Kamis, 14 Agustus 2008

Bentengi Diri dari Penyakit “Kada Balampu”

Dalam tradisi orang banjar, suatu tindakan nekat yang tidak mempertimbangkan kemungkinan akibatnya diistilahkan dengan “kada balampu.” Ibarat orang naik kendaraan, jika yang dimiliki si pengendara hanya kesadaraan untuk menarik gas dan melupakan kesadaran untuk mengerem, maka si pengendara itu disebut dengan orang yang “kada balampu.” Semua hal, baik itu yang membahayakan diri atau juga orang lain, jika selalu saja ditabrak, maka si pelakunya masuk dalam kategori ini. Sehingga jika diprosentasikan, kemungkinan sukses tidaknya suatu masalah jika diserahkan pada orang yang “kada balampu” adalah sepuluh berbanding sembilan puluh. Tandasnya, lebih banyak ruginya tinimbang untungnya.


Inilah mengapa kita di dalam hidup senantiasa membutuhkan aturan-aturan yang selalu ditaati. Karena dengan aturan tersebut, bukan hanya diri kita yang dapat terselamatkan, bahkan orang lain yang kena imbas dari kenekatan kita juga terlindungi. Seperti halnya di perempatan jalan, jika semua pengendara menurutkan hawa nafsunya, maka yang terjadi adalah benturan tabrakan bertubi-tubi. Maka dari itu, untuk mengatasi kecelakaan yang demikian, dibuatlah aturan dengan pemasangan lampu lalu lintas. Jika masih saja ada orang yang nekat menerobos lampu merah, maka wajiblah dia dikenakan sanksi.

Sampai di sini bolehlah kita mengatakan bahwa hidup itu adalah kebebasan yang terbatas. Artinya, meskipun kita bebas berbuat segala sesuatunya, tetapi kita juga terbatasi oleh kebebasan yang dimiliki oleh orang lain. Sekelompok orang boleh saja memasang pengeras suara di ubun-ubun masjid, kemudian secara berjama’ah mereka berdzikir sambil menyalurkan lantunan dzikir itu via pengeras suara hingga terdengar ke mana-mana. Tapi jika itu dilakukan di malam hari, di saat-saat orang lain membutuhkan kebebasan dari segala gangguan kebisingan agar tidur lebih khusyu, maka kebebasan atas nama agama itu juga tetap tidak diperkenankan.

Masalahnya, di antara kita masih terdapat pribadi-pribadi “kada balampu” yang berpikiran, asalkan apa yang mereka perbuat didasarkan atas agama, maka hal itu boleh-boleh saja dilakukan, kapanpun dan di manapun. Sehingga jika ada orang yang menegur atau memberi saran pada mereka, maka dipandanglah sebagai orang yang anti agama. Ini adalah salah satu tragedi yang memilukan dalam beragama. Orang-orang dengan sekehendak hati memandang benar apa yang dipahaminya tanpa mengindahkan pemahaman yang dimiliki oleh orang lain. Orang-orang dengan seenaknya menghujat kelompok lain dengan sematan gelar yang menyakitkan tanpa pernah menimbang perasaan orang atau kelompok yang dihujat.

Agama memiliki aturan-aturan sendiri bagaimana seseorang semestinya berbuat. Meski apa yang disampaikan itu benar, tetap saja tidak dibenarkan untuk melampaui batas. Nabi Muhammad, melalui “bisikan” Allah, tahu betul bagaimana hakikat orang-orang munafik yang berada di sekitarnya. Tapi meski begitu, beliau tetap saja bersikap ramah. Sifat sukar marah, mudah memaafkan, dan penuh pertimbangan membentengi beliau untuk bersikap melampaui batas, baik itu dengan cara mengusir seluruh orang munafik dari kota Madinah atau dengan memerangi mereka hingga tuntas.

Nah, orang “kada balampu” sebenarnya adalah rayap di tubuh umat. Jika terus dibiarkan tanpa diberi arahan, maka dia bisa membocorkan dan menenggelamkan kapal Islam yang sedang kita tumpangi. Kadang penyakit “kada balampu” ini hinggap di tubuh orang-orang yang kurang pemahamannya tentang agama, tapi sangat antusias dalam mengamalkan agama. Atau bisa saja orang itu paham betul tentang agama, tapi kontrol emosinya kurang. Sehingga seberapa pun tingginya ajaran moral yang diberikan agama, tetap saja tidak mempan terhadap keliaran emosinya. Karena itu ada baiknya orang-orang seperti ini menahan diri terlebih dahulu untuk mengkhotbahkan ajaran agama, karena di samping dia tidak mampu menjadi teladan yang baik, dia juga bisa menjadi bara yang menyulut kemarahan jama’ah untuk bertindak anarki kepada kelompok lain.

Al-Qur’an sering memberikan anjuran kepada pembacanya agar merenung, berpikir, dan mengambil ibrah dari setiap kejadian. Semuanya dimaksudkan agar orang itu tercerahkan atau terlampui. Sehingga kegelapan yang menyelimuti jaring otak dan hatinya hilang. Pada gilirannya pikiran jernihpun mengalir dengan derasnya. Jika orang sudah bisa berpikir dengan jernih, maka tidak ada lagi tindakan “kada balampu” yang sering merugikan dirinya juga orang lain.

Nabi mengajarkan pada kita agar tidak merugikan diri sendiri juga orang lain. Tentu hal ini memiliki maksud yang besar. Tandasnya, dengan menghindari laku demikian, hidup kita akan aman dan nyaman, sehingga usaha untuk memenuhi kebutuhan diri dan juga kebutuhan orang banyak mudah tercapai. Masalahnya dewasa ini kita terus-terusan dibanjiri oleh orang-orang yang tidak punya hati, sehingga tega melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Negara kita ini bangkrut karena terlalu banyak raja tega yang menjadi benalu dalam kepengurusannya.

Jika memang agama tidak memiliki akses sepenuhnya dalam mengatur negara kita ini, maka aturan yang dibuat oleh manusia setidaknya menjadi pecut penjera dalam menertibkan lalu lintas orang-orang “kada balampu.” Penjara, bilangan hukuman yang banyak, dan ancaman hukuman mati mungkin bisa menjadi obat penawar bagi si raja tega yang tidak kapok-kapoknya merugikan orang banyak.

Sebagai negara Asia yang memiliki jumlah pemeluk Islam terbanyak di dunia, Indonesia selaiknya menjadi contoh yang baik dalam hal berbangsa dan bernegara. Karenanya moralitas yang diajarkan oleh agama selaiknya ditonjolkan sekuat-kuatnya. Agama, terutama ajaran moralnya, tidak boleh dilepaskan begitu saja dari domain-domain kehidupan. Apakah itu politik, ekonomi, budaya, pendidikan, kehidupan sosial dan lain-lain, semuanya mesti termoralkan. Kalau tidak, maka orang-orang yang mengisi semua wilayah itu tidak akan lepas dari penyakit “kada balampu,” yang pada akhirnya bisa menghantarkan bangsa ini ke tepi jurang dan mendorong semua penghuninya jatuh tenggelam ke dasar kehinaan.Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.