Selasa, 19 Agustus 2008

Yas’aluuni ‘an Gender

Yas’aluuni ‘an gender. Mereka bertanya tentang gender. Saya jawab gender itu adalah konstruksi manusia. Ia adalah wilayah interpretasi atas peran laki-laki dan perempuan dalam memaknai hidup. Ia adalah ciptaan kesadaraan diri dan kelompok dalam pemilahan lapangan kerja atas kapasitas biologis yang melekat pada masing-masing pihak.

Secara biologis, kodrati seks yang melekat pada laki-laki dan perempuan adalah otoritas Tuhan. Kepemilikan perangkat-perangkat seksual seperti penis pada laki-laki dan vagina pada perempuan bukan hak prerogatif manusia untuk menentukan. Tapi bangunan interpretasi atas peran yang dimainkan oleh kedua belah pihak menunjuk adanya intervensi kuat manusia dalam suatu lokalitas.

Ketika seorang bayi perempuan lahir, maka atribut feminitas yang menyertainya pun mulai ditambahkan. Nama-nama seperti Safna, Mira, Aryanti dan lain-lain tak bisa dilekatkan pada sembarang jenis. Ia khas untuk manusia yang memiliki jenis kelamin v. Begitu pula dengan atribut yang lain, seperti jenis baju, barang mainan, pemberian tanda, juga bentuk ritual, semuanya memiliki perbedaan tersendiri. Sehingga dalam perkembangannya, masing-masing pihak memiliki paradigma sendiri-sendiri sebagai seorang manusia.

Jika ada seorang laki-laki bertingkah selaiknya perempuan dengan mengenakan atribut-atribut yang menjadi tradisi kewanitaan, maka dia masuk dalam kategori ketiga, yaitu banci. Penamaan banci pada seorang laki-laki yang berusaha melepaskan atribut kelaki-lakiannya adalah konstruksi masyarakat. Ia bukan ciptaan Tuhan. Tuhan telah memberikan karakter biologis yang asli, yaitu laki-laki. Tapi karena kesadaran dirinya ingin melepaskan perangkat seks tersebut dengan menampilkan peran perempuan yang sudah dikonstruk masyarakat, maka sematan banci pun melekat padanya.

Jelasnya seks adalah pembendaan jenis kelamin dalam hal karakter biologis. Sedang gender adalah konstruksi peran yang telah mentradisi atas dasar karakter seks. Jika arsitek seks adalah Tuhan, maka arsitek gender adalah manusia. Keduanya saya maksudkan dalam arti global. Karena dalam hal-hal tertentu, dalam Islam misalnya, Tuhan turut serta mengarsiteki peran laki-laki dan perempuan. Seperti dalam berpakaian, seperti yang diyakini kebanyakan umat Islam, seorang perempuan harus mengenakan jilbab. Dan perintah tersebut menurut mereka jelas termaktub dalam teks al-Qur’an.

Memang tidak kita pungkiri, peranan laki-laki dan perempuan yang dimainkan oleh kedua jenis makhluk ini banyak diadopsi dari ajaran agama. Sehingga kesan yang tampak adalah bahwa Tuhan turut serta dalam bangunan tafsir atas apa yang mesti dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Dalam kasus penciptaan Adam dan Hawa misalnya, peranan Adam sebagai tokoh utama telah menjadikan Hawa sebagai second creation. Bahkan dalam banyak hadis, peranan perempuan seakan sudah terkonstruk begitu kuat. Seperti pembagian waris, kesaksian perempuan, larangan bepergian tanpa muhrim, larangan perempuan menjadi pemimpin, dan lain-lain. Di sini jelas kalau agama turut menkonstruk hal-hal yang berkenaan dengan gender. Tapi ini hanya sebagian kecil saja, sebab sebagian besarnya berada di tangan manusia.

Saya tidak ingin bermain lebih dalam dengan membahas mengapa agama terlibat begitu jauh dalam menentukan peran yang harus dimainkan oleh masing-masing pihak. Atau turut menyingkap misteri dibalik peranan agama dalam menentukan peranan gender dalam masyarakat. Karena ini wilayah tafsir, maka saya serahkan saja pada yang lebih berkompeten dalam bidangnya. Jika saya turut serta dalam bidang ini, takutnya sebagian orang akan menaruh curiga.

Saat artis Zaskia Adya Mecca kepergok oleh seseorang sedang asyik merokok dengan teman-temannya, maka orang-orang yang menyaksikan peran janggal seorang perempuan melalui publikasi media itu pun mulai memberikan beragam komentar. Teman saya bilang, kasian katanya Zaskia Adya Mecca, kasus ini sangat bias gender. Hanya karena perbuatan kecil ini dia harus minta maaf ke publik. Padahal menurutnya merokok bagi seorang perempuan bukanlah hal yang tabo. Coba liat para lelaki muslim itu katanya, dengan berbaju koko, bekopiah, bersarung, memanjangkan janggut yang katanya praktik atas sunnah nabi, di setiap tempat dan setiap waktu, ceplas-ceplos mengebulkan asap rokok. Tuh tak ada orang yang berkomentar miring.

Ini adalah contoh kecil dari konstruk manusia atas peran yang harus dimainkan oleh seorang perempuan. Bolehlah teman saya itu bilang kalau merokok tabo bagi perempuan karena peran laki-laki yang sangat kuat di situ. Sehingga laku mana yang baik dan tidak bagi seorang perempuan tidak lepas dari konstruk mereka. Yang berkuasa itulah yang berperan besar dalam menciptakan suatu aturan. Bahkan kata sebagian orang, jenis pakaian seperti rok bagi perempuan dan celana panjang bagi laki-laki adalah identik dengan peranan besar yang dimainkan oleh para lelaki.

Begitulah gender. Kita menemukan keragaman peran yang dimainkan oleh laki-laki dan perempuan. Dan kita juga menemukan bias gender yang sangat kuat karena dukungan banyak faktor. Tapi yang harus diperhatikan, meskipun peranan itu terkesan mengadung banyak bias, asalkan masih dalam kadar keadilan tertentu, maka masih bisa ditolerir. Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan dalam suatu keluarga, jika hal itu didasarkan atas negosiasi yang berimbang, dan dengan penuh kesadaran oleh masing-masing pihak untuk mewujudkan suatu harapan tertentu, maka masih bisa diterima.

Yang tidak bisa diterima adalah jika dalam hubungan ini terdapat unsur penindasan, pelanggaran atas nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan prinsip-prinsip universal yang diyakini benar oleh semua orang, maka gugatan dan dekonstruksi atas bangunan sosial yang keliru itu harus dilakukan. Wallahu’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.