Rabu, 13 Agustus 2008

Dari Istiqlal Menuju Maqam Sejahtera

Kiranya kita semua tahu, bahwa masjid megah yang dibangun pemerintah di pusat peradaban Indonesia bernama Istiqlal. Tapi juga tampaknya tidak banyak yang tahu kalau arti dari istiqlal adalah kemerdekaan. Entah apa maksud dari pemerintah memberi nama masjid itu dengan Istiqlal. Jelasnya, mesjid itu adalah wujud dari rasa syukur, tempat ibadah, dan sebagai monumen pengingat.


Budaya untuk menandai suatu peristiwa dengan memberi nama, mendirikan bangunan atau melakukan kegiatan rutin adalah fenomena global. Seorang ayah ketika memberi anaknya nama Oktaviani agar penyebutan nama anak itu mengingatkannya pada bulan kelahiran si anak, yaitu bulan Oktober. Begitu juga kiranya dengan nama Gempa Buana, boleh jadi peristiwa gempa yang mengiringi kelahiran sang bayi merupakan peristiwa bersejarah bagi si ayah sehingga anaknya diberi nama demikian..

Di Amerika Serikat, patung Lady Liberty yang terletak di kota New York merupakan simbol atas kemerdekaan untuk banyak pihak, terutama para imigran yang ingin masuk ke negara itu.

Di Karbala, sebuah kota yang terletak di pusat Irak, sering diadakan ritual tahunan setiap tanggal 10 Muharram untuk mengenang Husain bin Ali yang tewas dalam suatu pembantaian besar-besaran. Mereka, kaum Syi’ah, melukai bagian tubuh mereka dengan pisau atau cambuk untuk mengulang rasa bagaimana perihnya Husain dicederai.

Di kalimantan Selatan, terutama di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, selama sebulan penuh masyarakatnya open house secara bergiliran menjamu para tamu untuk memperingati kelahiran junjungan besar, nabi Muhammad saw.

Candi Prambanan di Yogyakarta dan Candi Borobodur di Magelang yang dibangun berabad-abad lamanya juga sebagai simbol peristiwa keagamaan penting bagi penganut Hindu dan Budha.

Suatu peristiwa bersejarah kadang menjadi titik pijak bagi lahirnya suatu tradisi dan juga sebagai titik tolak munculnya sebuah peradaban. Peristiwa proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945 menjadi awal lahirnya tradisi rasa syukur tahunan. Namun sayang, pintu gerbang kemerdekaan yang telah terbuka lebar itu tidak memicu peradaban bangsa Indonesia beranjak pada suatu kadar tertentu yang cukup membahagiakan.

Perguliran pemimpin tidak jarang menjadi bumerang yang menghantam tengkuk sendiri. Kita jatuh berkali-kali dipukul oleh berbagai peristiwa memilukan akibat keliru dalam menafsirkan kemerdekaan. Bagi sebagian pihak, kemerdekaan adalah nama lain dari kebebasan untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari aset orang banyak. Dan bagi sebagian yang lain, mengisi kemerdekaan dengan bebas berekspresi dengan mengadopsi kultur asing sembari menginjak-injak nilai-nilai budaya sendiri adalah laku yang mengasyikkan.

Bangsa ini tampaknya bukan dibawa pada tingkatan terhormat dalam suatu peradaban, akan tetapi malah meluncur deras ke titik nadir kehinaan. Rakyat termiskinkan oleh sistem kapitalis yang menguasai hampir separuh dari hajat orang banyak. Pengangguran-pengangguran yang semakin kuat pertumbuhannya turut memberi andil bagi beragam tindak anarki yang mengerikan. Berbagai tindakan sadisme yang menaruh nilai nyawa insan sejajar dengan nyawa hewan turut menyematkan stigma barbar pada bangsa ini. Perebutan kursi oleh kalangan politisi dan merebaknya tindak korupsi memicu menipisnya takaran kepercayaan anak bangsa pada pemimpin-pemimpinnya.

Jelas ada yang salah dalam kepengurusan negeri yang kaya raya ini. Kemerdekaan yang selaiknya menghantarkan rakyat Indonesia pada maqam sejahtera ternyata malah memunculkan neo-kolonialisme baru. Rakyat menjadi budak-budak kaum kapitalis yang nasib mereka diuntungkan oleh suatu sistem yang bobrok. Alam kehilangan keseimbangannya karena terus-terusan diperkasai oleh pihak-pihak yang tidak pernah mengenal kata kenyang. Pendidikan berkualitas menjadi barang mewah yang tak terbeli oleh orang kebanyakan, sehingga lingkaran syetan kemiskinan menguat dan terus menguat. Guliran dana untuk membenahi perekonomian rakyat yang semestinya tepat sasaran terlalu sering tersangkut di kantong-kantong orang yang diamanati untuk mengelolanya.

Mau dibawa ke mana negara ini? Pertanyaan seperti ini mungkin sudah mengendap jauh di lubuk hati anak bangsa yang terlemahkan, yang hanya bisa berharap dan tidak mampu untuk berbuat. Namun, daripada terus berharap, alangkah baiknya kita berbuat dengan melakukan apa yang kita bisa. Seamburadul apapun negara ini, kita tidak boleh menyerah. Adanya niat baik dan usaha keras untuk membenahi wajib untuk diikhtiarkan.

Mulailah berbuat dari diri sendiri. Pedulilah pada hal-hal yang baik walau sekecil apapun ia. Yakinkan diri dengan perbuatan-perbuatan itu bahwa kita ini adalah layak dipercaya. Teladankan laku santun dan terpuji yang dipesankan oleh agama. Tularkan semangat berbagi dan berkerja sama sehingga nilai-nilai kebersamaan yang dulu pernah tercipta, mengakar dan mentradisi kembali. Terakhir, teruslah berbuat dan berbuat. Mungkin dengan cara demikian kemerdekaan yang kita peroleh enampuluh tiga tahun yang lalu akan memiliki arti yang amat berharga bagi generasi selanjutnya. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, Anda telah meluangkan waktu mengomentari tulisan saya.