Minggu, 31 Agustus 2008

Melawan Budaya Hedonisme

Dalam kamus Babylon, hedonisme diartikan sebagai doctrine which considers pleasure to be the ultimate goal, or search for pleasure. Dalam terjemah bebasnya berarti paham yang menganggap bahwa kesenangan adalah tujuan akhir dari segala sesuatu, atau singkatnya just for fun, hanya untuk mendapatkan kesenangan.


Tak dipungkiri, semua orang menuntut rasa senang. Ratusan orang berjejer menenteng jiregen untuk mendapatkan seliter dua minyak tanah hanya untuk mendapatkan rasa senang. Seorang tukang becak mengayuh kuat becak yang ditumpangi seorang ibu yang ingin dihantarkan ke pasar tidak lain hanya untuk sejumput kesenangan. Seorang tukang bakso menelintingkan tanda kehadirannya di saat-saat orang tertidur nyenyak sekedar berharap sekeping kesenangan.

Tentu tidak ada yang salah dari contoh-contoh tersebut di atas. Yang jadi masalah adalah bagaimana cara memenuhi kesenangan. Jika orang tua memanjakan anaknya dengan menghabiskan waktu main game online di warnet hanya untuk melihat gurat senyuman di pipi si anak tentu akan jadi masalah. Seorang perempuan muslimah berbangga mengenakan baju ketat dan celana pensil yang menampakkan seluruh lekuk tubuh agar teman-teman atau orang yang melintas melihatnya adalah juga masalah. Sekelompok peer group yang memalak anak-anak pelajar culun hanya untuk menyaksikan wajah takut mereka yang dipalak dan untuk beberapa lembar uang ribuan adalah suatu kekeliruan dalam pemenuhan kesenangan.

Di sini hedonisme menjadi paham pemenuhan kesenangan dengan berbagai cara tanpa mempertimbangkan baik buruknya. Karena itu setiap kata hedonistis mengandung arti negatif yang cenderung menghalalkan segala cara untuk memenuhi rasa senang.

Seorang hedonis adalah anti sosial. Dengan sikap acuh tak acuhnya tentu akan banyak orang yang dirugikan. Jika penyakit hedonistis mengidap pada diri seorang pengusaha, maka berbagai cara untuk keuntungan diri akan menjadikannya ikhlas memeras tenaga kerjanya, ridha menyisihkan para pedagang kecil lainnya, enggan berbagi, dan suka iri akan kesuksesan orang lain. Jika ia menular pada penguasa, maka penguasa itu akan menjadi seorang raja tega. Tega untuk memanfaatkan kekuasaan demi kesenangan pribadi. Tega mendustai orang banyak dengan mulut manisnya, dan tega melakukan apa saja demi keinginan sesaatnya.

Agaknya bangsa ini sudah kerasukan roh jahat hedonisme. Tatanan moral semakin hari semakin terkoyak oleh berbagai peristiwa kekerasan dan dehumanisasi yang tidak ada ujungnya. Orang-orang merasa senang melihat mereka yang berbeda paham dipukul dan ditendang seperti hewan. Orang-orang merasa senang berbuat anarki dengan melakukan pengrusakan. Orang-orang merasa senang melakukan kekerasan baik secara intelektual maupun fisik.

Bagi para hedonis, terkait dengan kekerasan intelektual, memukul segala perbedaan pikir yang terbit dengan istilah sesat, kafir, dan lain sebagainya adalah suatu kesenangan. Tak ada kata negosiasi dalam kamus mereka. Tawar menawar hanya terjadi manakala yang berbeda mengakui keunggulan upaya intelektual mereka. Sehingga yang benar itu hanya satu, tak ada ruang bagi wajah lain. Ini sering terjadi dalam paham keagamaan. Ketika pemahaman dianggap sebagai agama, maka menentangnya sama dengan melawan Tuhan, menghina nabi dan dianggap sebagai penyebar paham sesat.

Kita seharusnya malu pada arwah-arwah pendiri bangsa ini. Mereka dengan gigih merangkai keragaman budaya, suku, agama, ras, lokalitas dari Sabang sampai Merauke dalam suatu format kesatuan, berbangsa, bertanah air dan berbahasa Indonesia. Tujuan dasarnya jelas, bahwa seluruh anak bangsa harus selalu berbagi dan mau bernegosiasi. Yang memiliki kekayaan alam, kemajuan manajemen, keberlimpahan tenaga terdidik, dan lain sebagainya harus memberikan kontribusi bagi wilayah-wilayah yang sulit dan memprihatinkan. Jika sifat hedonistis menyusup dan mewarnai setiap anak bangsa, maka kehancuran tinggal menunggu waktunya.

Untuk itu, upaya melawan budaya hedonisme harus terus dilakukan. Ruang kemungkinan bagi masuknya budaya itu segera ditutup rapat. Anak-anak harus diajarkan hidup sederhana, berempati, mau berbagi, bertanggung jawab dan mandiri. Jika seorang anak sekolahan tidak percaya diri bergaul lantaran tidak punya HP, itu tandanya terjangkit penyakit hedonistis. Jika seorang mahasiswa merasa susah kuliah tanpa laptop meski di kamar kostnya tergeletak komputer pentium 4, ini berarti ada yang tidak beres. Dan jika anak-anak remaja menghabiskan waktu di kafe-kafe untuk suatu obrolan murahan, maka bisa dipastikan mereka mengidap penyakit hedonistis.

Belajar hidup sederhana dengan menyesuaikan kebutuhan diri adalah cara yang baik untuk menahan arus hedonisme. Sekiranya kita hanya butuh sepiring nasi dengan sedikit lauk-pauk untuk sarapan pagi, tak perlu kiranya memesan dua piring nasi dengan lauk-pauk pelangi. Jika anak kita cukup hanya dengan bersepeda ke sekolah, kiranya tidak perlu dibelikan motor.Dan jika kita belum perlu akan sesuatu, maka tidak usah keperluan itu dipaksakan.

Bertanggung jawab pada diri, berempati, mau berbagi dan belajar mandiri juga merupakan sikap yang baik untuk menyingkirkan budaya hedonisme. Karena jika seorang anak tidak diajari tangung jawab, maka dia akan tergantung secara intelektual, fisikal, dan emosional. Jika itu terjadi, tentunya akan menggiring anak larut dalam budaya hedonisme. Mereka akan suka mencari kesenangan dan melemparkan segala kesalahan pada orang lain tanpa mau berempati merasakan apa yang dirasakan orang. Karena itu lawanlah budaya hedonisme dengan kesadaran bahwa penyakit itu bisa menyengsarakan banyak orang. Wallahu a’lam.

1 komentar:

  1. Fahmi,saya tidak tahu apakah kamu nanti ketika sudah "mapan":kedudukan,gaji,istri,dll,apakah masih bisa berpikir seperti itu?semoga saja masih ingat dengan tulisan anda ini. amin

    BalasHapus

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.