Jumat, 15 Agustus 2008

Thariqat Cinta Sosialisme Sufi

Di jaman yang serba canggih sekarang ini, kadang masalah penyucian diri senyap untuk diperbincangkan. Orang-orang lebih cenderung menuntut jawab atas permasalahan kekinian dibanding masalah yang terjadi pada diri di hari kemudian. Tidak salah memang, karena kita hidup di sini, sekarang ini, dengan kondisi begini, tentu saja membutuhkan jawaban-jawaban praktis atas permasalahan hidup yang tengah kita hadapi. Tapi kiranya, untuk penyeimbangan, ada baiknya sejenak kita merenung, melirik kembali jalan hidup yang pernah ditempuh oleh orang-orang suci, untuk kemudian kita jadikan bahan inspirasi dalam rangka menjelajahi belantara hiruk-pikuk bumi ini.


Dulu, ketika kerajaan Islam sangat berjaya, pembukaan wilayah-wilayah baru menyebabkan terjadinya percampuran budaya. Di lain hal, sebagian orang Islam yang dulunya tidak banyak berharta, telah pula berubah menjadi orang kaya-orang kaya baru yang cenderung doyan dengan gemerlap kemewahan dunia. Di lain hal pula, akibat percampuran budaya, Helenisme atau budaya Yunani turut mewarnai pikiran umat, sehingga pemikiran keislaman semakin intens dan tak jarang rumit untuk dicerna. Perdebatan tentang ketuhanan, atau yang di dalam ilmu keislaman sering disebut dengan ilmu kalam adalah bukti nyata bagaimana alam pikir filsafat merasuk ke dalam jantung pikir Islam. Rumusan-rumusan ushul fiqh, sebagai perangkat untuk menarik suatu hukum juga tidak lepas dari pengaruh Helenisme ini.

Kuatnya wacana tentang ketuhanan, gigihnya pembicaraan mengenai permasalahan hukum, ditambah lagi dengan kecenderungan sebagian penguasa untuk berleha-leha dengan kemewahan dunia, menyebabkan lahirnya kelompok baru yang menyempal dari arus utama. Kelompok sempalan ini disebut dengan aliran tasawuf. Mereka menelikung, memberontak dari kerijidan hidup, memilih lari dari hiruk-pikuk, mengambil thariqah cinta untuk bisa bermesraan dengan sang khalik.

Tasawuf, seperti yang dijelaskan oleh para ahli berasal dari kata shifa artinya suci, bersih sebening kaca. Ada juga yang berpendapat kalau istilah itu diambil dari kata shuf yang artinya bulu binatang yang sering dikenakan oleh tokoh-tokoh sufi yang alergi mengenakan pakaian mewah. Juga dikatakan berasal dari kata shuffah, atau kelompok sahabat yang mengucilkan diri, tekun beribadah dan belajar agama di pojok masjid nabi. Namun bagi sebagian yang lain, kata sufi sebagai pelaku jalan tasawauf bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Yunani yang telah diarabkan. Menurut mereka istilah itu berasal dari theosofi artinya ilmu ketuhanan. Ketika kata itu diucapkan dengan lidah Arab kemudian menjadi tasawuf.

Meski tidak begitu jelas asal mula pengambilan istilah tasawuf, namun maksud yang dituju terang kalau tasawuf atau kaum sufi itu adalah mereka yang menghimpun suatu perkumpulan, berusaha menyisihkan diri dari orang banyak, dengan maksud membersihkan hati sebening mungkin, membuang atribut keduniawian dengan mengenakan pakaian sederhana agar memiliki pengetahuan yang tinggi tentang ketuhanan dan hidup lebih mesra dengan-Nya.

Beginilah ringkasnya jalan cinta yang dipilih oleh para sufi. Mereka asyik dan khusyuk membasuh kotoran hati dan jasmani, berusaha mencapai keridhaan Ilahi. Sehingga, seperti yang kita ketahui, di kemudian hari menjamurlah berbagai aliran yang bernaung di bawah bendera tasawuf ini. Dengan berkelompok-kelompok mereka memencilkan diri. Sebut saja misalnya thariqat Naqsyabandiyah, Syaziliyah, Samaniyah, dan lain-lain. Masing-maing dari kelompok ini memiliki aturan-aturan sendiri dalam thariqat cintanya.

Bagi kita thariqat cinta ini bukanlah agama. Ini hanya sekedar ikhtiar dalam memahami agama. Jadi tidak ada kewajiban untuk kita ikuti. Yang wajib bagi kita hanyalah mentaati aturan-aturan agama yang dibakukan di dalam al-Qur’an dan al-hadis yang valid.

Proses penyucian diri untuk mendapatkan kebeningan hati dan jasmani adalah jalan tasawuf yang selaiknya kita ikuti. Tapi laku memencilkan diri dengan menghindari realita sosial tampaknya perlu kita pertimbangkan kembali. Tasawuf jalan mulus yang mengabaikan keruwetan sosial adalah ciri tasawuf klasik. Adapun tasawuf jalan terjal yang menghadapi realitas sosial adalah ciri dari tasawuf modern. Masalah yang dihadapi oleh umat tidak mesti ditinggalkan begitu saja, akan tetapi harus dihadapi dan sebisanya umat dibebaskan dari belenggu-belenggu kejelemitan hidup. Sehingga tasawuf yang begini ini bukan hanya bersifat modern, tapi juga bercirikan pembebasan.

Seperti yang telah kita sebutkan, kecenderungan orang-orang untuk mencari jawaban secara instan atas masalah yang mereka hadapi menyebabkan orang-orang tidak mempedulikan jalan hidup tasawuf sebagai proses penyucian diri. Namun bagi kita, jalan hidup tasawuf untuk mendapatkan kebeningan rohani dan jasmani harus terus dijalankan. Proses ini harus dilalui tanpa henti. Perbedaannya dengan tasawuf klasik adalah, bahwa buah dari penyucian diri tasawuf modern ini harus bersifat sosial. Kita tetap menggunakan perangkat modern untuk membebaskan masyarakat dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, kemusyirikan, ketertindasan dan lain sebagainya.

Model tasawuf seperti tersebut di atas dapat dilihat dari track record nabi Muhammad. Ketika beliau menyaksikan berbagai kejahiliyahan umat, beliau menyelinap masuk ke dalam relung-relung tasawuf untuk menyucikan diri, merenung, mencari jawab atas kebejatan mereka, menjalani thariqat cinta dengan khusyuk. Proses yang beliau jalani dari Muhammad sebagai manusia biasa hingga menjadi Muhammad yang mendapat gelar sang nabi nyaris sama dengan proses yang dilalui oleh para ahli sufi. Hanya saja, buah dari kontemplasi panjang beliau berdampak pada perubahan sosial yang sangat luar biasa. Masyarakat terbebaskan dari kebodohan, ketertindasan, kemiskinan, kemusyrikan dan lain sebagainya.

Jadi, marilah kita menjalani hidup sebagai sufi, dalam arti sufi yang sosialis. Proses ini semestinya dijalani sampai akhir hayat. Hubungan mesra dengan Allah tidak melalaikan kita untuk mengikat tali cinta dengan manusia, dan begitu juga sebaliknya. Perjalanan seperti ini persis dengan spiral hidup, melonjak ke atas kemudian berputar melingkar ke bawah. Artinya, secara vartikal (hubungan dengan Allah) baik, begitu juga secara horizontal (hubungan dengan manusia) harus sama baik. Dengan istilah lain, sosialisme sufi. Wallahu a’lam.

3 komentar:

  1. Setuju kang, yang namanya sufi kalau tetep jadi pengikut kanjeng nabi SAW yah musti syar'i, seperti yang sampeyan katakan:

    "...mentaati aturan-aturan agama yang dibakukan di dalam agama dan hadis-hadis yang valid"

    Dan aturan-agama ini tidak melulu dalam hal ibadah saja tetapi juga mu'amalah, tidak hanya hablun minallah tapi juga hablun minan nas. Dan yang perlu diperhatikan lagi, sekarang ini jaman sudah berubah. Jadi....

    Waduh maaf kang, time out. Komentarnya bersambung yo...

    -sontoloyo-

    BalasHapus
  2. Buat aku, terlepas dari penulisnya yang semoga menggantikan Din Syamsuddin, tulisan ini kiranya layak diberi judul thariqat "Muhammadiyah":-)

    BalasHapus
  3. Tasawuf sebagai salah satu pilar kita menucu kecintaan dan makrifatullah adalah sangat penting.
    akan tetapi pada perkembangannya sekarang, banyak sekali orang2 yang belajar tasawuf tapi mereka menolak isi dari tasawuf itu sendiri. inilah yang banyak dibilang tasawuf kontemporer. bertasawuf tapi tidak mengakui adanya tharekat sufi, dan amalan dzikirnya.. hanya tasawuf sosial aja..
    good article

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.