Minggu, 10 Agustus 2008

Setitik Tentang Hermeneutika al-Qur'an dan al-Hadis

Pijakan Awal
Tatkala ilmu pengetahuan belum terkuak lebar, banyak sekali asumsi-asumsi atau paradigma tentang sesuatu terbukti keliru. Nicolas Copernicus (1473-1543) misalnya, lewat penelitian astronominya, menghancurkan otoritas astronomi tradisional yang didominasi oleh teori Aristoteles dan Ptolemaeus yang mengandaikan bahwa bumi adalah pusat alam semesta (geosentris). Baginya, juga Galileo-Galile (1564-1642) yang memanjangtangani kesimpulannya, bahwa mataharilah yang menjadi pusat peredaran benda-benda angkasa (heliosentris).


Di lain misal, saat mana daya khayali manusia mengasumsikan bahwa sumber segala penyakit terletak pada darah, maka sistem pengobatan yang mendominasi masa itu adalah dengan cara menyedot darah dari tubuh. George Washington mungkin adalah salah satu korban yang meninggal akibat terlalu banyak disedot darahnya. Dan entah berapa banyak lagi mereka yang menjadi korban kekeliruan paradigma ini, hingga akhirnya Semmelweis dari Hungaria, Pasteur dari Perancis, dan para ilmuwan empirik lain menemukan bahwa penyebab penyakit adalah kuman, maka seketika itu pula paradigma pengobatan pun akhirnya berubah secara drastis.

Di dalam studi agama, hermeneutik merupakan manisfestasi nyata dari perubahan paradigma (paradigm shifting). Pendekatan ini menawarkan suatu “tilik melingkar” terhadap suatu masalah, persis seperti ketika jama’ah haji mengitari ka’bah sebanyak tujuh kali. Di setiap sudut, terpasang beragam kacamata keilmuan, seperti antropologi, sosiologi, psikologi, bahasa, ekonomi, dst., untuk membantu memahami, menafsirkan dan membunyikan hasil tilikannya. Sehingga, jika dahulu paradigma “satu interpretasi untuk selamanya” bertahan kuat, maka hermeneutika menyajikan kemungkinan interpretasi yang berbeda yang bisa menggeser paradigma lama. Jika di jaman primitif laku berburu dan mengumpulkan makanan adalah cara yang terbaik untuk bertahan hidup, tapi setelah muncul paradigma bertani, paradigma lama itupun mulai ditinggalkan. Di saat orang merasa nyaman dengan cara bertani, paradigma industri pun mulai menggeser. Dan di kala paradigma industri menguat, pola informasi pun mulai menunjukkan kelebihannya. Jadi hermeneutika sama dengan pergeseran paradigma dalam menanggapi suatu masalah.

Apa itu Hermeneutika?
Bagi penulis, cara manusia menanggapi suatu masalah persis seperti mencicipi ice cream dengan sekian banyak lidah. Meski banyak orang menyatakan nikmat, yang lainnya mungkin saja berbeda. Hasrat, selera, dan kondisi pelaku, di antaranya adalah faktor penyebabnya. Seobjektif apapun orang mendekati sesuatu, unsur subjektivitas hampir tidak bisa dipisahkan dari pelakunya. Sehingga hermeneutik, sebagai sebuah ilmu berfungsi untuk menguak beragam cita rasa tersebut. Hermeneutka, seperti yang telah penulis sebutkan adalah “tilik melingkar” atas suatu masalah. Jika di hadapan seseorang terdapat sebuah teks atau bentuk tanda apa saja yang memiliki makna, maka hermeneutika tidak pernah melupakan pengarangnya (pembuat tanda), audiens yang dituju oleh tanda, atau juga pembaca yang menjadi subjek atas tanda. Sehingga, kajian melingkar atau tawaf atas teks, author, dan reader menjadi karakteristik hermeneutik.

Secara mekanis, tilik melingkar ini akan memunculkan beragam gambar yang pada gilirannya gambar-gambar itu hanya bisa dilihat oleh kacamata yang berkompeten dalam wilayahnya. Aneh dan terkesan janggal kalau urusan kurap, kudis atau campak didekati dengan pendekatan mistik atau agama. Sulit untuk diterima kalau masalah bahasa dipahami melalui sudut pandang ekonomi. Ini sama lucunya dengan orang yang mau makan bubur dengan menggunakan garpu. Karena yang layak menangani kurap, kudis dan campak adalah seorang dokter, bukannya ustadz, dukun ataupun kiayi. Sedang yang pantas menangani masalah bahasa adalah ahlinya, bukannya seorang ekonom atau akuntan. Tandasnya, kerja tawaf hermeneutik ini juga membutuhkan bantuan dari beragam keilmuan, baik kedokteran, sosiologi, psikologi, ekonomi, politik dll., hingga dengan interkonektisitas ini tersusunlah suatu keutuhan pemahaman yang pada hakikatnya terdiri dari anatomi-anatomi yang saling berkelindan. Jadi, hermeneutik itu adalah cara memahami, menafsirkan sesuatu dengan mempertimbangkan konteks dan basis-basis yang menyertainya.

Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis
Jika pada bagian terdahulu hermeneutika dimaknai dengan cara memahami, menafsirkan sesuatu, maka yang dimaksud dengan hermeneutika al-Qur’an dan hadis adalah cara memahami dan menafsirkan teks al-Qur’an dan hadis, serta kemungkinan kontekstualisasi (menyampaikan teks) dalam konteks kekinian dan kedisinian. Terhadap al-Qur’an, hermeneutika mungkin hanya bergerak dalam wilayah memahami, menafsirkan dan mengkontekstualisasikan. Namun terkait dengan hadis, hermeneutika mau atau tidak, juga harus bergelut dalam proses otentifikasi.

Sebagai langkah praktis, mari kita lihat penafsiran ulama terdahulu atas makna “Khair faqir” pada ayat berikut:

“Fasaqaa lahumaa tsumma tawalla ilaa al-zhilli faqaala rabbi inni limaa anzalta ilayya min khairin faqiir.”

Artinya : “Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: ‘Ya Tuhanku Sesungguhnya Aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.’” (al-Qashshash/28:24).

Menurut kitab tafsir al-Jalalain, kata “khair” yang dimaksud oleh ayat di atas adalah tho’am atau makanan. Ini sesuai dengan konteks ayat, manakala Musa selesai membantu kedua gadis itu untuk menimbakan air, kemudian dia kembali berteduh, terasa olehnya lapar yang teramat sangat. Maka adalah wajar kalau pada saat itu yang dibutuhkan oleh Musa adalah makanan.

Al-Thabari, Ibn Katsir, al-Baidhawi, al-Wahidi, dan al-Syaukani pun berpendapat demikian, bahwa yang dimaksud dengan khair adalah tho’am atau makanan. Seperti yang dijelaskan oleh Ibn Abbas, ketika pergi dari Mesir ke Madyan, Nabi Musa tidak membawa bekal makanan, sehingga ketika sampai di Madyan, Musa sangat kelaparan.

Jika melihat konteks ayat, cukup beralasan kalau para ulama menafsirkan ayat di atas dengan kebutuhan akan makanan. Dan juga sangat mudah dipahami mengapa para ulama tafsir menafsirkannya demikian, karena dalam menafsirkan ayat ini otoritas Ibn Abbas amat sangat kuat Akan tetapi menurut penulis, penafsiran seperti itu hanya salah satu dari variabel khair. Karena jika melihat kembali kondisi Musa yang pergi dari Mesir dengan rasa takut (28:21), terus sendirian di negeri orang tanpa tempat berlindung, maka yang dibutuhkan Musa bukan hanya sekedar makanan. Bisa saja sebenarnya kebutuhan akan makan itu sudah terpenuhi di saat dia melakukan perjalanan dari Mesir ke Madyan. Sehingga ketika sampai di Madyan, yang dibutuhkan bukanlah makanan, akan tetapi orang yang mau memberikan dia tempat berlindung. Karena adalah mustahil baginya untuk tinggal satu atau dua hari di Madyan, lantas kemudian kembali lagi ke Mesir. Dan indikasi akan kebutuhan ini terlihat dari jawaban Allah atas do’a Nabi Musa, yaitu mempertemukan dia dengan Nabi Syu’aib yang dengan suka cita memberi perlindungan dan pekerjaan kepada Nabi Musa. Juga terlihat dari kata-kata Nabi Syu’aib yang meyakinkan Nabi Musa bahwa dia telah aman dari kejaran orang-orang yang zalim (28:25).

Begitu juga dengan teks hadis, sebagai contoh adalah mengenai larangan pada perempuan untuk melakukan perjalanan tanpa seorang mahram. Jika bersandarkan pada teks hadis belaka, maka tidak ada kemungkinan bagi seorang perempuan untuk bebas bepergian sendirian dalam segala kondisi. Karena ketiadaan mahram, sebagaimana yang diutarakan oleh sebagian ulama, akan mudah menimbulkan fitnah. Akan tetapi, jika dikaji secara syumul, yaitu dengan mempertimbang kapan dan dalam kondisi bagaimana teks tersebut lahir, kemudian melihat lebih jauh lagi perubahan kondisi bagi masyarakat penerima teks, maka kemungkinan sebab operatif (‘illah) lahirnya hadis akan berbeda. Sebenarnya, sebagian ulama yang cerdas sejak dahulu sudah memulai langkah hermeneutis. Mereka tidak terkungkung dalam ke-rijid-an bunyi teks, akan tetapi mencoba keluar darinya. Seperti dalam kasus larangan ini, mereka sudah menyatakan, bahwa alasan dilarangnya seorang perempuan untuk berpergian bukanlah terletak pada ada tidaknya seorang mahram, akan tetapi lebih berkaitan dengan soal keamanan. Karena itu, jika keamanan bisa dijamin melalui berbagai sarana, seorang perempuan boleh berpergian sendiri atau bersama perempuan lain.

Dari dua contoh kasus di atas, dapat dilihat, bagaimana sebenarnya kerja hermeneutik dalam mendekati al-Qur’an dan hadis. Dalam relasi tiga dunia yang berbeda, yaitu teks, pengarang, dan pembaca, semuanya harus mendapat perhatian yang berimbang. Tiga dunia itu jika dikaitkan dengan teks al-Qur’an, sangat mustahil memang untuk mengkaji pengarangnya, yaitu Allah. Akan tetapi karena al-Qur’an merupakan respons atas kondisi sosial-budaya-politik masyarakat Arab yang berlaku di masa Nabi Muhammad, maka kondisi-kondisi tersebut dapat diposisikan sebagai author atau pengarang. Alasan-alasan mengapa pengarang melahirkan bunyi teks begini atau begitu, bisa dilihat lewat jendela ini. Sementara itu, pesan-pesan yang tereduksi dalam teks al-Qur’an harus dikembalikan dalam kondisi tersebut. Karenanya, peran ilmu-ilmu seperti antropologi, budaya, politik, ekonomi, bahasa, psikologi, arkeologi, sosiologi, sejarah, dll., amat membantu untuk mengurai kembali situasi dan kondisi di balik teks yang sudah mengalami penyempitan makna.

Kemudian, jika teks-teks al-Qur’an menjelma dalam suatu kitab tafsir, maka “tilik melingkar” pun harus juga dikembangkan. Setelah kondisi saat mana teks itu lahir dipahami, maka kondisi sosial-politik-budaya beserta kehidupan pengarangnya (baca:mufassir) juga harus turut dikenali. Tak bisa dipungkiri, kalau peran pengalaman pribadi mufassir sangat menentukan ke arah mana teks al-Qur’an dipahami dan ditafsirkan. Dengan melihat cara kerja hermeneutis ini, maka sangatlah rawan kalau permasalahan kontemporer diselesaikan dengan cara penyelesaian orang-orang terdahulu. Karena walau bagaimanapun juga, perbedaan waktu, tempat, dan kondisi sosial-politik-budaya sangat memungkinkan terjadinya ketidakcocokan. Dan pemaksaan pemahaman dengan cara begini merupakan alasan yang mendasari lahirnya sikap otoriter dalam beragama.

Tidak jauh berbeda dengan al-Qur’an, dalam mengkaji hadis pun, hermeneutik menawarkan cara yang sama. Jika pengarang al-Qur’an adalah Allah, maka pelaku otoritatif timbulnya hadis adalah Nabi Muhammad. Maka sebenarnya antara kondisi yang melatarbelakangi lahirnya al-Qur’an hampir sama. Hanya saja, jika Allah (dalam arti pribadi) tidak bisa dikaji secara historis, maka Nabi, dengan segala pernak-perniknya memungkinkan untuk itu.

Berdasarkan pemahaman ini, maka alasan munculnya sebuah teks sebenarnya didorong oleh basis yang berlapis-lapis. Tidak hanya dimulai dari kelahiran al-Qur’an dan hadis, kemunculan teks-teks tafsir, fikih, tasawuf dll. pun juga dimotivasi oleh basis yang berlapis-lapis seperti ini. Bisa saja ketika seorang ulama fikih menetapkan hukum, maka kemungkinan interes politik, kurangnya wawasan, minat pribadi dll. sangat mempengaruhi pemahaman dan penafsirannya. Atas fakta demikian, maka adalah wajar kalau dalam hermeneutik, prinsip yang digunakan oleh Sigmund Freud, Karl Marx, dan Friedrich Nietzsche untuk selalu curiga terhadap setiap teks mesti diterapkan.

Dari penjelasan di atas, nyata sudah kalau pemahaman sebenarnya beragam, dan objek yang ditengarai sama pun ternyata juga mengandung keragaman. Karena itu, kita sebagai umat yang lahir belakangan, dengan kondisi yang sangat beragam dari tempat ke tempat, maka tidak bisa tidak, kesadaran akan keragaman pemahaman atas teks al-Qur’an dan hadis harus terus ditanamkan. Dan dalam menyikapi perbedaan ini, dan agar sikap kesewenang-wenangan tidak mengemuka, maka apa yang ditawarkan oleh Khaled M. Abou El Fadl perlu ditekankan. Sikap untuk selalu mengendalikan diri (self restraint), sungguh-sungguh (diligence), mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait (comprehensiveness), mendahulukan tindakan yang masuk akal (reasonableness), dan kejujuran (honesty) menjadi parameter uji sahih untuk meneliti berbagai kemungkinan pemaknaan teks sebelum pada akhirnya harus memutuskan dan merasa yakin bahwa dirinya memang mengemban sebagian perintah Tuhan.

Kesimpulan
Hermeneutik sebenarnya adalah cara memahami teks dengan lebih baik dan bijak. Tentunya, orang yang merasa dirinya berafiliasi erat dengan metode ini, hendaknya memiliki kebijakan yang ditanamkan oleh hermeneutik. Sikap empati merupakan langkah awal dalam beriteraksi dengan orang, dan seterusnya sikap terbuka untuk mau bekerja sama adalah konsekuensinya. Independensi memang baik, akan tetapi itu bukanlah yang utama. Karena di atas itu, interdependensi merupakan capaian sesungguhnya. Begitu pula dengan hermeneutika, tanpa interdependensi, maka ia tidak akan melahirkan keunggulan sejati. Mempertahankan sikap eksklusif (independen) pada diri sembari menggedor pintu kemapanan yang ada pada orang lain, sama halnya dengan menumpahkan ludah ke tanah, kemudian dengan merangkak menjilatinya kembali. Wallahu a’lam.

1 komentar:

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.