk dalam wadah budaya. Apakah ia aktivitas sosial, politik, berbahasa, ekonomi, ritual keagamaan, pendidikan, atau bahkan cara manusia buang hajat pun bisa saja masuk dalam kategori budaya.


Ini sangat kompleks. Karena itu pembicaraan mengenai budaya mengalami ketidaktuntasan. Namun di sisi lain, karena luasnya, apapun aktivitas manusia bisa saja diklaim sebagai budaya. Sehingga wajar kalau Nashr Hamid Abu Zaid mengatakan kalau al-Qur’an itu adalah produk budaya (intaaj tsaqafi). Dia melihat bahwa faktor-faktor yang mendorong lahirnya al-Qur’an adalah aktivitas manusia, yaitu manusia Arab khususnya.

Tesis yang diadzankan oleh Abu Zaid ini tentu saja mendapat sempritan dari mereka yang meyakini kemurnian al-Qur’an. Bagi mereka, al-Qur’an adalah wahyu. Ia murni produk Tuhan yang lepas dari warna budaya. Pernyataan Abu Zaid itu telah melampaui batas. Dengan kata lain dia telah melecehkan al-Qur’an khususnya dan agama Islam pada umumnya.

Dari sudut pandang Abu Zaid, al-Qur’an bukanlah produk hampa budaya. Ia bukan barang yang ujug-ujug diturunkan dari langit. Ia lahir dari proses interaksi, pergesekan, dan pertarungan hidup. Ia terlibat bergumul dalam sejarah. Karenanya ketika al-Qur’an secara berangsur-angsur membumi, penggalan-penggalan peristiwa empiris manusia Arab khususnya, termuat di dalam al-Qur’an. Motif yang menurunkan respons al-Qur’an inilah yang diklaim Abu Zaid sebagai budaya. Maka pada gilirannya jadilah al-Qur’an sebagai produk budaya.

Rumit memang. Segala sesuatu ternyata bisa ditilik dari sudut pandang yang berbeda. Persis ketika kita melihat sebuah gambar ambigu. Ketika dilihat dari satu sisi tampak bagi kita gambar seorang nenek tua. Namun tatkala dilihat dari sudut yang lain, akan kita dapati seorang gadis yang sangat cantik. Mana yang benar. Kedua-duanya benar. Ini masalah psikologis. Sejauh mana pengalaman hidup mengajarkan kita cara memandang, pada stadium itulah capaian kita.

Mereka yang mengklaim bahwa al-Qur’an lepas dari warna budaya juga benar. Mereka melihatnya dari satu segi bahwa Tuhan tidak bisa dipengaruhi oleh budaya apapun. Dia Maha berkehendak. Sehingga apa yang dikehendaki-Nya semuanya terlaksana. Bagi mereka, pernyataan bahwa al-Qur’an itu adalah produk budaya sebenarnya terbalik. Karena faktanya al-Qur’anlah sebenarnya yang memproduksi budaya. Al-Qur’anlah yang mendorong orang untuk menciptakan budaya baru, baik itu berkenaan dengan moralitas, religiusitas, peradaban fisik, mentalitas, dan lain-lain.

Pembaca bisa menyimak bagaimana al-Qur’an yang merupakan produk Tuhan saja bisa ditinjau dari berbagai sudut pandang, apatah lagi sesuatu yang lain yang berawal dari kreasi manusia. Di sini penulis tidak berkehendak menggiring pembaca untuk menyepakati satu di antara dua pendapat. Penulis hanya memperlihatkan bahwa inilah proses berpikir. Selama masih dalam koridor yang ditengarai wajar, maka ini sah-sah saja untuk diserantakan.

Mungkin bagi Abu Zaid, sakralisasi al-Qur’an yang terlalu tinggi menyebabkan sikap kritis umat tertimbun mapan. Sehingga apapun pendapat ulama yang diback up oleh al-Qur’an dianggap suci. Apapun bentuk interpretasi mereka akan dipandang benar. Padahal al-Qur’an memiliki sejarah turunnya sendiri. Jika itu keliru dipahami, maka akan menyebabkan kekeliruan dalam interpretasi. Sejarah yang tidak lain adalah budaya bagi Abu Zaid harus dikaji secara kritis. Ia harus disusun dengan baik agar bertaut satu sama lain. Cara menafsirkan al-Qur’an dengan melepaskan sejarah yang melatarbelakanginya sama dengan melepaskan batang pohon dari akarnya atau teks dari konteksnya.

Al-Qur’an memang memicu lahirnya budaya baru. Tapi sebaliknya budaya yang mendahului al-Qur’an juga menfaktori lahirnya wahyu. Teks al-Qur’an yang terpampang dalam lembaran-lembaran kertas itu harus dikuliti. Ditelaah ulang lagi lapisan-lapisannya. Bergerak jauh ke depan, pendapat-pendapat ulama yang didasarkan atas teks-teks al-Qur’an juga harus dibedah. Dikorek isi perutnya. Sejauh mana pengalamannya dalam berinteraksi dengan al-Qur’an. Domain-domain apa saja yang bergelantung terlibat dalam lapis pemikirannya. Ke mana arah kecenderungannya.

Al-Qur’an sebagai teks suci ketika jatuh ke tangan seorang mufassir sedikit banyak mengalami reduksi. Menciut menyesuaikan diri dengan selera dan keluasan cakupan pengetahuan mufassir. Jika seorang mufassir lingkup pengetahuan dan kecenderungannya dalam bidang hukum, maka produk yang dihasilkannya pun berwarna hukum. Meski itu dipetik dari teks-teks al-Qur’an. Berbeda dengan mereka yang cenderung pada sains. Ayat-ayat al-Qur’an kadang dijadikan pembenar atas penelitian ilmiahnya. Meski jika dilihat dari sudut pandang lain bisa saja ayat itu ditarik dalam wilayah tauhid, moral, atau fiqh.

Lantas bagaimana menyikapinya. Dengarkan dengan baik apa yang dipaparkan Tuhan dalam al-Qur’an. Simak dengan apik apa yang dituturkan ulama mengenai al-Qur’an. Kemudian renungkan. Bertanyalah para diri. Jika diri tak sanggup memberi jawaban, bertanyalah pada orang lain. Jika orang lain jawabannya tidak memuaskan, bertanyalah pada kenyataan. Jika kenyataan tak kunjung menyelesaikan, titipkan saja sama Tuhan. Wallahu a’lam.

1 komentar:

  1. karena anda seorang dosen ulum al-hadits,
    kapan-kapan,,sisipkan juga ya tulisan anda tentang hadits ditinjau dari berbagai aspek.
    Trims

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.