Sabtu, 01 November 2014

Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat

Sudah benar bapak bangsa kita menempatkan hikmat sebagai pemimpin bagi kerakyatan Indonesia (sila ke-4). Tidak pada manusianya. Sayang banyak orang tidak memahaminya. Dalam permusyawaratan perwakilan tidak ada lagi kebijaksanaan. Yang ada adalah perebutan kekuasaan. Apa yang dianggap baik itulah hikmat bagi mereka. Dengan kekuatan kuasa kemudian dijejalkan.

Ingat, hikmat itu diraih dengan cinta. Cinta kepada rakyat Indonesia. Nafsu berkuasa tidak akan ada habisnya. Malah akan terus mendatangkan perkelahian. Masing-masing pihak akan mengklaim diri sebagai Pandawa. Menuntut hak pada Kurawa. Hingga menggiring bangsa ini pada perang saudara di Kurusetra.

Tidak adakah entri Keluarga Cemara dalam kamus perpolitikan Indonesia? Mengesampingkan perbedaan. Menempatkan cinta demi kehidupan bersama. Kebenaran tidak lagi ditakar dari sumbernya. Tapi sejauh mana ia betul-betul memberi kehidupan bagi seluruh rakyat Indonesia. Al-hikmah dhaallatul mu'min. Di mana pun ia ditemukan, ambil saja.

Sengketa UU Pilkada adalah masalah kecil. Yang lebih berbahaya adalah mentalitas manusianya. Selama masih memendam kebencian, akan ada terus pertikaian. Rasionalitas akan menjadi senjata mengerikan. Menjadi selang-selang hasrat untuk mengalahkan atau malah membinasakan. Dan yang amat disayangkan, masyarakat Indonesia ikut hanyut dalam kebodohan. Mengapa tidak duduk saja; merokok, ngopi dan makan gorengan. Menganggap semua itu hanya sebagai dagelan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.