Sabtu, 01 November 2014

Tukang Tusuk Sate

Ada lagi berita; tukang tusuk sate ditangkap polisi. Khabarnya karena menghina presiden. Gambar adegan porno dieditnya, diganti dengan wajah pimpinan negara, kemudian dipublikasikan. Ada orang yang tidak terima, lantas dilaporkan. Polisi bergerak cepat. Tukang tusuk sate pun ditangkap.

Orang ramai berkomentar. Orde baru jilid dua ada di hadapan. Padahal 10 tahun pascaorba, SBY menerima bergerobak-gerobak kritikan dan hinaan; tapi tak satu pun pelakunya dipenjarakan. SBY hanya mengeluh. Mengelus dada. Berbeda dengan presiden Jokowi, baru berbilang hari, sudah menelan korban. Tukang tusuk sate dihotelprodeokan.

Kita semua tidak suka kesewenang-wenangan. Kritik tidak boleh dikekang. Akibatnya bisa berbahaya. Jika saluran mampet, akan terjadi gumpalan. Setiap saat bisa saja meletup; atau bahkan meledak. Demokrasi harus berlapang-lapang. Semua orang dimanusiakan. Ada hak untuk bicara dan ada kewajiban untuk mendengarkan. Tidak boleh ada tiran. Itu suatu kezhaliman.

Sayang, tukang tusuk sate salah mengartikan kebebasan. Dia mungkin tidak merenungi kaidah: حرية المرء محدودة بحرية غيره ; "kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain." Semua orang tidak suka dihina. Orang ingin terbebas dari perlakuan ini. Maka bukan hanya di Indonesia, di negara Barat yang liberal itu pun hak untuk bebas dari penghinaan dilindungi. Karena itu ada perbedaan tajam antara mengkritik (criticism) dan menghina (insult).

Mengkritik itu boleh. Bahkan diperlukan. Tapi menghina, ancamannya adalah kurungan. Menghina itu jelas, sumbernya adalah kebencian. Sementara kritik, didasari oleh keinginan untuk suatu perbaikan. Karena benci, maka yang kita serang adalah pribadinya. Berbeda dengan kritik, kita melakukan evaluasi atas ucapan atau tindakannya. Tukang tusuk sate tahunya dia bebas melakukan apa saja, tanpa berempati pada hak orang untuk bebas dari penghinaan. Wallahu A'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.