Kamis, 21 Agustus 2008

Ramadhan Sebagai Lonceng Pengingat

Ramadhan secara bahasa berarti “panas yang teramat sangat” atau “membakar.” Bagaimana mula kata ini disematkan untuk menamai perjalanan hari selama sebulan dalam kalender Qamariyah, penjelasannya belum saya dapatkan. Namun semua orang Islam telah mengetahui bahwa di bulan inilah al-Qur’an diturunkan, dan di bulan ini pulalah puasa disyari’atkan.


Menurut saya ada dua kemungkinan mengapa bulan itu dinamakan Ramadhan. Pertama, Berdasarkan siklus cuaca dalam satu tahun, di bulan itu tanah Arab diliputi oleh cuaca yang luar biasa panas, sehingga untuk mengenangnya dinamakanlah ia dengan Ramadhan. Ini sesuai dengan penamaan bulan Dzulhijjah yang identik dengan perjalanan religi haji ke Mekkah. Bahkan untuk mengamankan bulan Dzulhijjah ini, Tuhan turut menyepakati kalau di bulan ini diharamkan adanya pertikaian dan peperangan. Sehingga di bulan yang aman ini, orang-orang dari berbagai penjuru tanah Arab datang ke Mekkah di samping untuk beribadah, juga untuk berniaga. Kedua, adalah rekayasa Tuhan untuk di kemudian hari pada bulan ini akan ditetapkan puasa. Sehingga pada cuaca yang begitu panas Tuhan menguji hamba-hambanya yang ta’at dengan latihan fisik tanpa makan dan minum dari fajar hingga terbenam matahari.

Ramadhan yang berarti membakar boleh jadi sebagai proses pematangan agar umat menjadi orang yang terlatih dari berbagai segi, baik secara fisik atau perilaku. Di sini kita melihat ada semacam proses menjadi. Sebagai ilustrasi, jika tembikar atau batu bata dibakar, maka ia akan menjadi barang yang kuat. Begitu juga ikan, kala ia masih mentah tentu orang akan enggan untuk menyantapnya. Namun ketika ikan itu dibakar dengan dikasih bumbu-bumbu penyedap, mencium aromanya saja sudah membangkitkan selera, apatah lagi kalau memakannya. Jadi, dengan adanya proses pembakaran ini, diharapkan umat menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik dibanding sebelumnya.

Seperti yang saya sebutkan, di bulan Ramadhan ini telah pula disyari’atkan puasa. Puasa yang secara leksikal berarti ”menahan” mengandung arti yang luas. Namun karena fenomena yang menonjol bahwa puasa itu identik dengan menahan syahwat dari makanan, minuman, dan aktivitas seksual, maka para fuqaha mengistilahkannya dengan menahan diri dari aktivitas-aktivitas tersebut di atas dari terbit fajar hingga terbenam matahari.

Tandasnya puasa di bulan Ramadhan adalah cara yang ditetapkan Tuhan untuk menguji kadar kecintaan hamba terhadap diri-Nya. Ini persis ketika Tuhan menetapkan keharaman daging babi. Meski sebagian orang mengatakan bahwa daging babi mengandung banyak bibit penyakit sehingga umat terlarang untuk memakannya, tapi bagi saya, terlepas dari pendapat tersebut, diharamkannya memakan daging babi karena Tuhan ingin menguji apakah hamba-hambanya itu mau ta’at atau tidak terhadap aturan yang dibuat-Nya.

Jika alasan keharaman memakan daging babi adalah bibit penyakit yang terkandung di dalamnya, orang boleh saja berdalih dengan mengatakan, bahwa sekiranya bibit penyakit itu bisa dieliminasi atau dihilangkan sama sekali, maka alasan operatif atas keharaman daging babi itu akan hilang, sehingga ia menjadi barang yang halal untuk dikonsumsi. Nah, untuk mengantisipasi hal demikian, pengharaman yang ditetapkan oleh Tuhan tidak lain adalah untuk menguji keta’atan hamba kepada-Nya.

Tentu saja, sebagai proses pembelajaran, puasa diharapkan menjadi ajang bergengsi bagi umat untuk menjadi pribadi-pribadi yang tangguh. Dengan puasa pula, umat semakin mendalami hakikat hidup di jalan Islam. Islam sebagai sikap hidup menghendaki orang-orang yang berpuasa menjadi pribadi-pribadi yang peka atas lingkungan sekitar. Kepekaan ini telah ditunjukkan oleh Tuhan dalam sikap diri-Nya terhadap hamba-hamba-Nya.

Sejak awal penciptaan manusia, Tuhan senantiasa ikut campur menangani perjalanan hidup manusia. Sehingga dalam setiap generasi, Tuhan selalu mengutus hamba-hamba-Nya yang terbaik untuk mendakwahkan jalan hidup yang benar kepada mereka yang keliru dalam memaknai hidup. Dengan sikap peduli Tuhan ini, selayaknya kita sebagai umat belajar meneladani-Nya.

Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi, bahwa sepertiga pertama di bulan ramadhan adalah rahmat, kemudian untuk sepertiga berikutnya adalah magfirah, dan untuk sepertiga yang terakhir adalah ‘itqu min al-nar (terlepas dari panas api neraka). Seperti kita ketahui, sifat-sifat seperti memberi rahmat, ampunan atau magfirah, dan melepaskan hamba dari siksa api neraka adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh Tuhan. Jika kita menafsirkannya dalam posisi seorang hamba, maka sifat-sifat tersebut menjadi harapan bagi kita agar Tuhan melimpahkannya. Ini tentu terkesan pasif. Yang terbaik bagi kita adalah belajar meneladani sifat yang ditunjukkan oleh Tuhan tersebut. Bagi saya, meminjam sifat-sifat tersebut bukan berarti kita lantas berada sejajar dengan Tuhan, akan tetapi hanya sebatas meneladani. Bukankah kita dianjurkan untuk beraklak sebagaimana Tuhan mempunyai akhlak (takhallaquu biakhlaaqi al-Khaliq).

Rahmat
Kita tahu Tuhan sangat pengasih kepada seluruh makhluk-makhluk-Nya. Sehingga tanpa membedakan jenis dan warna keagamaannya, Tuhan tetap melimpahkan kebaikan kepada mereka semua. Nah, bagi saya sifat demikian ini selaiknya menjadi sifat yang tertanam di dalam diri umat. Sehingga terhadap siapapun dan kapanpun umat berada, dia akan menjadi orang yang berkelimpahan kasih kepada yang lainnya.

Semua orang kita sayangi. Tidak ada kebencian yang menggerogoti nilai kemanusiaan kita. Terhadap keluarga, tetangga, anak yatim, orang miskin, usahakanlah untuk senantiasa berkasih sayang. Seperti yang difirmankan oleh Tuhan dalam surat al-Dhuha/93:9-11 yang artinya: “Adapaun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka berbagilah.”

Pada ayat terakhir, ada pesan mendalam yang perlu kita hayati dan amalkan, yaitu berbagi atas nikmat yang diberikan oleh Tuhan. Ini adalah bukti sayang kita kepada orang lain. Jika kita memiliki kekayaan, maka usahakanlah sedapat mungkin dengan kekayaan itu orang lain turut terbahagiakan. Jika kita memiliki pengetahuan, maka dengan pengetahuan itu usahakanlah agar orang merasa bahagia karena terlepas dari kebodohan. Jika kita memiliki kekuatan fisik, maka dengan kekuatan fisik itu usahakanlah agar orang lain teringankan.

Dengan memacu rasa cinta pada semua orang, tentu akan membuka peluang bagi kita untuk mendapatkan balasan sayang dari orang yang kita kasihi. Ini adalah hukum alam. Seperti yang disabdakan oleh Nabi, bahwasanya belum cukup seseorang itu dinamakan sebagai orang beriman sebelum dia membuktikan rasa cintanya kepada saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.

Magfirah
Selanjutnya adalah magfirah (pemberian maaf). Menurut saya, manusia yang nyaris sempurna meneladani sifat Tuhan ini adalah Nabi Muhammad. Beliau adalah manusia yang terkenal dengan sifat sukar marah dan mudah memaafkan. Tak terhitung kiranya bagaimana Nabi mempraktikkan sifat Tuhan ini. Sebagai suatu misal, ketika Nabi Muhammad beristirahat di suatu tempat di bawah pohon sambil menunggu pakaian beliau yang lagi dijemur akibat basah kena air hujan, tiba-tiba datang seorang badui yang bernama Du’tsur ke hadapan beliau. Sambil mengacungkan pedang di atas jidat Nabi, Du’tsur berkata, “siapa yang mampu menghalangiku melakukan ini kepadamu wahai Muhammad?” Jawab Nabi, “Allah.” Mendengar kata itu, tangan Du’tsur lantas bergetar, kemudian tanpa dia duga, pedang yang dipegangnya tiba-tiba jatuh ke tanah. Segera saja Nabi memungut pedang tersebut dan berbalik mengacungkannya kepada Du’tsur sambil mengatakan hal yang serupa. Kata beliau,“Wahai Du’tsur, siapa gerangan yang mampu menghalangiku melakukan ini padamu?” Dengan takut Du’tsur menjawab, “tidak ada seorang pun.” Namun bukannya menebaskan pedang itu ke kepala Du’tsur, Nabi malah memaafkan sikap kasar Du’tsur kepada itu. Kehalusan sifat Nabi ini membuat hati Du’tsur terenyuh, akhirnya dia pun bersedia untuk menganut agama Islam.

Sifat inilah kiranya yang mengantarkan beliau menjadi seorang Nabi agung sepanjang masa. Sehingga dengan sifat rahmat dan magfirah ini orang-orang yang berada di sekitar Nabi merasa terbebaskan dari neraka kehidupan di dunia.

Kita juga semestinya meneladani sifat Tuhan ini. Karena dengannya kita akan mudah bergaul dan tentunya mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat. Tempat yang amat bagus untuk melatih sifat ini adalah dengan mempraktikkannya dalam kehidupan keluarga. Dengan kadar sifat marah yang sedikit, tentu akan turut memumpuk subur suasana psikologis yang sehat di dalam keluarga kita.

‘Itqu min al-nar
Membebaskan manusia dari siksa api neraka adalah hak prerogatif Tuhan. Namun melepaskan orang dari siksa neraka dunia adalah sifat yang wajib diteladani oleh umat. Biasanya, apa saja yang menjadi masalah berat di dalam hidup seseorang bisa juga ditafsirkan sebagai neraka. Hutang yang menumpuk, pertikaian yang berlarut-larut, pembangkaan keluarga, kehilangan harta benda, nyawa orang yang disayang, sulitnya memenuhi kebutuhan hidup adalah nama lain dari neraka.

Tandasnya hal-hal seperti kemiskinan, kebodohan, ketertindasan, kelaparan, kecanduan narkoba, bencana alam, dll. adalah neraka bagi seseorang atau sekelompok orang. Apapun yang kita buat untuk melepaskan orang dari keterikatan bencana itu adalah perbuatan yang sangat tinggi nilainya di hadapan Tuhan. Bahkan menurut saya, aplikasi atas sikap sosial seperti ini adalah lebih diutamakan dibanding bertamasya ke taman religi untuk meraih keshalehan pribadi. Ini bisa dipelajari dalam perjalanan sejarah Nabi.

Nah, sekiranya kita mampu menghayati ibadah puasa di bulan Ramadhan ini dengan sikap-sikap sosial seperti tersebut di atas, maka saya yakin, nilai yang terkandung dalam ibadah kita kali ini akan sangat tinggi takarannya di hadapan Tuhan. Tentu saja penanaman ajaran ini tidak bersifat periodik, dalam arti setelah puasa berlalu maka ia kembali tenggelam bersama masa. Tapi sifat tersebut selaiknya menjadi karekter yang tertanam di dalam diri. Sehingga baik disadari atau tidak, aktualisasi nilai-nilai tersebut akan selalu muncul, meski dalam tempat dan waktu yang berbeda.

Di dalam sebuah hadis disebutkan, “berkasih sayanglah kamu dengan mereka yang ada di bumi, maka mereka yang ada di langit akan pula mengasihimu.” Artinya kasih sayang yang kita berikan kepada semua orang akan berbuah manis dengan ganjaran yang setimpal dari Tuhan yang bersemayam di langit. Begitu juga dengan meneladani sifat-sifat Tuhan tersebut di atas, maka tanpa kita minta pun Tuhan akan memberi ganjaran atas semua perbuatan kita.

Hendaknya, bulan Ramadhan menjadi lonceng pengingat bagi kita agar kembali belajar meneladani sifat-sifat Tuhan. Menjadi orang yang pengasih, pemberi maaf, dan mau melepaskan ikatan-ikatan kesusahan yang membelit orang lain adalah pilihan sikap yang lebih baik daripada selalu berharap untuk mendapatkan kasih sayang, pemberian maaf, dan minta dilepaskan dari kesusahan hidup oleh orang lain. Wallahu ’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.