Minggu, 10 Agustus 2008

Aktualisasi Pesan-pesan Keagamaan

Menurut cerita yang populer di kalangan organisasi Muhammadiyah, kiyai Ahmad Dahlan pernah mengajarkan kepada santri-santrinya surah al-ma’uun selama bertahun-tahun, sehingga menimbulkan kebosanan di kalangan santri. Mereka ingin sang Kiyai mengajarkan tafsir atas ayat-ayat yang lainnya. Namun sang kiyai tetap tidak beranjak dari surah yang satu itu. Menilik gelagat malas yang mengendap dalam bilik hati para santri, beliau kemudian mengatakan, bahwa sudahkah kiranya para santri menghayati secara mendalam teologi al-mau’un itu. Sudahkan dari pengalaman internalisasi itu melahirkan aplikasi nyata yang benar-benar dapat dirasakan orang banyak.


Berangkat dari pecutan sang guru inilah mungkin pemikir-pemikir tangguh Muhammadiyah mempraktikkan agama dengan bukti nyata, yaitu dapat dirasakan oleh sekian banyak orang. Dalam menanggulangi kesehatan masyarakat, Muhammadiyah mendirikan rumah sakit-rumah sakit. Untuk menangani anak yatim dan kaum papa yang terlantar, mereka mendirikan panti asuhan-panti asuhan. Untuk turut mencerdasakan kehidupan bangsa, mereka mendirikan sarana-sanana pendidikan dari tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Dan untuk berpartisipasi meningkatkan standar ekonomi masyarakat, mereka mendirikan perbankan dengan sistem Islami. Tidak sampai di situ saja, para pemikir Muhammadiyah juga gigih berjuang membebaskan masyarakat dari kungkungan pikir yang tidak Islami, seperti takhayul, bid’ah dan khurafat.

Tapi entah sekarang, tampaknya daya sengat Muhammadiyah tidak setajam dulu lagi. Karena mungkin perputaran generasi dan kondisi menyebabkan terjadinya perputaran motivasi dan aksi.

Kisah tersebut di atas sebenarnya hanya penulis jadikan rangsangan agar umat mau menoleh kembali dan mereguk kembali semangat beragama yang dimiliki oleh generasi-generasi terdahulu.

Akhir-akhir ini kita sering mendapatkan sajian-sajian wacana yang menggairahkan dalam beragama tapi sempit aksi dan makna. Kita sering ditaburi oleh pemikiran-pemikiran liar yang logis, tapi tetap berdiri tegak di tempat seperti tiang bendera. Artinya, yang kita butuhkan sekarang ini adalah aksi, bukan sekedar konsepsi. Kita sudah terlalu banyak menelan banyak ramuan pemikiran tentang bagaimana hidup beragama yang baik, tapi nyatanya tak banyak terlihat bagaimana efek positif yang ditimbulkan oleh ramuan tersebut.

Dalam bidang politik, kita menyaksikan bagaimana laku politisi Islam saling sikut untuk memperoleh kekuasaan. Dalam budaya, tradisi santun ketimuran nyaris lumat tertindih oleh jarahan pola pikir dan tingkah kebarat-baratan. Dalam ekonomi, Islam hampir babak belur dipukul oleh kecurangan pengelolanya. Apatah lagi dalam bidang agama, tidak hanya dalam pemikiran, bahkan dalam aplikasinya, sikap agresif tak jarang mewarnai dan membasahi bumi nusantara ini.

Salah satu masalah rumit yang sulit direngkuh oleh umat Islam di Indonesia adalah, ketidakmampuan untuk bergandeng tangan membangun peradaban bersama-sama. Kesulitan ini tampak dari amburadulnya bangunan politik, budaya, ekonomi dan organisasi keagamaan yang dibangun oleh umat.

Sungguh sangat banyak sekali visi luar biasa yang akan kita raih jika kita mau dan mampu membangun kebersamaan. Misal dalam perekonomian. Sekiranya saja ada tujuh juta masyarakat muslim yang mampu memberikan subsidi secara rutin untuk menghidupkan perbankan Islam, maka jika satu orang saja dalam seharinya mampu memberikan lima ribu rupiah, tentu akan kita dapatkan dana segar sebanyak tigapuluh lima milyar setiap harinya. Dengan dana sebegitu banyak, jika dikelola dengan baik, maka saya yakin masyarakat muslim yang miskin akan turut tersejahterakan.

Dalam politik, dengan terlebih dulu menyisihkan pemahaman yang kurang krusial, sekiranya kebersamaan itu tetap bisa dipertahankan, maka saya yakin bukan hanya sistem perpolitikan saja yang mapan, tapi juga setiap suksesi kekuasaan akan terus memberikan perubahan-perubahan yang sangat berarti. Umat boleh saja menyelinap dan masuk ke bilik-bilik partai yang berbeda, tapi out put-nya terdiri dari pribadi-pribadi yang kompeten dan kredibel. Sehingga dengan begini visi keislaman akan tetap bisa tercapai.

Dalam budaya, jika semua pihak memiliki kesadaran nilai sosial yang baik, maka tentu jaring-jaring ini memberikan kontribusi yang sangat berarti. Misalkan, mulai dari tokoh-tokoh panutannya, baik kalangan selebritis, politisi, agamawan, seniman, pendidik, budayawan dan lain sebagainya turut melantunkan sikap teladan yang baik, maka iringan pengikut yang berjejer di belakang mereka pun akan turut tertularkan. Juga tentunya ini mesti didukung oleh para pengrajin berita agar teladan moralitas itu mudah tersebarkan. Menahan diri untuk tidak berlaku egois-kapitalis tentu akan turut memberi andil merebaknya info-info yang objektif dan mencerahkan. Sehingga atmosfer wacana yang terjadi adalah bagaimana keteladanan tercipta pada setiap individu, juga tentunya bagaimana Islam betul-betul menjadi rahmat untuk semua.

Tidak hanya pada domain tersebut di atas saja kebersamaan bisa tercipta, tapi juga pada domain-domain yang lainya, seperti pendidikan, keberagamaan, sosial, dan seterusnya. Tandasnya, yang kita butuhkan sekarang ini adalah aksi dan aksi. Sebagaimana yang disabdakan oleh nabi, bahwa berpikir sejenak lebih baik dari beribadah selama setahun lamanya. Dan tentunya, berpikir itu saja tidak akan menuai arti jika tidak dibarengi dengan aksi. Sebagaimana Kiayi Ahmad Dahlan menekankan aktualisasi surah al-ma’un pada para santri-santrinya, maka dengan menerapkan seluruh petunjuk al-Qur’an dan al-hadis, adalah juga merupakan tafsir atas ucapan shalawat dan salam yang sering kita haturkan kepada para nabi. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.