Sabtu, 01 November 2014

Nyentrik, Perokok, dan Tatoan

Ramai gunjing tentang menteri perempuan yang merokok. Banyak yang menyesalkan, tidak sedikit yang menghujat. Bukan hanya nyentrik, tapi menjijikkan. Malu anak bangsa ini. Di mana harus meletakkan muka. Tidak adakah yang lebih sopan, cerdas, dan elegan? Ada apa ini? Apakah dunia sudah tengkurap? Menteri perokok, tatoan, malah diharapkan jadi pahlawan.

Tunggu dulu. Jangan-jangan menteri itu jelmaan Nabi Khidir. Setelah Musa kini kita yang diujinya. Baru berapa jam setelah pengumuman kabinet sudah banyak yang jatuh. Ketidaksabaran menelan kita. Carut kata tak dapat kita tahan. Baru melihat sepintas seperti berumur-umur kita mengenalnya. Ada apa dengan kita? Bukan malaikat, bukan Tuhan, kita berani menasbihkan diri fauqa kulli dzi 'ilmin.

Toh ayat konstitusi tidak melarang perempuan merokok. Ahli agama saja tidak karuan keputusannya. Apa beda laki-laki dan perempuan? Apakah karena laki-laki yang menkonstruk budaya sehingga perempuan diharamkan merokok? Kita telah merancukan antara etika dan etiket. Perempuan merokok itu wilayah etika apa etiket? Tidak ma'ruf dalam etiket bukan berarti salah dalam etika.

Tapi menteri perempuan itu menjijikkan. Merusak mental bangsa. Melemahkan girah bersekolah. Namanya tidak patut dihafal. Naudzubillah.

Bukannya orientasi kita sekolah adalah kebendaan? Bu menteri sudah membuktikan, "if you want to be rich and happy, don't go to school." Tidakkah kita memperhatikan apa yang dijual oleh motivator-motivator itu. Impian menjadi kaya dan bahagia. Benda, benda, dan benda. Sekarang kenapa kita malah menjadi munafik. Kenapa kita hanya melihat rokok dan tatonya?

Sudahlah. Berbaik sangka saja. Siapa tau dia benar-benar jelmaan Nabi Khidir. Ingat, kekhidiran tidak mengenal seks. Itu hanya wadag. Dia bisa menjelma dalam berbagai rupa: germo, anak punk, pelacur, gembel, dll. Masalahnya tidak terletak pada Khidirnya, tapi pada Musanya. Kita telah diuji. Apa putusan sikap dan polah kita. Tidak sukakah kita diberi khabar gembira oleh Tuhan karena mampu bersabar? Wallahu A'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.