Sabtu, 01 November 2014

DPR Bayangan

DPR terbagi dua. Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang terdiri dari PDIP, PKB, PPP, NasDem dan Hanura, membuat DPR tandingan. Koalisi Merah Putih (KMP) yang notabene resmi dan menguasai seluruh pos-pos jabatan di dewan meradang. Bahkan Mahkamah Agung (MA) kebingungan ketika diminta melantik DPR bayangan.

Ada apa ini?

KMP mungkin tidak sadar, ternyata KIH adalah murid sejati. Saat mereka menggugat kemenangan Jokowi-JK, mereka menerapkan strategi bumi hangus dengan menganggap DPKTb (Daftar Pemilih Khusus Tambahan) sebagai ilegal. Karena ia ada dan menyebar di TPS (Tempat Pemungutan Suara) seluruh Indonesia, maka semua TPS itu dianggap batal. Hangus. Harus diadakan pemilihan ulang. Tapi sayang, MK menolak gugatan.

Nah, strategi itu diramu ulang oleh KIH. Mereka buat DPR bayangan. Keinginan mereka jelas; agar terjadi keributan. Hingga diakomodir keinginan untuk pemilihan ulang. DPR bayangan ini juga sebenarnya sangat membantu Jokowi-JK dan menteri-menterinya. Selama di tubuh DPR ada keributan, "gangguan" KMP terhadap Jokowi-JK akan berkurang.

Apalagi yang paling membosankan bagi para menteri adalah, sikap DPR yang arogan. Main panggil. Ada hal-hal sepele, menteri yang bertanggung jawab dipanggil. Selalu ada yang dipermasalahkan. Ini menghambat kinerja kementerian. Dengan hadirnya DPR bayangan, menteri-menteri akan enjoy melaksanakan aktivitas tanpa adanya panggilan.

Antara lembaga pemerintah (eksekutif) dan DPR (legislatif) sudah jelas berbeda. Setelah jadi presiden dan wakil presiden, (seharusnya) Jokowi-JK tidak lagi bermain politik. Urusan mereka adalah bagaimana melayani rakyat sebaik-baiknya. Sementara DPR, karena memang di situ adalah taman politik, maka politicking menjadi wajar. Bahkan harus. (Semoga saya salah).

Tukang Tusuk Sate

Ada lagi berita; tukang tusuk sate ditangkap polisi. Khabarnya karena menghina presiden. Gambar adegan porno dieditnya, diganti dengan wajah pimpinan negara, kemudian dipublikasikan. Ada orang yang tidak terima, lantas dilaporkan. Polisi bergerak cepat. Tukang tusuk sate pun ditangkap.

Orang ramai berkomentar. Orde baru jilid dua ada di hadapan. Padahal 10 tahun pascaorba, SBY menerima bergerobak-gerobak kritikan dan hinaan; tapi tak satu pun pelakunya dipenjarakan. SBY hanya mengeluh. Mengelus dada. Berbeda dengan presiden Jokowi, baru berbilang hari, sudah menelan korban. Tukang tusuk sate dihotelprodeokan.

Kita semua tidak suka kesewenang-wenangan. Kritik tidak boleh dikekang. Akibatnya bisa berbahaya. Jika saluran mampet, akan terjadi gumpalan. Setiap saat bisa saja meletup; atau bahkan meledak. Demokrasi harus berlapang-lapang. Semua orang dimanusiakan. Ada hak untuk bicara dan ada kewajiban untuk mendengarkan. Tidak boleh ada tiran. Itu suatu kezhaliman.

Sayang, tukang tusuk sate salah mengartikan kebebasan. Dia mungkin tidak merenungi kaidah: حرية المرء محدودة بحرية غيره ; "kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain." Semua orang tidak suka dihina. Orang ingin terbebas dari perlakuan ini. Maka bukan hanya di Indonesia, di negara Barat yang liberal itu pun hak untuk bebas dari penghinaan dilindungi. Karena itu ada perbedaan tajam antara mengkritik (criticism) dan menghina (insult).

Mengkritik itu boleh. Bahkan diperlukan. Tapi menghina, ancamannya adalah kurungan. Menghina itu jelas, sumbernya adalah kebencian. Sementara kritik, didasari oleh keinginan untuk suatu perbaikan. Karena benci, maka yang kita serang adalah pribadinya. Berbeda dengan kritik, kita melakukan evaluasi atas ucapan atau tindakannya. Tukang tusuk sate tahunya dia bebas melakukan apa saja, tanpa berempati pada hak orang untuk bebas dari penghinaan. Wallahu A'lam.

Nyentrik, Perokok, dan Tatoan

Ramai gunjing tentang menteri perempuan yang merokok. Banyak yang menyesalkan, tidak sedikit yang menghujat. Bukan hanya nyentrik, tapi menjijikkan. Malu anak bangsa ini. Di mana harus meletakkan muka. Tidak adakah yang lebih sopan, cerdas, dan elegan? Ada apa ini? Apakah dunia sudah tengkurap? Menteri perokok, tatoan, malah diharapkan jadi pahlawan.

Tunggu dulu. Jangan-jangan menteri itu jelmaan Nabi Khidir. Setelah Musa kini kita yang diujinya. Baru berapa jam setelah pengumuman kabinet sudah banyak yang jatuh. Ketidaksabaran menelan kita. Carut kata tak dapat kita tahan. Baru melihat sepintas seperti berumur-umur kita mengenalnya. Ada apa dengan kita? Bukan malaikat, bukan Tuhan, kita berani menasbihkan diri fauqa kulli dzi 'ilmin.

Toh ayat konstitusi tidak melarang perempuan merokok. Ahli agama saja tidak karuan keputusannya. Apa beda laki-laki dan perempuan? Apakah karena laki-laki yang menkonstruk budaya sehingga perempuan diharamkan merokok? Kita telah merancukan antara etika dan etiket. Perempuan merokok itu wilayah etika apa etiket? Tidak ma'ruf dalam etiket bukan berarti salah dalam etika.

Tapi menteri perempuan itu menjijikkan. Merusak mental bangsa. Melemahkan girah bersekolah. Namanya tidak patut dihafal. Naudzubillah.

Bukannya orientasi kita sekolah adalah kebendaan? Bu menteri sudah membuktikan, "if you want to be rich and happy, don't go to school." Tidakkah kita memperhatikan apa yang dijual oleh motivator-motivator itu. Impian menjadi kaya dan bahagia. Benda, benda, dan benda. Sekarang kenapa kita malah menjadi munafik. Kenapa kita hanya melihat rokok dan tatonya?

Sudahlah. Berbaik sangka saja. Siapa tau dia benar-benar jelmaan Nabi Khidir. Ingat, kekhidiran tidak mengenal seks. Itu hanya wadag. Dia bisa menjelma dalam berbagai rupa: germo, anak punk, pelacur, gembel, dll. Masalahnya tidak terletak pada Khidirnya, tapi pada Musanya. Kita telah diuji. Apa putusan sikap dan polah kita. Tidak sukakah kita diberi khabar gembira oleh Tuhan karena mampu bersabar? Wallahu A'lam.

Suro

Khabarnya (bhs Arab khabr: bisa salah/benar), sebelum abad ke-17 masyarakat Jawa masih menggunakan sistem penanggalan Saka (India) yang dimulai sejak 78 Masehi. Awal bulan disebut Srawanamasa bertepatan dengan bulan Juli dalam Masehi. Kedua Bhadrawadamasa, sama dengan bulan Agustus, dst.

Baru pada abad ke-17, raja Jawa, Sultan Agung (w. 1645 M) memadukannya dengan sistem penanggalan Arab (Islam) sehingga menjadi tahun Saka-Hijri (lunar). Menariknya, untuk awal bulan, masyarakat Jawa tidak menyebutnya dengan Muharram, tapi Suro. Diambil dari kata Asyura, hari ke-10 di bulan Muharram yang bertepatan dengan terbunuhnya Husain putra Ali, cucu Nabi.

Mungkin, sekitar abad ke-15, 16, 17, dst., Islam Parsi (Iran) dominan di Jawa. Terbukti banyak istilah-istilah Parsi yang diadopsi dalam bahasa Indonesia. Biasanya kata yang berakhiran ta marbutah dalam bahasa Parsi menjadi ta maftuhah, seperti; hikmah menjadi hikmat; ayah jadi ayat; iradah jadi iradat; alamah jadi alamat, musyawarah jadi musyawarat, dst.

Bulan berikutnya dalam tahun Saka-Hijri adalah Sapar (Safar), Mulud (Rabi'u al-Awwal, Nabi Muhammad lahir), Bakdomulud (Rabi'u al-Tsani), Jumadilawal (Jumada al-Ula), Jumadilakhir (Jumada al-Akhirah), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sy'aban). Ruwah atau arwah (roh) dipercaya sebagai bulan baik untuk berdoa bagi para arwah; Poso (Ramadhan), Sawal (Syawwal), Selo (Dzu al-Qa'dah), ada di sela-sela antara dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), Besar (Dzu al-Hijjah), hari raya kurban.

Bulan Suro (Muharram) dianggap sebagai bulan keramat. Bukan hanya di tanah Jawa, bahkan di dunia Islam. Dalam literatur-literatur Arab banyak cerita mengenai kekeramatan bulan Suro. Bahkan khabarnya pada tanggal 10 Asyura Nabi berpuasa. Tapi ditegur Sahabat. Bahwa itu adalah tradisi Yahudi dan Kristen. Mengetahui perihal itu, Nabi bukan menghapusnya, malah mencari tanggal yang tepat buat umat Islam. Kemudian ditetapkanlah tanggal 9 Suro untuk berpuasa. Sayang, belum sampai di bulan itu, Nabi meninggal. Wallahu A'lam.

Sudjiwo Tedjo: Penabian Mematikan Nalar

"Pemimpin tangan besi mematikan nyali, tapi pemimpin yang dinabikan mematikan nalar;" demikian kata Sudjiwo Tedjo. Ada rasa getir dan kecewa di balik ungkapan ini. Khabarnya ditujukan pada tiga pihak: 1). presiden (Jokowi); 2). wartawan; dan 3). rakyat pendukung presiden. Ketiga-tiganya memuakkan.

Tedjo adalah budayawan cerdas. Orang-orang tahu itu. Tapi menempatkan wartawan dan "rakyat" sebagai para penabi Jokowi, tentu sangat berlebihan. Tedjo sangat tahu bagaimana karakter wartawan. Ke mana kesetiaan mereka; pada profesi kah, bos pemilik modal kah, atau kepada masyarakat kah? Sejak zaman dahulu sudah dapat dibaca.

Juga "rakyat." Keberpihakan mereka pada Jokowi tidak mesti dimaknai sebagai bentuk penabian. Walau itu akibat bius wartawan. Semenjak Jokowi jadi Gubernur sudah ada gejala pengelompokan. Apalagi saat kampanye presiden. Sebenarnya setali tiga uang, mereka yang mendukung Prabowo pun berpolah demikian. Hanya semacam gejala ashabiyyah, bukan penabian.

Rakyat pendukung Jokowi tentu bukanlah orang-orang bodoh. Nalar mereka juga tidak mati. Mereka menyadari kalau Jokowi memiliki banyak kekurangan. Bahkan sangat tidak layak untuk dinabikan. Masalahnya, pembelaan mati-matian mereka pada Jokowi tidak lepas dari kritik-kritik bodoh (malah ad hominem) yang sering dibuat oleh lawan. Saya kira, para pendukung Jokowi dapat menghargai kritik keras seperti yang dilakukan Kwik Kian Gie (kader senior PDIP) sewaktu acara ILC dalam tema "mencari menteri yang bersih."

Ungkapan Tedjo saya kira tidak lebih dari sekedar memuaskan libido kebuyawanannya saja. Dia sangat tahu itu. Kita saja yang menanggapinya berlebihan (seakan-akan suatu kebenaran). Maka adalah lebih baik menurut saya melakukan kritik dengan cara yang elegan, tidak bombastis, penuh dengan evidence yang kuat, terstruktur, sistematis, dan disajikan dalam ungkapan-ungkapan yang mudah dipahami. Kalau hanya sekedar teriak, semua orang saya yakin bisa. Bahkan anak bayi. Wallahu A'lam.

Amoral dan Carut-Marut

Amoral dan carut-marut; dua kata ini sering kita temui. Lebih-lebih kata kedua. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), amoral diartikan sebagai tidak bermoral, tidak berakhlak. Padahal kalau kita cek dalam kamus Inggris, amoral artinya "lying outside the sphere of morals, neither moral nor immoral." Di luar masalah moral. Kalaupun dimaksudkan sebagai lawan moral (bermoral); yang benar adalah immoral; "against moral principles, unethical, wrong; corrupt, unprincipled, depraved."

Apa alasan pembuat KBBI menempatkan kata amoral sebagai lawan moral, tidak saya temui. Mungkin saja oleh pembuat KBBI kata itu tidak diambil dari khazanah Inggris, tapi dari bahasa lain. Atau karena asyik dan nikmat didengar serta sudah memasyarakat, akhirnya diambillah ia sebagai kata antonim dari moral. Sementara kata yang tepat, imoral (versi Inggrisnya; immoral), tidak dihiraukan. Terbukti tidak dimuat dalam KBBI.

Kemudian carut-marut. Dalam KBBI kata ini adalah kata benda, artinya; bermacam-macam perkataan yang keji; atau segala coreng-moreng. Dari kata carut, yang artinya keji, kotor, cabul (tt. perkataan). Anehnya, sering kita temukan orang-orang menggunakan kata carut-marut sebagai kata sifat dalam arti kusut, kacau, tidak karuan. Lebih-lebih dalam membuat status atau komentar di sosmed (Social Media).

Sekali lagi memang aneh pembuat KBBI kita. Entah apa alasannya. Mereka memiliki ungkapan sendiri untuk arti kusut, kacau, dan tidak karuan; yaitu karut-marut. Maka kalau kita ingin menulis sesuai aturan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tulislah karut-marut. Bukan carut-marut. Mungkin, sekali lagi ini mungkin. Karena petinggi-petinggi kita dulu orang terpelajar dan hebat bahasa Inggrisnya, mereka mengikuti logat Inggris yang sulit mengeja carut-marut. Coba kita minta Cinta Laura mengucapkan kata carut-marut, apa katanya: KARUT-MARUT.

Kasihan Aa Gym

Kasihan Aa Gym; mau mengingatkan malah dibully habis-habisan. Aa belum bisa menangkap bahwa gelombang perubahan terjadi begitu cepat. Masyarakat tidak lagi serupa ketika Aa masih berjaya. Mereka sudah pandai membaca. Salah memilih kata, fatal akibatnya. Psikologi massa tidak bisa diukur secara apriori, hanya melalui pengalaman pribadi.

Maksud Aa mungkin baik. Hanya mengingatkan. Tapi masyarakat menangkapnya sebagai nasehat salah sasaran. Jokowi menurut mereka tidak berhura-hura. Masyarakat yang berpesta. Mereka swasembada. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Karena semua berasal dari rakyat, tidak pas kritik itu dialamatkan kepada Jokowi. Dia hanya sebagai presiden baru yang terfetakompli (fait accompli).

Apalagi masyarakat masih memiliki detail-detail ingatan. Aa Gym termasuk yang menolak Jokowi. Mengharamkan kepemimpinan Ahok. Dan (ditarik lebih jauh ke belakang) sebagai ustad yang ribut dengan istri gara-gara poligami. Akhirnya semua ingatan itu keluar. Dijadikan amunisi menyerang Aa. Seandainya Aa Gym membaca, pasti sedih hatinya. Ada apa dengan mereka?

Dulu tahun 80-an Rhoma Irama menciptakan lagu yang menarik sekali, judulnya: Lari Pagi. Kata Bang Haji: "Lari pagi memang perlu, tapi jangan lupa subuh, ah ah ah, sembahyang dulu." Seandainya Aa hanya mengatakan, okelah kalau kalian menghendaki pesta. Hura-hura (kata-kata ini mungkin tidak tepat juga). Tapi kalau sudah masuk waktu sembahyang, sembahyanglah dulu. Mungkin ungkapan begini tidak akan memicu reaksi berlebihan. Wallahu A'lam.